APKASI Dukung RUU Cipta Kerja
Berita Baru, Jakarta – Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), mendukung pemerintah upaya dalam merealisasikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.
Tetapi, ada lima hal yang perlu menjadi perhatian, khususnya dalam klaster perizinan dan investasi daerah.
Pertama, penerapan standar dan pemberian perizinan yang dilakukan pemerintah pusat. Yakni, penerapan perizinan berusaha berbasis risiko yang diperoleh berdasarkan perhitungan nilai tingkat bahaya.
“Nilai potensi terjadinya bahaya terhadap aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan pemanfaatan sumber daya,” kata pengurus APKASI, Ahmed Zaki Iskandar, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/6/2020).
Dari situ, kemudian dibagi ke dalam beberapa kriteria risiko.
Yaitu, kegiatan usaha berisiko tinggi dengan pemberian Nomor Induk Berusaha (NIB) dan izin. Kegiatan usaha berisiko menengah dengan pemberian NIB dan standar sertifikat.
Di sisi lain kegiatan usaha berisiko rendah dengan pemberian NIB.
Menurut Ahmed, penerapan standar mengenai penataan kewenangan perizinan berusaha ini biasanya dituangkan dalam Norma Standar Prosedur Kriteria (NPSK). Tetapi dalam menetapkan NPSK, sering terjadi silang pendapat antara kementerian atau lembaga.
“Penataan kewenangan perizinan berusaha yang diatur dalam NPSK tersebut, sebaiknya dilakukan dalam satu kesatuan peraturan untuk menghindari tumpang tindih pengaturan,” urainya.
Kedua, adalah penentuan tingkat kriteria bahaya dan klasifikasi potensi terjadinya bahaya yang tidak begitu jelas. Hal ini berpotensi mengabaikan risiko-risiko yang belum teridentifikasi. Selanjutnya, aspek risiko kebencanaan, baik yang disebabkan alam atau manusia.
APKASI mempertanyakan, apakah hal tersebut masuk ke dalam risiko kegiatan usaha atau aspek lingkungan. “Sehingga diperlukan pendalaman dan kejelasan lebih lanjut, sebagaimana halnya yang terjadi di lapangan. Misalnya banyak proyek strategis nasional yang berada di lokasi rawan bencana,” ujar Zaki.
Keempat, pengawasan terhadap setiap kegiatan usaha dilakukan dengan intensitas pelaksanaan. Berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha perlu lebih diperjelas. Agar tidak menimbulkan banyaknya pelanggaran, seperti halnya kebijakan investasi langsung kontruksi. Sebab, terdapat sejumlah kasus adanya bangunan yang sudah dibangun, namun tak memenuhi syarat.
“Masih belum jelas sanksi dan pembongkarannya. Termasuk, siapa pihak yang berwenang untuk melakukan kedua hal tersebut,” ujar Ahmed yang juga Bupati Tangerang itu.
Terakhir, penyederhanaan regulasi lewat RUU Cipta Kerja bertujuan untuk memudahkan masuknya investasi. Namun, ia meminta adanya sistem pengawasan yang baik terkait hal tersebut.
“Sebaiknya harus mempertimbangkan aspek controlling atau pengawasan di daerah, terkait dampak sosial terhadap masyarakat,” tambahnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) Azwar Anas, mengatakan RUU Cipta Kerja relevan untuk menjadi momentum membangkitkan kondisi perekonomian pascapandemi Covid-19.
“Tentu pasca-Covid ini, di tengah produktivitas yang selama ini tumbuh kemudian landai bahkan turun kembali, Omnibus Law Cipta Kerja ini menjadi relevan buat APKASI,” ujar Anas.
Menurut Anas, Indonesia perlu memiliki terobosan-terobosan baru dan langkah-langkah baru di dalam menumbuhkan investasi kembali pasca-pandemi Covid-19, sehingga lapangan pekerjaan baru dapat tercipta.
Ia menilai selama ini sektor perizinan adalah faktor yang menjadi hambatan dalam investasi baru di Indonesia.
Jika dibandingkan kondisi yang ada di Vietnam, menurut Anas, pengusaha Indonesia memerlukan waktu pengurusan lahan proyek baru yang sama lamanya dengan membuat pabrik baru di Vietnam.
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kembali menjadwalkan pembahasan RUU Cipta Kerja usai pembukaan masa sidang IV tahun 2019-2020.
DPR merencanakan sepuluh kali rapat terkait RUU Ciptaker dalam kurun waktu 15 Juni-17 Juli 2020.