Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Cara Menukar Bola Mata

Cara Menukar Bola Mata



Daruz Armedian

Daruz Armedian


Lelaki itu…

            Perempuan itu…

Bertemu pada suatu siang yang tak pernah dibayangkan oleh ilmuwan mana pun, termasuk Einstein dan Hawking, di sebuah toko yang tutup namun berandanya masih menyediakan bangku tempat duduk. Dua orang itu tidak sengaja berteduh bersama. Menghindar dari guyuran hujan.

            “Siapa nama kamu?”

            “Alfania. Kamu?”

            “Aku Han.”

Sesingkat itulah permulaan mereka berdua berbicara. Permulaan mereka berkenalan. Mata mereka menatap sesuatu yang ada di depan mereka. Han menatap bunga-bunga di depan toko itu yang diguyur deras hujan. Sementara Alfania menatap kendaraan lalu-lalang yang juga diguyur deras hujan.

Itu terjadi pada hari Minggu. Waktu di mana orang-orang merayakan liburan. Alfania libur kuliah dan berjalan-jalan ke pasar untuk mencari baju baru. Sedangkan Han libur dari kerjanya, di sebuah kantor penerbitan buku, dan berjalan-jalan ke toko buku untuk mencari buku-buku baru. Tetapi, keduanya sama-sama dihentikan hujan di sebuah toko yang tutup entah karena apa dan entah itu toko apa. Yang jelas, berandanya luas. Dan itu cukup untuk tempat mereka berteduh.

Sebelum perkenalan itu terjadi, sebenarnya ada banyak cerita yang bisa dijelaskan. Semisal, Han kemarin sudah merencanakan akan pergi ke toko buku. Toko buku yang kurang baik kalau disebutkan namanya di sini. Ia ingin mencari buku-buku terbaru. Dia suka novel. Dan tentu saja ia akan membeli novel.

Ia berencana beli novel tepat di hari libur. Ya, itu satu-satunya waktu nganggur bagi dirinya. Sungguh menjenuhkan bekerja setiap hari, pikirnya. Maka, ia berencana beli novel romance. Novel ringan. Novel yang tidak terlalu membuatnya berkerut kening. Ia tidak mau matanya ngantuk hanya gara-gara membaca tulisan-tulisan yang rumit.

Tetapi rasanya itu akan terlalu bertele-tele jika diceritakan.

Juga sebelum perkenalan itu, Alfania kemarin berencana beli baju baru di hari Minggu. Karena hari itulah waktunya bisa nganggur. Sungguh membosankan kuliah setiap hari, pikir Alfania.

Di samping beli baju baru, Alfania berencana jalan-jalan sejenak menikmati kota. Ia ingin memanjakan matanya. Mata yang setiap hari ia gunakan untuk mengerjakan tugas-tugas dosen yang membosankan.

Tetapi, rasanya juga itu terlalu bertele-tele jika diceritakan.

Di depan toko yang tutup pada suatu siang yang hujan itu, Han sesekali memandang mata Alfania. Dan setiap hal itu dilakukan, Han seperti masuk dalam dunia yang baru. Dunia yang sungguh indah tiada tara. Han ingin sekali mempunyai mata seperti itu. Selama ini ia belum pernah menemukan mata yang seindah itu. Mata yang sebahagia itu.

Perlu diketahui, semenjak kehilangan kedua orangtuanya, di umurnya yang ke sepuluh, mata Han selalu terlihat sedih. Oleh karena itulah kawan-kawannya menyebutnya sebagai lelaki bermata embun. Mata yang senantiasa basah. Mata yang senantiasa terlihat berduka. Mungkin ia memang selalu mengingat kedua orangtuanya yang meninggal dunia karena kecelakaan pesawat yang terbang dari Indonesia menuju Singapura.

Itulah alasannya kenapa kini Han begitu menginginkan mata Alfania. Betapa menyenangkan mempunyai mata yang seperti itu.

Tetapi, Han berpikir, tidak mungkin ia akan mendapatkan mata seindah itu jika tidak melakukan usaha apa-apa. Semisal mematahkan ranting belimbing yang garing dan kebetulan runcing lalu mencongkel mata Alfania untuk ditukar dengan matanya. Atau kalau ingin tidak terlalu kejam, ia harus menikahi perempuan itu. Ya, minimal ia bisa hidup berdampingan dengan perempuan yang mempunyai mata seindah itu.

