Banyak Jalan untuk Pendanaan Lingkungan Hidup
Berita Baru, Yogyakarta – Sumber pendanaan untuk lingkungan hidup bisa datang tidak saja dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tapi juga sektor swasta atau skema fiskal inovatif lainnya.
Dalam Konferensi Nasional EFT III hari kedua yang digelar secara daring di Kanal Youtube Beribaruco tersebut, Direktur FITRA Riau Triono Hadi mengatakan sebetulnya ada banyak sumber pendanaan yang bisa dipakai untuk pembiayaan lingkungan hidup.
Di waktu bersamaan, karena adanya keragaman sumber pendanaan tersebut diciptakanlah Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kementerian Keuangan yaitu Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) untuk menghimpun pendanaan lingkungan hidup dari berbagai sumber.
Selain untuk mengatasi kendala pendanaan lingkungan hidup, tutur Triono, hadirnya BPDLH adalah juga menunjukan bahwa isu lingkungan hidup bukanlah isu sektoral, tapi isu lintas-sektoral.
“Karena bukan isu sektoral, maka persoalan lingkungan hidup harus ditangani oleh berbagai sektor. Harus ada kerja sama berbagai pihak,” tandasnya dalam diskusi yang dipandu oleh Maryam Dulman dari Sikola Mombine.
Di sisi lain, Triono menambahkan, apa yang menjadi tanggung jawab BPDLH ini merupakan titik awal untuk pengembangan Dana Abadi Daerah (DAD). Dengan adanya perbaikan sistem manajemen DAD diharapkan akan berdampak pada reformasi pengelolaan keuangan daerah.
“Arahnya nanti pada pengembangan skema blended finance untuk pembiayaan lingkungan hidup dan ke depannya pada peningkatan pelayanan di bidang lingkungan hidup,” tegas Triono.
Meski demikian, berdasarkan paparan Ronald Rofiandri dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), bicara DAD adalah membincang tentang sesuatu yang tidak sederhana. Di dalamnya terselip beragam dinamika yang khas.
“DAD yang ada selama ini bisa menjadi contoh pengelolaan yang harapannya bisa membantu daerah, tapi ada beberapa hal yang penting dicatat. Soal dinamika daerah misalnya,” ungkap Ronald.
Tentang pengalokasian misalnya, lanjut Ronald, seseorang berhak bertanya, apa dasar dana ini dialokasikan ke sini dan bukan ke situ. Dengan ungkapan lain, Ronald mempertanyakan mengapa suatu proyek menjadi prioritas untuk dituju, sedangkan proyek lainnya tidak.
“Ini pertanyaan penting. Sebab pasti ada banyak kepentingan dan ini bergantung pada karakter setiap daerah,” katanya dalam konferensi bertema Konsolidasi Masyarakat Sipil untuk Memperkuat Pendanaan Lingkungan Hidup dalam Agenda Pencapaian FOLU Net Sink 2030 dan Pembangunan Rendah Karbon.
Adanya konflik kepentingan seperti ini rupanya juga membuat resah NBS Senior Sourcing Manager Asia South Pole Ria Mariamah. Ketika bicara tentang perdagangan karbon untuk perlindungan lingkungan hidup di Indonesia, ia menegaskan bahwa pendampingan untuk semua proses terkait program lingkungan hidup mutlak dibutuhkan.
Pasalnya, terutama soal perdagangan karbon, dana yang berhasil dikeluarkan rentan tidak masuk pada masyarakat, tapi justru segelintir orang.
Adapun untuk mekanisme perdagangan karbon sendiri, Ria menguraikan itu bisa datang dari hasil pajak karbon bagi perusahaan dengan emisi tinggi dan penjualan karbon.
“Mudahnya, proyek-proyek yang memiliki karbon bisa menjual karbonnya pada perusahaan yang tinggi emisi. Selain itu, nanti akan ada pajak karbon bagi perusahaan dengan emisi yang tinggi,” jelas Ria.
Diskusi yang diselenggarakan selama dua hari ini, 14-15 November 2022, terdiri dari dua (2) sesi. Sesi pertama membicarakan pelembagaan EFT dan pembiayaan inovatif lingkungan hidup, evaluasi pendanaan DBH DR dan sawit rakyat berkelanjutan, dan potensi community carbon market pasca kebijakan nilai ekonomi karbon.
Sesi kedua selanjutnya sesi pleno yang membahas pemaparan dan tanggapan hasil diskusi tematik yang dipandu oleh Gurnadi (Seknas FITRA), Tarmidzi (FITRA Riau), dan Stephanie Juwana (IOJI).
Acara ini diselenggarakan oleh TAF bekerja sama dengan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Indonesia Budget Center (IBC), Seknas FITRA, FITRA Provinsi Riau, Gerakan Anti Korupsi (GeRAK), JARI Indonesia Borneo Barat, Pilar Nusantara, Yayasan Sikola Mombine, dan JEMARI Sakato.