Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Beralih dari Afrika, Ini Pasar Baru Minyak China

Beralih dari Afrika, Ini Pasar Baru Minyak China



Berita Baru, Internasional – Menjadi salah satu sumber utama minyak China selama dua dekade terakhir, kini para analis memperkirakan bahwa pangsa pasar Afrika akan menurun karena China mulai mencari pemasok lain.

South China Morning Post (SCMP) melaporkan, pada 2007, sekitar sepertiga dari impor minyak mentah China berasal dari Afrika, berdasarkan data Observatory of Economic Complexity (OEC), platform data online yang dijalankan oleh Datawheel, perusahaan data yang berbasis di AS.

Hanya saja, pangsa itu mulai turun menjadi sekitar 18% pada September ini – dan diproyeksikan akan turun lebih jauh karena Beijing mendapatkan lebih banyak komoditas dari Timur Tengah, termasuk Iran dan Arab Saudi.

China sudah mengimpor sekitar setengah dari minyaknya dari Timur Tengah dan Badan Energi Internasional (International Energy Agency) memperkirakan bahwa impor China dari wilayah tersebut akan berlipat ganda pada tahun 2035 – terlepas dari ketidakstabilan politik di Timur Tengah.

Secara khusus, China telah setuju menginvestasikan dana jumbo senilai US$ 400 miliar atau setara dengan Rp 5.800 triliun (kurs Rp 14.500/US$) di Iran sebagai imbalan atas pasokan minyak.

Mark Bohlund, Senior Credit Research Analyst di lembaga REDD Intelligence yang berbasis di New York, mengungkapkan, dua negara di Afrika yakni Angola dan bekas Sudan (sebelum referendum yang memisahkan dua wilayah Sudan) penting bagi upaya China untuk mengamankan pasokan minyaknya di awal tahun 2000-an.

Pada saat itu China sedang membuat terobosan ke Afrika untuk mencari bahan mentah untuk industri dan pasar produknya sebagai bagian dari strategi “Go Global” mereka.

Pada 2006, menurut data OEC, lima dari 10 pemasok teratas China berasal dari Afrika: Angola, Republik Kongo (Kongo-Brazzaville), Guinea Khatulistiwa, Sudan, dan Libya. Pasar minyak lainnya dari Afrika termasuk Kamerun, Gabon, Aljazair, Nigeria, Mesir dan Ghana.

Pada saat itu, China bersaing untuk mendapatkan pasokan dengan Amerika Serikat tetapi dengan revolusi minyak serpih (oil shale), AS beralih dari pengimpor minyak terbesar dunia menjadi pengekspor minyak netto, kata Bohlund.

“Ini berarti China adalah klien terbesar untuk hampir semua eksportir minyak utama, termasuk Arab Saudi,” kata Bohlund, dikutip SCMP, Minggu (6/9).

“Jadi, pentingnya eksportir minyak Afrika seperti Sudan Selatan, Republik Kongo, dan Angola telah berkurang secara signifikan.”

Pada 2018, Angola adalah satu-satunya negara Afrika yang masih berada di antara lima eksportir minyak terbesar ke China, memasok lebih dari 10% dari total raksasa Asia itu.

Angola menandatangani kesepakatan pinjaman untuk transaksi bernilai miliaran minyak dengan para trader komoditas China, menjadi tujuan terbesar untuk pinjaman China. Terhitung sekitar sepertiga dari semua pinjaman ke negara-negara Afrika itu berasal dari Beijing.

China juga menginvestasikan miliaran dolar di ladang minyak di Sudan dan Sudan Selatan, keduanya sekutu utama Beijing, tetapi ketidakamanan membuat operasi darat hampir terhenti.

David Shinn, seorang profesor di Elliott School of International ­Affairs, George Washington University, mengatakan bahwa ketika Sudan masih menjadi satu negara, China mengimpor lebih dari 5% minyaknya dari negara itu. Tapi itu terjadi sebelum Sudan Selatan memisahkan diri dari Republik Sudan pada 2011, dan tiga perempat ladang minyak Sudan ikut serta.

“Hari ini sudan hampir tidak memiliki minyak berlebih untuk diekspor ke China dan produksi Sudan Selatan telah menurun karena konflik sipil di beberapa daerah ladang minyak,” kata Shinn.

Charles Robertson, Kepala Ekonom Global dan Analis Pasar Negara Berkembang untuk bank investasi Renaissance Capital yang berbasis di Moskow, mengatakan Sudan telah menjadi “pemasok yang tidak dapat diandalkan ke China”.

Sudan Selatan juga telah memberikan pemberitahuan bahwa mereka akan mengakhiri kemitraannya dengan China National Petroleum Corporation (CNPC), operator ladang minyak utama negara itu, ketika lisensinya berakhir dalam 7 tahun, menurut laporan media lokal pekan lalu.

CNPC memiliki 41% saham di konsorsium minyak terbesar di Sudan Selatan – Dar Petroleum Operating Company, sementara Sinopec, perusahaan milik negara China lainnya memegang 6% saham.

Karena konflik di dalam negeri, Dar Petroleum memproduksi sekitar 110.000 barel per hari (bpd), jauh di bawah kapasitasnya, menurut catatan perusahaan.

Sudan Selatan menyumbang hanya sebagian kecil dari total impor minyak China, tetapi sebagian besar dari apa yang dihasilkannya masuk ke China, terutama sejak AS menjatuhkan sanksi pada beberapa pemimpin dan bisnis di Sudan.

Winifred Michael, analis asosiasi risiko negara Afrika Sub-Sahara di Fitch Solutions yang berbasis di London, mengatakan Sudan Selatan memproduksi sekitar 170.000 bpd, dan tidak dapat mencapai tingkat produksi puncaknya sekitar 350.000 bpd karena kurangnya investasi kronis. Ini terjadi karena seringnya kerusakan fasilitas sebagai akibat dari perang saudara selama 7 tahun yang baru saja berakhir.

“Intermiten [putus-putusnya] ekspor minyak dari Sudan Selatan telah mengurangi keandalan negara yang kemungkinan besar membuat China lebih enggan untuk mengimpor dari Sudan Selatan,” kata Michael.

Dia mengatakan Beijing sekarang mengambil minyak dari lebih banyak negara di luar Afrika, mengakibatkan penurunan pangsa Afrika.

“Beijing sedang mengejar strategi diversifikasi impor sehingga pangsa Afrika dalam impor minyak China pada gilirannya secara umum menurun,” katanya.

Shinn mengatakan bahwa ketika China memotong impor minyak dari Afrika dari yang tertinggi sekitar 32% dari minyak impornya menjadi sekitar 18%, negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu “telah menggantikan pasokan itu dengan minyak dari Timur Tengah, Venezuela, dan negara tetangganya.” kata Shinn.