Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Hendrika Kelan
Hendrika Kelan, pejabat publik transgender pertama di Indonesia. Foto: DW.

Perjuangan Hendrika Kelan, Pejabat Publik Transgender Pertama di Indonesia



Aku tahu bagaimana rasanya depresi dan takut. Dulu aku pun takut dan stres. Seperti diriku, kaum minoritas seksual itu selalu merasa bersalah, dibenci. Aku perlahan-lahan meyakinkan mereka untuk menerima diri sendiri dulu.

Hendrika Kelan

Berita Baru, Jakarta – Nama aslinya Hendrikus, seorang lelaki yang lahir pada Agustus 1986 di Sikka, Nusa Tenggara Timur. Ia mengatakan merasa menjadi seorang perempuan sejak sekolah dasar: suka memakai riasan dan bermain dengan mainan-mainan anak perempuan.

“Aku sudah merasa berbeda dari anak laki-laki umumnya. Namun adanya tekanan dari keluargaku, aku terus mencoba bertahan menjadi seorang anak laki-laki,” kata Hendrika Kelan kepada DW.

Keluarganya memeluk agama Katolik. Saat kecil, bersama keluarganya ia pindah ke Papua. Ia masuk sekolah Katolik dan menjadi seorang frater. Di saat itu, ia mulai memiliki semangat untuk membantu orang lain.

Namun, di saat itu juga, ia berjuang dalam perang identitas yang penuh dilema: di satu sisi, perasaannya ingin menerima identitasnya bahwa ia adalah seorang transgender, meski fisiknya adalah seorang laki-laki, tapi sifat perempuannya kuat di dalam jiwanya; di sisi lain, keyakinannya menghalangai keinginan itu, bahwa transgender adalah sebuah dosa dan dilarang oleh agamanya.

Saat-saat itu, depresi dan kebimbangan menyelimutinya. Ditambah, ia berada dalam negara yang terbilang konservatif.

“Tanpa memberitahu identitasku, kupikir orang-orang pasti sudah bisa melihat sifat keperempuanku,” katanya.

Dua tahun berselang, ia memutuskan untuk meninggalkan kebaktian. Lalu ia mulai berani mengenakan pakaian perempuan. Hingga ia pun berani pindah ke Yogyakarta, kota Budaya.

Di Yogyakarta, ia banyak membantu korban HIV-AIDS hingga ia kehabisan uang. Lalu untuk melanjutkan kehidupan, ia bekerja menjadi seorang pengamen jalanan dan pekerja seks.

Kerasnya kehidupan jalanan, membuatnya mengalami beberapa peristiwa menyakitkan: pemukulan, pelecehan, dan mungkin kekerasan fisik. Tidak hanya dari jalanan, ia pun pernah menerima perlakuan buruk dari kalangan pejabat.

Hingga pada tahun 2018, ia mendapat kabar bahwa sepupunya meninggal dunia. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan kembali ke desa Sikka, desa tempat ia dilahirkan.

Sebelum menjadi seorang perempuan, Hendrika Kelan adalah seorang bruder (suster) di Gereja Katolik yang taat. Dilema dalam dirinya semakin kuat. Ia pun memutuskan beralih menjadi seorang perempuan dan berganti nama menjadi Hendrika Kelan.

Perubahan itu bukannya membuatnya minder. Hambatan sosial tidak membuat semangat untuk membantu sesama manusia surut. Ia pun ikut bergabung dengan komunitas desa, Fajar Sikka.

Fajar Sikka, berdiri tahun 2018 di Kabupaten Sikka, menjadi komunitas yang bertujuan untuk membantu masyarakat yang merasa dikucilkan oleh masyarakat, baik karena perbedaan orientasi seksual maupun disabilitas.

Dengan anggota lebih dari 40 orang, Fajar Sikka memberikan tempat tinggal bagi kaum transgender, perempuan adat dan pekerja penyandang disabilitas.

“Aku tahu bagaimana rasanya depresi dan takut. Dulu aku pun takut dan stres. Seperti diriku, kaum minoritas seksual itu selalu merasa bersalah, dibenci. Aku perlahan-lahan meyakinkan mereka untuk menerima diri sendiri dulu,” kata Kelan.

Bagi seorang waria yang hidup di Indonesia, dapat hidup damai tanpa dihakimi dan didiskriminasi sudah menjadi tantangan besar.

Salah satu jalan untuk menghadapi tantangan itu adalah dengan meningkatkan keterampilan mereka. Jalan itu dipilih oleh Kelan. Ia mendorong anggota Fajar Sikka untuk mempelajari keterampilan baru dan menghindari stereotip bahwa perempuan trans hanya bisa bekerja di salon, sebagai pengamen jalanan, atau menjadi pekerja seks.

Komunitas Fajar Sikka mengajarkan berbagai keterampilan dan anggotanya menjual makanan di sekolah, membuka kios, menjadi pedagang dan memulai usaha.

Tak mudah sebuah komunitas seperti Fajar Sikka bisa bertahan lama, butuh perjuangan keras.

Hingga kemudian, pada saat pemilu kemarin, ia terpilih menjadi Ketua di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) desa Habi, di kabupaten Sikka.

Sebagaimana BPD pada umumnya di desa, BPD Habi juga merupakan parlemen desa. Badan itu menjadi wakil dari penduduk desa yang dipilih secara musyawarah mufakat.

Kelan mengatakan, dukungan Fajar Sikka berperan penting dalam kesuksesannya sebagai pejabat publik.

“Aku berterima kasih atas dukungan masyarakat kepadaku sebagai perempuan trans. Mereka mempercayakan kepemimpinan dewan desa kepadaku,” ujar Kelan.

Sebagai seorang perempuan trans, ia mengatasi hambatan sosial di Indonesia yang konservatif untuk mendapatkan dukungan dari komunitasnya dan ia selalu berusaha melayani orang lain.

Sebagai ketua dewan desa, gaji Kelan hanya berkisar sekitar 1-1,5 juta rupiah. Tapi itu tak menyurutkan semangatnya. Ia ingin membantu desanya berkembang.

Dan tidak hanya itu, ia juga ingin menjadi contoh bahwa perempuan trans di Indonesia dapat menjadi bagian dari pemerintahan tanpa stigma dan stereotip yang melekat.