Berdaulat Setelah Merdeka | Opini: Raudal Tanjung Banua
Raudal Tanjung Banua
Kita baru saja merayakan Hari Kemerdekaan RI ke-77 dengan khidmat dan rasa syukur. Upacara digelar, bendera Merah Putih dikibarkan dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Mulai dari istana negara, kantor gubernur, kampus, sekolah hingga tempat-tempat publik lainnya di pelosok negeri. Di mana-mana terdengar gegap-gempita teriakan,“Merdeka!” dalam suasana aneka lomba. Meski puncaknya jatuh tanggal 17 Agustus dengan mengambil momen saat Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan, tapi semarak Agustusan masih terasa sampai akhir bulan.
Di kampung-kampung di Jawa, misalnya, termasuk di tempat saya tinggal di Bantul, masih digelar final pertandingan olahraga seperti bola voli, bulu tangkis dan sepakbola. Suara pembawa acara terdengar sampai larut malam, berbaur dengan sorak-sorai supporter, dipancarkan suara toa yang mendatangkan kegembiraan bagi semua.
Di tengah suasana demikianlah, saya merasakan bahwa fajar kemerdekaan memang sudah benderang. Akan tetapi bagaimana dengan kedaulatan, ternyata lain lagi ceritanya. Apabila kita membaca sejarah, kita tahu bahwa setelah Indonesia merdeka, rakyat dan para pemimpinnya segera merumuskan perjuangan berikutnya yang tak kalah berat: merebut kedaulatan. Selain melalui perang gerilya, juga diupayakan lewat perundingan dan diplomasi. Rupa-rupanya kedaulatan tidak otomatis melekat dengan kemerdekaan, betapa pun kedua diksi keramat ini identik jika bukan kembar-siam.
Sebab jika “hanya” merdeka, tawaran Belanda dalam bentuk negara persemakmuran misalnya, merupakan koridor lain kemerdekaan juga—meski jelas tidak 100%. Karenanya, dalam sejumlah perundingan, usul itu ditolak delegasi kita. Sebaliknya, Belanda keukeuh menolak Indonesia sebagai negara berdaulat serta punya perwakilan di luar negeri karena tak terima Indonesia-Belanda sejajar di mata internasional.
Dengan kata lain, setelah merdeka kita harus berdaulat. Bangsa merdeka, ternyata belum tentu sepenuhnya berdaulat; sedang bangsa berdaulat sudah pasti merdeka. Atau kedaulatan dan kemerdekaan sejatinya melekat. Merujuk Tesaurus Bahasa Indonesia Eko Endarmoko, kemerdekaan bersinonim dengan independensi, kebebasan, kedaulatan, kemandirian, otonomi (2006: 413). Tapi lantaran terus dikoyak penjajahan Belanda melalui agresi dan aksi polisional, maka kedua diksi itu jadi terpisah. Kita harus menyatukannya kembali supaya “merdeka-berdaulat” mencapai maknanya yang hakiki.
Perjuangan Kedaulatan
Begitulah ceritanya. Dalam upaya mencapai kemerdekaan 100%, sepanjang April 1946 hingga November 1947, diadakan serangkaian perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Diawali perundingan di Hoge Veluwe dan berlanjut ke Linggarjati. Prosesnya berlarut-larut karena terantuk pada dua hal pokok tapi secara substansial merujuk satu soal, yakni kedaulatan. Pertama, tuntutan Indonesia untuk diakui sebagai negara berdaulat penuh. Kedua, sebagai negara merdeka, Indonesia harus punya kantor perwakilan di luar negeri. Bahkan Delegasi Republik dalam Perundingan Linggarjati bertekad mengubah kata “merdeka” dalam pasal Rancangan Perjanjian menjadi kata “berdaulat”.
Hal itu diceritakan Ali Budiardjo, sekretaris delegasi Indonesia dalam buku Menelusuri Jalur Linggarjati yang dieditori A.B. Lapian dan P.J. Drooglever (1992: 9). Menurutnya, Perdana Menteri Sutan Syahrir memang diberi mandat “berunding atas dasar merdeka 100%.” Tentu kemerdekaan semacam itu hanya mungkin tercapai bila kita memiliki kedaulatan penuh, sebagaimana selalu ditegaskan Tan Malaka.
Barulah setelah tuntutan substansial Republik disetujui, perundingan panjang tersebut mencapai kata sepakat. Bagi Budiardjo, Perjanjian Linggarjati merupakan “langkah pertama menuju dekolonialisasi Indonesia”. Ketika perundingan berlangsung kita sudah merdeka. Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan atas nama rakyat Indonesia (baca: daulat rakyat). Tapi kolonialisme belum sepenuhnya enyah dari alam kemerdekaan kita yang baru seumur jagung.
