Antara Ketegangan dan Kebetulan: Lekuk Hidup Jadul Maula
Berita Baru, Sosok – Hidup, setidaknya menurut Ronggowarsito, adalah keterlemparan. Bagaimana kita saat ini merupakan bukti keterlemparan kita di dunia. “Hidup itu kasunyatan,” begitu tegasnya puluhan tahun silam, “kita tidak akan pernah tahu kejutan apalagi yang akan membahagiakan kita.”
Apa yang menjadi jawaban Jadul Maula, ketika ditanya oleh Sarah Monika tentang pilihan hidupnya dalam #Bercerita ke-36, tidak berbeda jauh dengan pernyataan sang pujangga tersebut. Dengan tegas, Jadul mengakui, ia tidak mengerti mengapa ia sampai pada titik hidupnya saat ini, Kiai di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Yogyakarta. Yang diketahuinya secara jelas hanya satu: ia sebatas menjalani kebetulan-kebetulan yang datang padanya.
“Kebetulan yang kebetulan juga sesuai dengan apa yang saya senangi atau passion,” ujarnya melalui fitur live Instagram pada Selasa (23/2).
Kebetulan yang dialami Jadul sebagai manusia terbilang berliku. Nama Jadul Maula kali pertama naik ketika ia aktif di Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) pada akhir abad ke-20, khususnya saat dipercaya untuk menerjemahkan buku kritik Kazuo Shimogaki terhadap pemikiran keislaman Hassan Hanafi bersama Imam Aziz dengan judul Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi.
Di waktu bersamaan, ia juga aktif memberikan advokasi di bidang sosial-humaniora dan beberapa tahun kemudian, karena di Yogyakarta baru didirikan Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), ia bergeser dan menjadi pegiat di Lesbumi baik Jogja maupun pusat.
Dengan hadirnya Jadul, perkembangan Lesbumi Jogja cukup baik dan ibarat alam dengan manusia yang berhubungan secara timbal balik, Jadul pun menerima feedback yang signifikan, hingga akhirnya situasi membimbing Jadul untuk mendirikan pondok pesantren sendiri dengan budaya dan diskusi sebagai orientasinya. Walhasil, sampailah Jadul Maula di titik ia menjadi Kiai di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak.
Tentang lokasi pondoknya pun yang berada di tepi Kali Opak di wilayah Piyungan, Bantul, sebagaimana diakuinya sendiri, Jadul tidak sengaja. Sama sekali tidak ada pertimbangan logis, apalagi magis, mengapa ia memilih daerah tersebut. Yang Jadul ingat sekadar wilayah itulah yang sesuai dengan uang yang ia pegang.
Jadul tahu lokasi tersebut merupakan bekas wilayah dakwah Sunan Kalijaga ratusan tahun yang lalu, baru saat pondok sudah berdiri dan aktivitas berjalan. Untuk menyebut fenomena ini, lanjut Jadul, tidak ada kata lain kecuali kebetulan.
“Ya itulah, makanya, semua yang saya alami itu serba kebetulan. Jadi, saya ya mengalir saja. Saya juga tidak tahu sebelumnya jika di sebelah Timur pondok ada makam Sunan Geseng, di bukit Jolosutro, dan di dekat pondok ada juga makam Ki Jogo Tamu yang konon keduanya adalah santri Sunan Kalijaga,” jelasnya.
Meski jalan hidupnya mengalir, tentu ini tidak berarti, Jadul hanya ikut begitu saja. Bagi jadul, justru dengan mengalir atau menerima kebetulan-kebetulan secara legawa, siapa pun akan dibimbing untuk melakukan perenungan-perenungan. Sebab arti sesungguhnya dari “mengalir” atau mili dalam konteks kehidupanadalah perenungan itu sendiri. Minimal, perenungan atas apakah manusia pada dasarnya mempunyai kebebasan untuk memilih atau tidak.
Islam Berkebudayaan: dari perenungan hingga pandangan hidup
Tentang kebetulan dan perenungan, barangkali buku karangan Jadul Maula, Islam Berkebudayaan, yang terbit di penghujung 2019 merupakan representasi dari segenap permenungan sekaligus potret hidupnya sebagai seorang Jawa dan Muslim.
Salah satu ide menarik yang diulas Jadul di dalamnya adalah bagaimana kita, Muslim di Indonesia, sesungguhnya sudah memiliki apa pun yang dibutuhkan, sehingga tidak perlu lagi melakukan importasi ide baik dari Barat ataupun Timur Tengah. Jika dipaksa, yang akan terjadi malah keberislaman yang anakronistis, keluar dari konteks ke-diri-an kita.
Untuk kasus Aceh misalnya yang kerap diisukan dengan formalisasi hukum Islam yang kaku, menurut Jadul sebenarnya kita tidak bisa buru-buru mengklaimnya sebagai yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Aceh memiliki sejarah keislaman yang panjang. Irisannya dengan tradisi Islam melampui daerah mana pun di Indonesia, sehingga siapa saja penting untuk berhati-hati, apalagi—ini bagian yang tidak kalah penting—jika kacamata yang dipakai adalah model HAM ala Barat, meski sayangnya, nyaris semua peneliti menggunakan perspektif ini dalam menilai Aceh.
Ketika Jadul melakukan penelitian atas naskah-naskah Aceh—yang tulisannya dimuat dalam Islam Berkebudayaan—ia mengakui bahwa pendekatan yang dipakainya pun adalah HAM versi Barat. “Iya, saya juga memakai pendekatan ini dan rasanya asing. Suwung. Ya bagaimana tidak asing, itu kan dari luar diri kita, dari Barat,” tutur Jadul Maula sembari menikmati setiap hisapan rokoknya.
Lebih jauh soal keterasingan dan Barat, dengan mengutip Denys Lombard, Jadul menyebut bahwa Barat datang ke Nusantara sama sekali tidak membawa peradaban. Mereka mendatangi kita murni untuk dagang semi merampok. Nusantaralah yang justru sudah memiliki peradaban, mengenal modernitas.
Secuil bukti adanya peradaban di Nusantara ditemukan Jadul dalam puisi-puisi Hamzah Fansuri. Pada abad ke-16, Hamzah menggubah puisi seputar individu seperti, wahai muda … kenali dirimu, yang ide individu ini tidak lain merupakan fondasi dari modernitas.
Sederhananya, jika seorang Hamzah Fansuri di masa hidupnya, abad ke-16, sudah mewacanakan gagasan individu, apakah tidak lebih masuk akal jika kita bilang bahwa modernitas sudah ada di Nusantara sebelum Barat datang dan merampok?
Terlepas darinya, yang ingin disampaikan Jadul sebenarnya berpulang pada gagasan bahwa Islam Nusantara atau sebut saja Islam Berkebudayaan merupakan titik tengah antara isu kemanusiaan Barat dan formalisasi hukum Islam Timur Tengah. Pasalnya, ia sudah mencakup keduanya. Kita sudah memiliki gaya kemanusiaan kita sendiri, begitu pun dengan model hukum Islam khas Nusantara, yang tentu lebih kontekstual untuk dipraktikkan, termasuk dijadikan pandangan hidup.