Maka, Han pun mencari cara bagaimana agar bisa memiliki mata itu. Ketika ia kebingungan mencari caranya, hujan masih deras mengguyur jalanan kota, pohon-pohon tua yang hampir mati, dan segalanya yang hidup atau tidak hidup di kota itu. Han orangnya tidak begitu jahat. Artinya, ia tidak mungkin mencongkel mata Alfania. Dan ia juga penakut. Maka, tidak mungkin baginya mengatakan akan menikahi Alfania dengan dalih yang tidak masuk akal. Toh, mereka baru saja kenal. Dan yang mereka kenal tidak tentu akan jadi kekal.

Han masih bingung. Ia mondar-mandir di situ.

Alfania juga bingung. Ia berpikir, kenapa orang itu terlihat bingung? Kenapa orang itu terlihat seperti manusia paling berduka di dunia? Ketika berpikir seperti itu, Alfania sesekali memandang mata Han.

Apa gerangan isi dari mata yang berduka itu?

Akhirnya, Alfania ingat keinginannya beberapa tahun lalu ketika ia ikut rombongan relawan yang bertugas di Jogja. Jogja setelah gempa melanda. Waktu itu, ia melihat orang-orang bersedih. Orang-orang dengan mata yang basah. Mata yang berembun. Mereka mungkin tengah berduka karena salah satu keluarganya meninggal dunia tertimpa reruntuhan rumah, atau berduka karena rumahnya hancur, atau karena hal lain. Semisal sedang ikut aksi solidaritas terhadap tetangganya yang berduka. Nah, melihat itu semua, Alfania ingin sekali menukar matanya yang selalu bahagia itu dengan mata salah satu dari mereka. Agar, ia merasakan duka juga. Duka yang benar-benar duka.

Ketika Han duduk karena terlalu bingung dengan cara apa mengambil mata Alfania, hujan makin deras. Mereka berdua masih di situ. Lalu, kini Alfania yang ganti mondar-mandir. Ia bingung bagaimana cara mengambil mata Han. Tentu mustahil jika ia mencungkil mata itu dengan gunting yang ada di dalam tasnya. Tentu mustahil jika ia meminta mata Han agar diberikan kepadanya.

Alfania masih mondar-mandir, bahkan itu terjadi sampai hujan sudah tidak turun lagi.

Ketika hujan tidak turun lagi, mereka berpisah. Tetapi sebelum itu, ada kata-kata yang terucap dari mulut mereka berdua. Kata-kata yang sampai beberapa hari kemudian masih melekat di kepala mereka. Kata-kata itu diucapkan hampir berbarengan: matamu bagus. Aku jadi ingin memilikinya.

Pada suatu hari, mereka bertemu di dalam mimpi. Di situ, Han terang-terangan mengatakan kalau ia ingin memiliki mata Alfania. Alfania juga begitu, ia ingin memiliki mata Han. Lalu, keduanya saling mencungkil mata masing-masing.

Dengan cara yang dingin Han mencungkil mata Alfania. Begitu juga yang Alfania lakukan. Mereka memasang mata masing-masing dan melihat dunia dengan cara yang berbeda.

            “Apa yang kamu rasakan?” bisik Han.

            “Aku selalu ingin menangis. Padahal aku sedang tidak bersedih.”

            “Itulah yang kurasakan selama hidupku. Aku jarang bahagia.”

            “Hmmm. Oke, aku bisa memahami persoalanmu. Lalu, apa yang kamu rasakan sekarang?”

            “Aku ingin tersenyum. Entah kenapa aku melihat dunia seperti surga. Aku bahagia.”

            “Hahaha.” Alfania tidak bisa menahan tawanya.

            “Bolehkah mata ini aku pakai selamanya?”

Sebelum Alfania setuju dengan perkataan itu, Han terbangun oleh alarm-nya. Alarm yang menunjukkan kalau ia harus siap-siap berangkat kerja. Kerja kantoran. Tetapi, kali ini Han tidak bisa melihat sekitar. Segalanya gelap. Sehingga ia hanya bisa meraba-raba.

Di tempat lain, Alfania juga mengalami hal serupa. Ia tidak bisa melihat segalanya.

**

Aku menyelesaikan ceritaku tepat ketika kau tertidur. Aku sudah lama menunggu momen ini. Sudah lama aku memimpikan punya mata indah sebagaimana yang kau miliki.[]

2018