Maka jangan heran, kedaulatan diulik dalam bentuk sekecil-kecilnya tindakan. Dalam proses Perjanjian Linggarjati, terceritakan petite historis (sejarah kecil) yang bermakna besar. Waktu itu, delegasi Belanda di kapal AL “Banckert”, di lepas pantai Cirebon, ditolak pihak ALRI untuk diangkut ke tepi dengan perahu patroli mereka. ALRI menunjukkan sikap berdaulat lewat aturan bahwa pihak asing yang masuk ke wilayah Indonesia harus diangkut oleh perahu motor ALRI sendiri (Budiardjo, 1992: 17).
Ini tentu bukan sekadar interupsi, justru menyiratkan esensi perundingan: kedaulatan wilayah. Meski dalam kasus itu (Budiardjo menyebut “insiden”) akhirnya tercapai kesepakatan bahwa anggota delegasi Belanda diizinkan diantar kapal patroli mereka, tetapi dalam kawalan perahu motor ALRI. Itu artinya pula, dalam merumuskan dan menerapkan kedaulatan, kita tidak boleh kaku. Maklum, kedaulatan itu sendiri berhampiran dengan diksi-diksi lain yang tak kalah mulia seperti perdamaian, kemanusiaan, dan dalam konteks sekarang bisa jadi demokrasi.
Sementara dalam tindakan besar terlihat bagaimana setelah Proklamasi, rakyat bersiaga menjaga kedaulatannya. Atas nama cinta damai, rakyat tetap tenang ketika Inggris datang membebaskan tahanan Sekutu, melucuti tentara Nippon dan mengembalikannya ke negeri Matahari Terbit yang dua kota utamanya telah hancur dibom. Proses itu awalnya tidak menimbulkan bentrokan. Pertempuran baru terjadi di Surabaya lantaran tindakan komandannya yang disebut Budiardjo “tidak bijaksana”. Inggris memerintahkan rakyat menyerahkan semua senjata melalui selebaran penuh ancaman.
Saat itulah rakyat bangkit dan bergolak. Mereka marah karena marwah kedaulatan mereka diinjak-injak. Maka kukuhlah semboyan,”Kita cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan.” Cinta damai itu baik, namun jika perdamaian dijadikan alibi untuk menggusur kemerdekaan, maka yang terbaik jelas memilih kemerdekaan. Bahkan sampai pada pilihan akhir,”Merdeka atau mati!” Bak pepatah lawas,“Lebih baik berputih tulang daripada hidup berputih mata.”
Berdaulat bagi Semua
Pada era raja-raja Nusantara, kedaulatan bersumber dari dan untuk raja yang disebut “daulat raja”. Dalam batas tertentu, “daulat raja” ada juga yang mampu menjaga marwah negerinya. Namun bagaimanapun, “daulat raja” beresiko besar mengancam kemerdekaan rakyat. Penyair W.S. Rendra kerap menyitir soal ini dalam puisi dan orasinya. Di antara fakta inilah kita mengenal pepatah,”Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.” Meski mustahil ada pilihan selagi “hamba” tak punya daulat sendiri.
Datangnya era kompeni dan imperialisme, mengakhiri “daulat raja” Nusantara. Lantas beralih kiblat menjadi “daulat raja” atau “daulat ratu” ala Eropa. Di Nusantara sendiri berlangsung “daulat tuan”, dan turunannya seperti ambtenaar dan pangrehpraja.
Proklamasi kemerdekaan hakikatnya garis batas dan penanda tegas akan perubahan “daulat raja” menjadi “daulat rakyat”. Siapakah rakyat? Kita bisa meminjam ungkapan Hartoyo Andangdjaja dalam sajaknya yang indah (1993):”Rakyat ialah kita/beragam suara di langit tanah tercinta/suara bangsi di rumah berjenjang bertangga/suara kecapi di pegunungan jelita/suara bonang mengambang di pendapa/suara kecak di muka pura/suara tifa di hutan kebun pala/rakyat ialah suara beraneka…”
Ya, rakyat berasal dari berbagai latar belakang adat, agama dan budaya—sebagai representasi “daulat raja” yang meluruh di masing-masing wilayah. Latar belakang ini tidak boleh dilupakan apalagi dihilangkan. Kita memang telah menyatakan kebersamaan dan kesatuan dalam sebuah negara merdeka, namun suku bangsa (Pramoedya Ananta Toer menyebut bukan suku-bangsa, melainkan bangsa itu sendiri) harus tetap dijaga. Dari sinilah kita mengenal negara-bangsa.
