Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Banyak Bangunan Hanya Bersifat Estetika, Pakar Sejarah Sebut Gresik Tak Punya Perbup Cagar Budaya

Banyak Bangunan Hanya Bersifat Estetika, Pakar Sejarah Sebut Gresik Tak Punya Perbup Cagar Budaya



Berita Baru, Gresik – Pesatnya pembangunan infrastruktur dan perkembangan industri di Kabupaten Gresik mendapat sorotan dari pakar sejarah. Salah satunya ketua Literasi Mataseger (Masyarakat Pecinta Sejarah Gresik) Kris Adji AW.

Menurutnya, pembangunan yang ada di Kota Pudak cenderung bersifat estetika atau nampak indah secara bentuk fisik. Namun, tidak sedikit yang justru bertolak belakang dengan sudut pandang sejarah.

“Secara estetika nampak bagus, tetapi justru bertolak belakang atau blunder jika dilihat dari sudut pandang sejarah,” kata Kris, sapaan akrabnya.

Kris mencontohkan, diantara yang bertolak belakang dengan sudut pandang sejarah seperti, pembangunan land mark tugu suling dan revitalisasi Gedung GNI.

“Itu kan cagar budaya, seperti land mark tugu suling yang asli hingga sampai saat ini juga masih ada, tetapi pemerintah justru membangun baru ditempat yang berbeda, demikian juga dengan Gedung GNI, jelas-jelas gedung yang dulu dibangun dari swadaya masyarakat itu masuk cagar budaya, boleh saja diperbaiki, tetapi jangan merubah esensi nilai sejarahnya,” terang Kris, saat ditemui pewarta Beritabaru.co disanggar Literasi Mataseger.

Gedung GNI, lanjut Kris bercerita, bagaimana dulu pada tahun 2015 dirinya bersama puluhan komunitas dari pakar sejarah menentang pembangunan gedung GNI yang justru merubah bentuk dan esensi nilai sejarahnya.

“Kami dulu menentang keras. Bahkan kami berani adu argumentasi soal sejarah gedung GNI, karena Gresik ini tidak mempunyai Tim Ahli Cagar Budaya (TACB), makanya untuk pertimbangan kurang diperhatikan,” ujarnya.

Melihat kondisi seperti demikian, Kris merasa prihatin dan khawatir jika di masa yang akan datang, generasi penerus justru kesulitan bahkan salah kaprah memahami sejarah dan budaya kotanya sendiri.

“Kami sangat prihatin dengan kondisi seperti ini, dan sangat khawatir jika nanti 5 sampai 10 tahun kedepan generasi penerus akan kesulitan bahkan salah kaprah menemukan sejarah asli Kota Gresik. Contohnya saja, perempatan dr. Wahidin itu orang kan menyebutnya perempatan Kebomas, tetapi 10 tahun yag akan datang orang bisa menyebutnya perempatan tugu lontar, lah ini kan sama saja merubah sejarah, contoh lain Kota Tua yang berada di sebelah alun-alun itu agar tetap lestari mestinya dirawat dan dimanfaatkan untuk masyarakat, bisa jadi icon sejarah masyarakat Gresik seperti di Semarang, tetapi sampai saat ini juga dibiarkan begitu saja, malah membuat bangunan-bangunan baru yang disamakan dengan bentuk peninggalan sejarah maupun prasasti. Tetapi yang asli justru tidak dirawat,” urai pria yang pernah menjadi ketua presidium di Kongres Komunitas Sejarah Nasional dan fasilitator Kongres Kebudayaan Nsional di tahun 2018.

Lebih dari itu, Kris mengungkapkan bahwa terkait sejarah, kebudayaan dan kesenian di Gresik. Pemerintah hingga saat ini tidak memiliki Perbup sebagai acuan yang mengatur terkait pelestarian dan menjaga situs sejarah sesuai dengan 7 poin revolusi kebudayaan nasional. Hanya memiliki payung hukum Perda Nomor 27 tahun 2011.

“Cagar budaya dan kesenian di Gresik ini hanya memiliki Perda 27 tahun 2011. Masalahnya, Perda itu belum mencakup keseluruhan, dan tidak akan berjalan jika tidak ada Perbupnya, sudah dibuatkan Perda tetapi sampai saat ini Perbup tidak turun-turun,” keluhnya.

Kris berharap, pemerintah kedepan lebih perhatian dan lebih mempertimbangkan terkait pembangunan infrastruktur terlebih terkait dengan kearifan lokal dan situs sejarah.

“Pemerintah harus lebih hati-hati jika membangun apapun, jangan sampai hanya mempertimbangkan estetika, tetapi tidak mempertimbangkan etika kepada leluhur yang telah menciptakan sejarah, dan juga tidak melihat kearifan lokal. Saya akan terus mengawal dan saya sudah banyak memberikan pertimbangan bahkan solusi,” pungkasnya.