Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Eksakta

Dualitas Eksakta dan Kemanusiaan



Dualitas Eksakta dan Kemanusiaan

Hadi Prayitno
(Generasi Pertama Galilelo/Specialist on Budget Policy)


Kata “Dualisme” yang tertulis tebal pada judul buku “Dualisme Kader Eksakta” karya kader-kader Pencerahan Galielo ini memantik reaksi alam bawah sadar, terdapat dikotomi atau bahkan kontradiksi antara frasa “eksakta” dengan selainnya. Ada satu sisi yang roboh ketika sisi lainnya tegak berdiri. Sebuah relasi kanibal dan saling tikam. Benar, sesulit itukah?

Ilmu psikologi mendefinisikan dualisme sebagai sebuah pandangan bahwa pikiran dan tubuh sebagai dua entitas yang terpisah. Biang fikirnya pada abad ke-17, Rene Descartes, dan pengikutnya Cartesian berpendapat bahwa terdapat interaksi dua arah antara zat-zat mental dan fisik. Pendapat ini diambil dari analogi dasar manusia yang dicirikan memiliki pikiran sebagai elemen non-fisik dan tubuh beserta otak sebagai elemen fisik.

Telusur punya telusur, dualisme bukan semata hasil penalaran ilmu psikologi, tetapi jauh sebelumnya merupakan pertemuan dua arus fikir filosofis Plato dan Aristoteles. Dualisme dalam Metafisika adalah kepercayaan bahwa ada dua jenis realitas yaitu material (fisik) dan immaterial (spiritual). Dalam Philosophy of Mind, dualisme adalah posisi bahwa pikiran dan tubuh secara kategoris terpisah satu sama lain, dan bahwa fenomena mental, dalam beberapa hal, bersifat non-fisik.

Plato, perumus The Theory of Form (teori bentuk), berpendapat bahwa pikiran harus merupakan entitas non-fisik, tidak material, agar memiliki akses ke konsep atau gagasan universal. Aristoteles berpendapat bahwa jika pikiran adalah organ material tertentu, maka ia akan dibatasi untuk hanya menerima jenis informasi tertentu. Karena pikiran mampu menerima dan merefleksikan semua bentuk data, maka ia tidak boleh berupa organ fisik dan karenanya tidak material.

Kelompok Neo-Platonik, termasuk di dalamnya St Thomas Aquinas, percaya bahwa jiwa adalah substansi setiap individu manusia, sementara tubuh hanyalah bayangan atau salinan dari fenomena kekal ini. Jiwa merupakan substansi manusia, tetapi mirip dengan usulan Aristoteles, hanya melalui manifestasinya di dalam tubuh manusia seseorang dapat dikatakan sebagai manusia.

Anthony Giddens (1938), salah satu maestro sosiologi modern asal Inggris, telah memperkenalkan konsep dualitas sebagai elemen penting dari teori masterpiece-nya, yaitu The Structuration. Inti teori strukturasi terletak pada tiga konsep utama yaitu tentang struktur, sistem, dan dualitas struktur, lebih khusus lagi dalam hubungannya antara agen (pelaku, aktor) dan struktur. Nashir (2012: 6) mengingatkan bahwa dalam teori strukturasi Giddens tentang hubungan antara agen dan struktur adalah bersifat dualitas atau timbal-balik, bukan hubungan dualisme dengan penuh ketegangan dan pertentangan.

Dalam membahas proses penciptaan alam semesta dalam Al-Quran, Yunus dkk (2006: 25) juga mendefinisikan langit dan bumi beserta isinya sebagai lambang ciptaan Tuhan yang memiliki sifat dualitas. Keduanya adalah entitas yang berbeda, tetapi saling terkait, saling terhubung, dan saling menunjang.

Perbincangan dalam kosmologi jawa berpandangan bahwa “monism duality” merupakan suatu tata alam yang serba dua namun pada dasarnya adalah satu kesatuan. Mulyana (2006) mengutip Soetarno (2002: 24) menjelaskan bahwa konsep Dualitas membahas kosmos terbagi menjadi dua yaitu secara vertikal tinggi dan rendah, kanan-kiri, besar-kecil, gelap-terang, dan sebagainya.

Melawan Dilema

Dua puluh satu tulisan yang disajikan dalam buku ini merefleksikan bermacam konsentrasi, perhatian, fokus dan kepedulian pada suatu tema. Namun, hal itu tidak serta merta menjadi kaca benggala dari titian masa depan, setidaknya dari masing-masing penulisnya. Sebagian menyuguhkan fakta tersurat dan fenomena yang melekat dalam sebagian kecil perjalanan hidup atau profesi maupun pekerjaan, meski belum bisa secara utuh disebut sebagai suatu pengalaman yang kokoh.

Pilihan diksi “dualisme”, disadari atau tidak, sebenarnya telah mengekspresikan adanya kegelisahan kolektif, meskipun belum dapat dikategorikan sebagai kegelisahan yang bersifat massal dan menggurita. Kegelisahaan yang dibumbui dengan beberapa jumput ketakutan, telah menciptakan dilema. 