Berdasarkan ini, kedaulatan menurut saya harus dikembalikan sebagai elemen dasar setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Aspek apa pun tak boleh kosong dari unsur dasar ini. Sebab ia baru akan sempurna menuangkan gairah dan kemaslahatan hidup, jika ia berdaulat penuh. Dalam kesempatan ini saya ingin mengkritisi sebuah semboyan utama kita yang berasal dari konsepsi Trisakti Bung Karno: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya. Belakangan dihidupkan kembali oleh Presiden Joko Widodo dalam konsep Nawacita.
Apakah semboyan itu salah? Saya tidak mengatakan demikian. Namun ada patahan yang menempatkan kedaulatan seolah milik satu aspek; politik. Mungkin saja Bung Karno dulu merumuskannya secara lebih spesifik, sementara kedaulatan adalah unsur general. Idealnya, kita mesti berdaulat, baik secara politik, ekonomi maupun kebudayaan.
Berdikari itu pasti, jika dalam ekonomi kita punya kedaulatan mengatur segala sesuatu. Dalam kebudayaan, berkepribadian itu konsekwensi logis dari kehidupan masyarakat yang berdaulat atas kebudayaannya. Ada pun politik, dengan kedaulatan pula, akan berpihak kepada keselamatan rakyat dan cita-cita bersama.
Menempatkan politik sendirian di tapak kedaulatan, beresiko memperpanjang nafas “politik sebagai panglima”. Atas nama kedaulatan, dunia politik ringan lidah mendaulat demokrasi sebagai legitimasi kekuasaan. Sebaliknya, tanpa kedaulatan, ekonomi tak bisa benar-benar berdikari sebab segala sesuatu didikte pihak lain. Dan tanpa kedaulatan, kebudayaan sudah lebih dulu mati suri.
Kedaulatan Kebudayaan
Eksistensi kebudayaan di enclave alam seperti di Kalimatan, Sumatera, Sulawesi, Papua dan di mana-mana, telah lama tergencet. Sejak mesin-mesin raksasa tambang dan perkebunan seizin pemerintah leluasa merambah hutan ulayat, kampung dan ekologi masyarakat adat, sejak itulah kedaulatan mereka diciderai alih-alih dirampas.
Mustahil bicara kepribadian disaat seperti ini. Bahkan untuk menyelamatkan tempat hidup pun, masyarakat berjibaku menghadapi kekerasan, kriminalisasi dan bahkan nyawa. Celakanya, hukum dan penegak hukum sering tak sejalan, jika bukan main mata dengan kepentingan oligarki.
Masih segar dalam ingatan, kasus kriminalisasi Willem Hengki, kepala Desa Kinipan, Lamandau Kalteng. Hengki, kita tahu, aktif menolak pencaplokan tanah adat Kinipan dari incaran korporasi. Begitu pula perjuangan masyarakat penolak tambang, pabrik dan perkebunan di Wadas, Toba, Sangihe, Meratus dan seterusnya.
Meratus, bukan hanya hulu sungai besar, juga tempat masyarakat adat Dayak hidup dengan hutan, tanah ulayat, ritual dan anasir-anasir kebudayaannya. Bagi warga Sangihe, tambang emas jelas mengancam ekologi dan budaya mereka di pulau kecil. Ironisnya, meski gugatan penolakan masyarakat dikabulkan MA, pihak investor tetap mengerahkan mesin dan alat-alatnya—dalam kawalan aparat!
Semua itu menunjukkan bahwa melepaskan kebudayaan dari kedaulatan, dan menggantinya jadi “sekadar” berkepribadian, jelas rumpang. Padahal jika mau jujur, banyak aspek, tak terkecuali politik dan ekonomi, sebenarnya berada di lingkup besar bidang kebudayaan, seperti sering diungkap Koentjaraningrat.
Jadi sudahkah rakyat berdaulat alih-alih daulat rakyat, setelah 77 tahun merdeka?
Masih jauh panggang dari api. Sepanjang kedaulatan disingkirkan dari berbagai aspek kehidupan, percayalah, kemerdekaan 100% adalah pepesan kosong. Perlu bagi kita sekarang menggenapkan teriakan,”Merdeka, merdeka!” dengan “Berdaulat, berdaulat!”
(Raudal Tanjung Banua, sastrawan, dan anggota grup Kuncen Pantai Barat)