Candra Fajri Ananda dan Semangat di Balik UU HKPD
Berita Baru, Tokoh – Pada 7 Desember 2021, era baru desentralisasi fiskal dimulai. Tepat pada tanggal tersebut, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Melalui Undang-Undang (UU) tersebut pemerintah dan DPR RI menginginkan adanya penguatan desentralisasi fiskal melalui peningkatan akuntabilitas dan kinerja.
Berdasarkan paparan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) Candra Fajri Ananda dalam gelar wicara Bercerita Beritabaru.co ke-77, Selasa (14/12), desentralisasi fiskal penting diperkuat karena tiga (3) semangat secara umum.
Pertama, semangat untuk membangun sinergi secara serius antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sinergi ini merujuk pada adanya upaya untuk menyeimbangkan antara sistem serta komitmen pengelolaan keuangan di pusat dan di daerah.
Ketika keduanya tidak tertaut dengan baik, kata Candra, maka baik pembelanjaan nasional atau pun daerah akan rentan membengkak.
Candra memberi contoh bahwa ketika di pusat pengelolaan bagus, tetapi di daerah rusak, maka hasilnya sama. Yang pusat akan terdampak, sehingga tetap membengkak.
“Jika di pusat bagus pengelolaan APBN, tapi di daerah tidak, ya sama saja, khususnya dalam konteks belanja daerah,” ungkapnya dalam diskusi yang dipandu oleh Nureza Dwi Anggraeni, host Beritabaru.co.
Kedua, semangat meningkatkan kekuatan pajak daerah (local taxing power).
Melalui UU HKPD, ada beberapa aturan perpajakan dan retribusi yang diperbarui.
Ini bertujuan agar prosesnya lebih simpel, efisien, dan berdampak secara langsung pada peningkatan pajak daerah.
“Biar ada simplifikasi dan efisiensi. Pengurusan pajak pun bisa lebih simpel, tidak pajak ini diurus dinas ini, pajak itu diurus dinas itu, dan semcamnya. Ini membutuhkan sinkronisasi tentunya dan dengan ini local taxing power kita akan lebih baik,” papar Candra.
Hal tersebut menjadi wajar sebab UU HKPD tidak lain adalah gabungan antara UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dan UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Adapun ketiga lebih pada semangat untuk mengurangi ketimpangan antardaerah di Indonesia.
Candra mengatakan, banyak daerah di Indonesia yang pendapatannya timpang antara satu dan lainnya. Aturan yang mereka gunakan sama, tetapi hasilnya berbeda.
Salah satu contoh, lanjutnya, ada satu daerah memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp25 miliar dan daerah lain mampu menghasilkan jumlah yang sama dalam hitungan satu hari.
“Ini ketimpangan yang serius,” ungkap Candra, “yang perlu segera diatasi dan semangat dari UU HKPD adalah untuk menjembatani ketimpangan tersebut.”
Ia menyampaikan pula bahwa salah satu alasan mengapa ketimpangan terjadi adalah membengkaknya dana untuk pegawai.
Di beberapa wilayah, alokasi untuk gaji pegawai mencapai 50% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Jika sudah begini, pertanyaannya satu: lalu untuk pembangunan masyarakatnya pakai uang apa? Jadi, ketika ada daerah yang membengkak di gaji pegawai, saya sudah bisa menebak, pasti ia tertinggal dari daerah lainnya,” ungkap sosok yang juga dipercaya sebagai Staf Khusus Menteri Keuangan ini.