Farha Ciciek dan Revolusi Harapan di Ledokombo
Berita Baru, Tokoh – Hal-hal besar tidak selalu lahir dari sesuatu yang megah dan mewah, tetapi bisa juga sebaliknya. Lahir dari sesuatu yang sangat sederhana.
Hal inilah barangkali yang dialami Farha Ciciek Direktur Tanoker bersama lingkaran kecilnya di Desa Ledokombo, Kecamatan Ledokombo, Jember, Jawa Timur.
Seperti dikisahkannya dalam gelar wicara Bercerita ke-72 Beritabaru.co pada Selasa (9/11), Ciciek dan suaminya Suporahardjo berhasil memantik lahirnya kembali dua (2) hal yang sudah lama hilang dari desanya, yakni permainan egrang dan harapan anak-anak.
Pertama bermula dari pertanyaan anak-anak Ciciek dan Mas Supo, sapaan akrabnya, terkait permainan apa yang dimainkan orang tuanya ketika kecil.
Bagi kebanyakan orang, pertanyaan ini tidak berbeda dari pertanyaan anak-anak pada umumnya: tidak penting.
Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk Ciciek dan Mas Supo. Bagi mereka, pertanyaan itu sangat mendasar.
“Sekilas memang iya, remeh. Tapi sebenarnya itu sangat mendalam,” ungkap Ciciek pada Windy Ayu, host Beritabaru.co.
Ciciek melihat, pertanyaan anak-anak di atas sebenarnya soal bagaimana mereka sedang mempertanyakan akar diri mereka. Akar kesejarahan mereka sendiri sebagai bagian dari masyarakat desa.
Ada semacam rasa penasaran dalam diri mereka dan ingin membandingkan antara kehidupan yang sedang mereka jalani dan kehidupan yang dialami orang tuanya.
Mendapati adanya pertanyaan ini, Mas Supo kemudian berinisiatif untuk membuatkan egrang untuk anak-anak. Ciciek sangat mendukung dengan antusias. Mas Supo langsung membuatkan tiga (3) pasang egrang untuk dimainkan oleh anak-anak Ledokombo.
Selain Ciciek, Mas Supo adalah sosok yang bertanggung jawab atas pertumbuhan dan perkembangan Tanoker Ledokombo. Mas Supo adalah salah satu pembina Tanoker yang perannya sangat signifikan. Ciciek dan Mas Supo ibarat laut dan pantai bagi Tanoker: tak terpisahkan.
“Ketika mereka tanya, kami menjawab bahwa salah satu permainan itu adalah egrang dan di waktu yang sama kami membuatkan untuk mereka. Dulu hanya tiga pasang,” terang Ciciek.
Dari pertanyaan sederhana itu, selepas sekian tahun, egrang kembali muncul di Ledokombo. Dan anak-anak pun tidak gamang untuk belajar memainkannya.
“Kami hanya memfasilitasi apa yang sebenarnya mereka inginkan, jadi ya akhirnya mereka suka memainkannya,” kata Ciciek.
Kedua masih berhubungan dengan egrang. Setelah bisa bermain egrang, anak-anak seolah belum puas.
Mereka kemudian membidani lahirnya tarian egrang yang dari sini menurunkan inovasi-inovasi lain, yakni pawai egrang hingga festival egrang tahunan.
Melihat adanya inovasi serta pergerakan dari anak-anak, Ciciek menilai bahwa sebenarnya yang sedang terjadi di desanya tidaklah sekadar bangkitnya kembali permainan tradisional, tetapi juga revolusi harapan.
Pasalnya, dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut ada semacam api yang sedang tumbuh pesat dalam diri anak-anak.
Ciciek menceritakan, sebelumnya anak Ledokombo minder pada desa-desa lainnya. Mereka tidak jarang menerima stereotip alias label negatif.
Akan tetapi, tegas Ciciek, setelah berhasil dengan semua itu—dari pertanyaan soal permainan tradisional hingga festival egrang—mereka mendapatkan suntikan harapan yang tidak pernah ada sebelumnya.
“Iya, mereka itu tidak saja tampak bahagia dengan semuanya, tetapi juga membahagiakan. Bahagia sekali bisa melihat mereka mendapatkan kembali harapannya,” jelas Ciciek.
Pengasuhan anak adalah tanggung jawab bersama
Dalam diskusi ini, Ciciek juga menyampaikan bahwa pengasuhan anak bukanlah sama sekali tugas seorang ibu.
Pengasuhan anak adalah tugas bersama. Tugas seorang ibu, tugas ayah, komunitas, dan bahkan pemerintah.
Secara tegas, Ciciek pun menyampaikan bahwa parenting bukanlah isu privat.
“Pengasuhan itu isu sosial, isu publik, bahkan politik,” ungkapnya.
Berpijak pada pandangan tersebut, Ciciek menginisiasi suatu program parenting di desanya yang ia sebut sebagai Pengasuhan Gotong Royong.
“Di desa kami, banyak anak ditinggal orang tuanya pergi mencari nafkah ke luar kota, bahkan luar negeri. Pengasuhan pada akhirnya diserahkan ke pihak lain, saudara, tetangga, dan sebagainya,” jelasnya.
“Jadi sebab itulah, kami merasa penting untuk membuat pengasuhan gotong royong agar anak-anak tidak kehilangan kasih sayang yang sudah seharusnya menjadi haknya. Jadi, di sini ada istilah anakku adalah anakmu dan anak kita bersama,” imbuhnya.