Festival ArtJog MMXIX, Mapannya Seni Rupa Tontonan
Beritabaru.co, Jogja. – Lobang galian tanah itu diperkirakan sedalam 5 meter dengan diameter dikisaran 7 meter. Sebelum sampai ke batas tubirnya, orang-orang harus melintas di atas ketebalan permukaan kaca yang ditopang rangka besi di atas tanah bekas urukan. Mungkin senimannya ingin menciptakan pengalaman yang berhubungan dengan sensasi jenis rasa takut tertentu.
Bersamaan dengan pengunjung mencapai batas tepi galian, di bagian tengah melintas bekas pondasi semen yang masih ditinggali sisa tanah dan rangka besi yang menghubungkan sisi satu dengan sisi seberangnya. Sepertinya pondasi semen tersebut menjadi poros kontruksi suasana hiruk-pikuk benda yang disusun untuk menempati ruang atas dari lobang galian.
Mulai dari kantong plastik padat yang sepintas seperti menopang balok semen yang di atasnya benda lain menggelantung. Ada juga batu yang lembut karena sisi bawah dan kemiringannya terlihat lembek. Juluran seperti batang besi yang dilumuri lumut disekujur bentangannya, pada beberapa titik lekuknya digelanjuti benda yang kembali menyerupai plastik tempat tanaman tumbuh.
Adapun jauh di permukaan dasar lobangnya, sebilah cermin ditempatkan bersender kedinding bekas galian tepat dibawah salah satu bentangan yang menyerupai talang aliran air berbentuk bambu. Sementara di sekeliling galian tidak kalah ramainya. Kembali benda berbentuk plastik padat mendominasi, kali ini tersusun berentengan secara terikat seperti menahan yang lainnya agar tidak terjatuh ke dasar galian. Sisanya adalah gumpalan rumput kering yang mengeluarkan asap putih pembakaran dan onggokan patung pose intens hubungan ibu-anak yang biasa kita temukan sebagai hiasan pada bangunan taman kolam air.
Sejenak, kalau lebih teliti memperhatikan benda-benda yang dirakit, disusun dan ditempelkan di sekitaran galian tersebut penonton akan menemukan bahwa benda-benda dihadapan mereka merupakan hasil cetakan berbahan resin yang menipu sempurna. Kantong plastik itu bukanlah benda sesungguhnya, tumbuhan yang terlihat hijau alami hanyalah rekaan belaka, begitu juga kebentukan batu hanyalah tiruan dan asap yang membumbung tanpa henti adalah rekayasa dari pemanasan uap air seperti galibnya efek panggung di konser dangdut. Mungkin hanya kaca cermin itu saja yang paten. Singkatnya, kita sedang berhadapan dengan pemandangan dunia artifisial.
Gambaran di atas merupakan suasana dari karya seni instalasi dengan titel Taman Organik Oh Plastik yang dibangun oleh Handiwirman Saputra. Karya yang juga digadang-gadang sebagi karya utama dalam ajang pameran ArtJog MMXIX ini, mencoba memberikan pandangan kritis terhadap tren gaya hidup hijau yang marak dengan manifestasi taman kota guna menawar kerusakan ekologi akibat modernisasi dan industrialisasi. Bagi senimannya, kesenangan kita pada taman justru mencerminkan obsesi manusia pada keartifisialan karena taman hanyalah miniatur tiruan dari suatu habitat atau lanskap alam yang justru tetap terabaikan.
Seperti gelagat karya Handiwirman, pameran Art Jog ke-12 yang berlangsung dari tanggal 25 Juli sampai 25 Agustus 2019 di gedung Jogja National Museum mengarah pada tema Common Space. Agung Hujatnika sebagai kurator pameran menjelaskan, Common berarti sumberdaya yang dimanfaatkan secara bersama dan akan fokus pada persoalan Space yang ditafsirkan sebagai ruang ekologis. Para seniman diharapkan membuahkan kesadaran baru tentang keberadaan ruang ekologis di sekitar mereka.
Pada karya yang lain, metafor perbincangan ekologi hadir lebih eksplisit. Mungkin karena basis pengerjaan karya instalasi berjudul Daun Khatulistiwa yang dimotori oleh Teguh Ostenrik ini menjadi bagian kampanye advokasi seni bagi pelestarian terumbu karang di Indonesia. Proses pengerjaannya pun berkolaborasi dengan para ahli biota laut. Secara jitu pengunjung tidak sadar dilibatkan menjadi bagian peristiwa di dalam karya. Situasi yang menghilangkan batas apresiasi yang pastinya akan menebalkan pengalaman empatik terhadap fakta miring alam kelautan yang sedang coba dinarasikan. Bagaimana tidak, kontruksi karya berupa kubah dengan dua lapis keruangan mensimulasi pengunjung untuk bersikap seperti berada di wahana bawah laut.
