Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Demiliterisasi Libya
Sejak 2015, perebutan kekuasaan telah mengadu GNA yang diakui PBB melawan pasukan LNA yang didukung oleh Rusia dan Mesir. Foto: Mahmud Turkia/AFP.

Dua Kekuatan Terbesar Libya Sepakat Gencatan Senjata



Berita Baru, Internasional – Pada hari Jumat (21/8), dua kekuatan terbesar Libya, Pemerintah Kesepakatan Nasional Libya (GNA) dan Tentara Nasional Libya (LNA) mengeluarkan pernyataan gencatan senjata dan mengharapkan penyelesaian politik di seluruh Libya.

Pernyataan tersebut menawarkan harapan untuk meredakan konflik regional yang telah melanda Libya sejak pemberontakan tahun 2011 hingga menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi, memangkas produksi minyak, dan membuka ruang bagi penyelundup migran dan militan.

Namun, menurut Reuters, upaya sebelumnya untuk mengamankan gencatan senjata dan penyelesaian politik telah terhenti, hingga menyebabkan para pemimpin politik Libya memegang kendali pada dua faksi terbesar yang saling bermusuhan sejak 2014, yaitu GNA dan LNA.

Kedua belah pihak beserta para pendukung asing mereka telah bergerak di sekitar pusat kota Sirte, pusat pangkalan pasukan LNA.

Namun hanya ada sedikit pertempuran dalam beberapa pekan terakhir.

Menyusul seruan internasional untuk gencatan senjata dan zona demiliterisasi di sekitar Sirte, pada hari Jumat (21/8), pimpinan GNA Fayez al-Sarraj telah mengeluarkan instruksi kepada semua pasukan militernya untuk segera menghentikan tembakan dan semua operasi tempur di semua wilayah Libya.

Tidak ada komentar langsung dari Haftar atau Tentara Nasional Libya (LNA), tetapi kepala parlemen Aguila Saleh yang berbasis di timur yang bersekutu dengan Haftar mengeluarkan pernyataan yang menyerukan diakhirinya permusuhan di seluruh negeri.

Ketua GNA dan parlemen timur Aguila Saleh sama-sama mengutip penyebaran virus corona sebagai alasan untuk mendukung gencatan senjata.

Sejak LNA mundur dari Tripoli, Aguila Saleh terlihat lebih banyak mendapatkan pengaruh dibandingkan dengan Haftar.

Keterlibatan internasional sering kali mengayunkan jalannya konflik Libya sejak 2011, dan semakin dalam sejak LNA, yang didukung oleh Uni Emirat Arab, Mesir, dan Rusia, memulai serangannya di Tripoli pada April 2019, begitu juga dengan GNA yang didukung Turki, AS dan PBB.

Atas seruan genjatan senjata baru ini, banyak negara yang menyambut dengan baik, termasuk Mesir, UEA, dan Arab Saudi.

Qatar, yang sejalan dengan Turki mendukung GNA, juga memuji langkah tersebut.

GNA menyerukan pencabutan blokade tujuh bulan pada fasilitas minyak yang telah menghentikan produksi negara, dengan mengatakan pendapatan harus disimpan dalam rekening khusus dan hanya dirilis setelah kesepakatan politik tercapai.

Perusahaan Minyak Nasional (NOC) yang dikelola negara mengatakan mendukung proposal itu, tetapi pasukan militer harus ditarik dari fasilitas minyak sebelum dimulainya kembali ekspor.

Distribusi pendapatan minyak telah menjadi sumber utama ketegangan antara kedua belah pihak, yaitu LNA dan GNA.

Penjabat utusan PBB untuk Libya, Stephanie Williams, mengatakan dia dengan hangat menyambut poin-poin kesepakatan dalam pernyataan Sarraj dan Saleh, termasuk seruan untuk melanjutkan produksi minyak.

Juru bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berharap seruan untuk gencatan senjata akan segera dihormati oleh angkatan bersenjata dari kedua belah pihak.

PBB telah mengoordinasikan upaya internasional untuk kesepakatan militer, politik dan ekonomi di Libya setelah pertemuan puncak internasional pada bulan Januari di Berlin.