Adanya cerita kegagalan akademik dari sedikit kader karena kurang berhati-hati dalam mengatur waktu, menjadi satu-satunya alasan logis untuk menjustifikasi kegalauan tersebut. Anehnya, mayoritas atau sebagian besar lain yang berhasil sukses dan berprestasi tidak diglorifikasi sebagai vaksin atau obat penawar terhadap “penyakit dilema” itu.

Bagaimana jalur pergerakan yang seharusnya menjadi supplementary input dan complementary input untuk melengkapi primary input bagi mahasiswa tiba-tiba dipersalahkan sebagai biang keladi kegagalan akademik? Metode apa yang digunakan untuk menutupi realitas bahwa mayoritas mahasiswa pergerakan juga sukses secara akademik, dibanding yang gagal? Sangat tidak fair kalau personal error digeneralisasi sebagai institutional error. Jadi, dilema bukanlah pilihan sikap yang tepat.

Pramoedya Ananta Toer dalam empat karya monumentalnya (baca: Tetralogi Pulau Buru) pernah bertutur, sebuah diksi magis, tentang laku adil. Dalam hal dilema kader eksakta ini, sepatutnya kita semua juga harus belajar adil seperti pesan Pram, yaitu adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam bersikap dan perbuatan.

Kader Eksakta Untuk Kemanusiaan

Sejarah bangsa ini mencatat tokoh-tokoh penting dibalik gerakan pencerahan pada era kolonial. Tinta emas lahirnya Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1908, misalnya dipelopori oleh Cipto Mangunkusumo dan Sutomo, dua orang kader eksakta, siswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau lebih dikenal sebagai Sekolah Kedokteran STOVIA.

Begitu pun Pramoedya Ananta Toer mengilustrasikan tokoh anonim Minke sebagai salah satu siswa STOVIA yang sukses membangun gerakan melalui media dan organisasi untuk melawan ketidakadilan berbagai kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat bumi putra.

Satu tokoh kunci yang tidak boleh dilupakan adalah Koesno Sosrodihardjo, kemudian bertransformasi menjadi Soekarno, pejuang dan proklamator kemerdekaan bangsa Indonesia. Ia adalah seorang insinyur, kader eksakta tulen yang cukup berprestasi lulusan Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang bernama ITB Bandung).

Kiprah kader eksakta tersebut menyimpan berbagai pesan tersirat: cerdik cendekia lebih mudah dipercaya oleh publik; pola fikir, pola sikap, dan pola laku kader eksakta lebih terstruktur dan sistematis, sehingga dapat merancang agenda gerakan secara matang dan penuh perhitungan; serta kematangan nalar intelektual dan kepakaran akademik kader eksakta telah paripurna, sehingga menuntun pengejawantahan melalui pengamalan untuk suatu kemaslahatan yang lebih luas.

Jejak sejarah membuktikan bahwa puncak pencapaian karir kader eksakta adalah ketika berhasil membangun relasi timbal-balik yang saling mendukung (dualitas) antara kehidupan akademik dengan dunia pergerakan. Di mana satu dengan lainnya tidak saling menegasikan, melainkan saling menguatkan dan melengkapi.

Prestasi akademik yang bersifat personal-individual tentu memberikan bekal untuk memperoleh pekerjaan yang layak, kehidupan sosial-ekonomi yang mapan, tetapi manfaatnya hanya sebatas pada diri dan keluarganya semata. Pada fase ini pengamalan ilmu belum sepenuhnya terjadi, karena spektrum manfaatnya belum meluas.

Secara ideologis, pengamalan ilmu (baca: pengetahuan akademik) seharusnya diperluas untuk menebar kemanfaatan secara lebih luas demi terciptanya kemaslahatan umat dan selalu berpihak kepada kaum mustad’afin. Disinilah pengetahuan akademik akan mencapai relevansinya secara sosial, karena diamalkan dan diterapkan untuk kepentingan kemanusiaan.

Sudah saatnya bagi kader eksakta untuk memegang teguh kredo “membumikan sain untuk kemanusiaan”, lalu diglorifikasi sebagai identitas dan dasar tuntuan gerakan pencerahan, dari masa ke masa.

Rujukan Menulis:

  1. Toer, Pramoedya Ananta. 1980. Bumi Manusia. Penerbit Hasta Mitra
  2. Mulyana. 2006. Spiritualisme Jawa: Meraba Dimensi dan Pergulatan Religiusitas Orang Jawa. Kejawen, Vol. 1 No. 2, Agustus 2006.
  3. Yunus, R., Bambang Haryanto., dan Choirul Abadi. 2006. Teori Darwin Dalam Pandangan Sain dan Islam. Gema Insani, Jakarta 2006.
  4. Nashir, Haedar. 2012. Memahami Strukturasi Dalam Perspektif Sosiologi Giddens. Sosiologi Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012.
  5. The Basic of Philosophy. https://www.philosophybasics.com/branch_dualism.html. Diakses pada 25 Mei 2020, pukul 9.24 WIB
  6. https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/29/120000769/tokoh-pendiri-budi-utomo-pelajar-stovia?page=all. Diakses pada 25 Mei 2020, pukul 13.57 WIB.