Apa yang Bisa Jokowi Pelajari dari Sosok SBY?
Berita Baru, Saya tidak pernah terfikirkan sebelumnya bahwa saya akan mengatakan hal ini, tetapi saya benar-benar merindukan sosok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika masih duduk dikursi jabatannya. Meskipun saya tahu, ini bukanlah opini yang populer mengingat masa kepresidenannya yang susah di kenang. Bagi kebanyakan orang pemerintahannya tampak biasa-biasa saja, penuh dengan kepuasan diri dan banyaknya peluang yang hilang.
Tetapi terlepas dari apa yang banyak orang pikirkan tentang sang ‘Jendral’, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa belajar satu atau dua hal dari pendahulunya itu.
Presiden Jokowi yang saat ini sedang menghadapi banyak ketegangan nasional mulai dari terjadinya kebakaran lahan dan hutan yang mengamuk di belantara Kalimantan dan Sumatra hingga protes mahasiswa yang berkecamuk di jalan-jalan Jakarta seharusnya dapat belajar dari SBY. Belajar tentang bagaimana mendengarkan semua orang yang bukan hanya pembantu dan pendukungnya.
Mari jujur di sini. Yang paling saya rindukan dari SBY adalah bahwa ia tidak memiliki “fanboys” atau pendukung fanatik. Jika Anda mengkritiknya, tidak akan ada yang membalas Anda dengan menyebut Anda sebagai ‘pembenci’ atau ‘Prabower’ atau ‘kampret’ atau bahkan ‘simpatisan Taliban’. SBY tidak dilindungi oleh gelembung kekuatan imajiner yang diciptakan oleh sekelompok sukarelawan digital yang tidak melakukan apa pun selain memuji dan membenarkan tindakannya. Dan lebih buruk lagi, membingkai kritik yang sah sebagai serangan pribadi atau bahkan rencana untuk menggesernya.
SBY, yang naik ke tampuk kekuasaan sebelum populernya Twitter dan Instagram atau yang disebut ‘revolusi media sosial’ tidak memiliki kemewahan itu dan membantunya menjadi pendengar yang baik. Demikianlan yang memungkinkan dia untuk mendengarkan aspirasi orang-orang tanpa suara “buzzers” -nya sendiri.
Sangat penting bahwa Jokowi harus mendengarkan pengkritiknya lebih dari loyalisnya. Selain itu, penting bahwa ia harus mendengarkan aspirasi dan teriakan rakyat, terlepas dari pilihan politik mereka dalam agenda pemilu terakhir. Karena itulah demokrasi, sebuah proses pemeriksaan dan keseimbangan tanpa akhir yang lebih bernilai ketimbang sekedar kompetisi untuk mendapatkan suara terbanyak setiap lima tahun sekali.
Tidak seperti SBY, Jokowi terlalu percaya diri tentang popularitasnya, sebagaimana tercermin dari cara dia menangani kontroversi seputar proses pemilihan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru dan revisi UU KPK tahun 2002.
Dia memilih untuk mengabaikan seruan peninjauan ulang proses seleksi untuk komisioner KPK yang baru, lalu membuka jalan bagi pemilihan sebagai ketua umum pengawas KPK yang telah sejak awal bermasalah. Seruan bagi Presiden untuk menolak inisiatif legislatif untuk merevisi UU KPK 2002 yang akan melemahkan komisi juga jatuh seperti obrolan pada seorang yang tuli, sehingga memungkinkan partai politik meloloskan RUU revisi dalam waktu seminggu setelah Presiden mengirim surat menyetujui dimulainya pertimbangan.
Kemudian para loyalisnya – online dan offline – dengan cepat membelanya, mengatakan bahwa KPK telah disusupi oleh ‘radikal’ dan ‘aktor politik’ dan karenanya harus direformasi. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko bahkan mengutip survei harian Kompas yang mengatakan bahwa lebih banyak orang mendukung revisi undang-undang KPK.
Jokowi baru saja membuat kesalahan terbesarnya. Ribuan mahasiswa di seluruh negeri turun ke jalan untuk membuktikan bahwa Moeldoko salah. Para pelajar yang dilihat oleh banyak orang sebagai kekuatan politik yang sah yang berada di atas politik partisan, dengan suara bulat menentang revisi UU KPK dan meminta Presiden untuk mencabutnya.
Saya tidak mengatakan bahwa pendapat umum selalu benar atau bahwa keputusan yang tidak populer secara inheren salah. KPK tidak sempurna dan Presiden Jokowi mungkin memiliki alasan sendiri mengapa KPK perlu direformasi, tetapi dengan sengaja mengabaikan aspirasi publik mengenai revisi undang-undang yang sangat kontroversial dan berharap bahwa loyalisnya akan dapat mengubah opini publik yang tengah meluap.
Tidak ada jaminan bahwa aksi protes akan berhenti dalam waktu dekat. Para mahasiswa jelas menuntut Presiden mengeluarkan peraturan presiden sebagai pengganti hukum (Perppu) untuk mencabut revisi UU KPK. Pertanyaannya adalah bisakah Jokowi memenuhi permintaan tersebut?
Pada tahun 2014, presiden SBY mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU Pemilu Daerah yang baru disahkan, yakni tentang mengembalikan kewenangan dewan daerah untuk memilih gubernur, bupati dan walikota. Presiden membuat keputusan setelah gelombang protes mahasiswa terhadap hukum, yang mereka anggap sebagai sebuah kemunduran dalam demokratis. SBY mendengarkan dan melakukan apa yang menurutnya harus dia lakukan yaitu : Menyelamatkan demokrasi Indonesia.
Presiden Jokowi dapat melakukan hal serupa. Dia bisa mengeluarkan Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK. Namun, sebelum dia melakukannya, dia perlu mendengarkan aspirasi rakyat. Dengan memberikan suara kepada publik dalam pertimbangannya, Jokowi dan DPR dapat menghasilkan undang-undang KPK baru yang dapat diterima oleh publik. Dan yang lebih penting ia tidak akan dianggap sebagai produk legislatif yang mengkhianati semangat reformasi politik.
Saya masih percaya bahwa Presiden Jokowi akan dikenang karena banyak hal. Dia akan meninggalkan lebih banyak warisan dan dikenang daripada Presiden SBY. Tetapi jika dia gagal untuk memperbaiki kesalahannya mengenai UU KPK yang secara praktis mengubah komisi menjadi badan pemerintah yang ompong, dia akan selalu dan hanya diingat sebagai Presiden yang mengkhianati reformasi politik dengan menghancurkan institusi terkemuka pemerang korupsi.
Belum terlambat, Pak Jokowi. Anda selalu dapat melihat ke Pak SBY.
Oleh, Ari Hermawan
Artikel dikutip dan diterjemahkan dari The Jakarta Post