Lapisan ruang pertama berupa rangka besi setinggi 2,5 meter yang volumenya terbentuk oleh jalinan modul-modul lembaran besi menyerupai anatomi daun pohon jati dimana pengunjung dapat beraktivitas. Sementara ruang kubah kedua merupakan lapisan rata yang dua kali lebih besar dimana gambar dari video proyektor secara penuh menyelubungi.
Karya instalasi ini sesungguhnya merupakan bahan material dari kelanjutan proyek “instalasi bawah air” senimannya. Rencanaya setelah pameran berakhir, kubah logam tersebut akan diceburkan ke wilayah pantai Jikomalamo di Ternate Maluku Utara. Harapannya, karya tersebut akan menjadi media konservasi bagi tumbuh berkembangnya koral dan biota laut lainnya.
Di luar dua karya seniman yang dibicarakan di atas, masih ada 37 karya seniman lainnya yang mengisi gedung tiga lantai yang disediakan sebagai ruang pameran. Masing-masing karya mengajukan sudut pandang seniman yang berbeda-beda saat menanggapi bingkai kuratorialnya, namun secara presentasi dan pilihan media rata-rata hampir seragam. Nampaknya, dalam pameran ArtJog mulai muncul kemapanan estetika tertentu dalam hal tafsir kekontemporeran seni rupanya. Lebih jauh lagi, jangan-jangan capaian ini sesuatu yang mulai disadari penyelenggaranya, terutama hubungannya dengan siasat komunikasi dan presentasi event untuk menjadikan ArtJog mesin komoditi jenis ekonomi tontonan baru.
Pada dasarnya seni rupa kontemporer memang memiliki potensi tumbuh sebagai kemeriahan tontonan. Lagi pula bukankah salah satu faktor ekspresi seni rupa ini memang berakar pada kesuburan industri budaya massa sejak tahun 60-an? Sebuah karakter yang mengakibatkan wadah praksis seni yang mengkhususkan kelas sosial tertentu jebol dengan membengkaknya hiruk-pikuk dunia teknologi informasi media populer.
Temperamen seni rupa yang berubah, tidak pelak menggerek seniman pada selesainya perkara medium representasinya. Aras subjek matter yang dilebur berakhir pada cetakan material sehari-hari. Perseteruan panjang antara seni dan hasil teknologi resmi berakhir. Maka meledaklah ruang pameran dengan segala benda-benda siap saji maupun bentuk tiruannya.
Pada titik inilah pentingnya kita menyimak fenomena tumpah-ruahnya penonton di setiap ajang ArtJog mulai digelar. Isi gagasan dan ungkapan pribadi seniman yang menggunakan material sehari-hari bukan saja meleburkan seniman pada transedensi sehari-hari tapi juga berubah totalnya pola apresiasi seni. Proses apresiasi yang terjadi bukan lagi sekedar keberjarakan penonton terhadap kejeniusan objek, melainkan keterlibatan interaktif si penonton terhadap konseptualnya gagasan yang telah menjadi setting.
Penonton tidak asing lagi dengan potensi karya seni yang dihadapinya. Sejauh apapun metafora subversif individu seniman dalam mentransformasikan nilai-nilai baku dan mapan, setidaknya si penonton masih mampu meraba. Bukan itu saja, momen kesukariaan baru ini, memunculkan cara pendokumentasian ekstrim dari budaya media komunikasi sosial yang menjadikan penonton berakhir sebagai tontonan layaknya setting karya itu sendiri. Pengamat estetika Bambang Sugiharto pernah menggambarkan situasi ini dengan istilah seni yang telah menjadi peristiwa kolektif dalam setting multi sensoris totalnya.
Bukan isapan jempol, jika Direktur ArtJog Heri Pemad mengatakan di dalam beberapa kesempatan bahwa ArtJog tahun ini menekankan dirinya pada sifat festival. Kesuksesannya bukan ditentukan lagi oleh sedikit banyaknya karya yang laku dijual. Singkatnya festival dengan konsep kemeriahan tontonan –banyak penonton-nyalah yang terpenting. [M.Yusuf Siregar]