FWI Sebut Hutan Indonesia Hilang Setara 75 Kali Yogyakarta
Berita Baru, Jakarta – Selama 75 Tahun Merdeka, Indonesia telah tujuh kali berganti rezim pemerintahan dan telah kehilangan hutan alam lebih dari 23 juta hektare atau setara dengan 75 kali luas Provinsi Yogyakarta.
Setidaknya kehilangan hutan seluas itu adalah angka yang tercatat di FWI sejak tahun 2000-2017. Sejak saat itu, kita belum juga mampu menghadirkan tata kelola hutan yang baik. Kondisi hutan alam yang terus berkurang dan terdegradasi merupakan akumulasi dari lemahnya tata kelola hutan yang terjadi dari tahun ke tahun.
Pada rentang tahun 2000-2009, Indonesia kehilangan hutan alam seluas 1,4 juta ha/tahun. Pada periode selanjutnya (2009-2013) luasan hutan alam yang hilang berkurang menjadi 1,1 juta ha/tahun dan kembali naik pada periode 2013-2017 menjadi 1,4 juta ha/tahun.
Temuan ini tentu menjadi alarm bagi pemerintah khususnya KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) untuk lebih serius dalam mencegah kerusakan hutan alam di Indonesia demi menjaga keberlangsungan hajat hidup rakyat Indonesia.
Berdasarkan hasil kajian FWI, pada periode 2013-2017 angka deforestasi hutan alam di indonesia sebesar 5,7 juta hektare dengan 2,8 juta hektare berada dalam konsesi dan 2,9 juta hektare lainnya berada di luar konsesi.
Angka deforestasi tersebut seharusnya menjadi trigger untuk mendalami lebih lanjut apa penyebab deforestasi yang terjadi di Indonesia. Apakah akibat aktivitas illegal logging, kinerja konsesi yang belum sejalan dengan upaya pencegahan deforestasi atau memang justru bagian dari deforestasi yang direncanakan.
Angka yang berbeda justru dikeluarkan oleh pemerintah, KLHK menyatakan bahwa deforestasi di Indonesia terus berkurang dari tahun ketahun.
Melihat data resmi pemerintah, pada periode tahun yang sama (2013-2017) hutan yang terdeforestasi di Indonesia seluas 2,7 juta hektare.
Perbedaan mengenai makna deforestasi disinyalir menjadi salah satu landasan munculnya perbedaan angka yang cukup timpang.
“Pendefinisian deforestasi saat ini dapat mengaburkan realitas atas kehilangan hutan alam yang sebenarnya, sehingga perlu dikembalikan motivasinya dalam kerangka penyelamatan hutan alam Indonesia” terang Mufti Barri, Manajer Kampanye FWI.
Beberapa instrumen dalam upaya penurunan laju deforestasi seperti sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan verifikasi legalitas kayu (VLK) juga belum mampu menjawab permasalahan deforestasi di Indonesia.
Meski sebagian besar izin konsesi pemanfaatan kayu sudah bersertifikat, tetapi masih menunjukkan adanya deforestasi yang terjadi. Deforestasi terjadi di konsesi IUPHHK-HA (HPH) dan IUPHHK-HT (HTI) yang sudah tersertifikasi sekitar 356 ribu hektare.
Dalam IUP perkebunan kelapa sawit, dengan skema ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) pun ternyata belum terbebas dari deforestasi. Analisa FWI menunjukan dari 2,3 juta hektare yang sudah bersertifikat ISPO masih terdapat deforestasi sekitar 52 ribu hektare.
Deforestasi di konsesi tambang sekitar 700 ribu hektare dan deforestasi di wilayah yang tumpang tindih antara HPH, HTI, kebun dan tambang sekitar 786 ribu hektare. Begitu juga untuk deforestasi di luar konsesi sekitar 2,9 juta hektare, yang bahkan menjadi samar apa penyebabnya.
Sehingga solusi tawaran perlindungan hutan alam oleh pemerintah melalui moratorium hutan dan sawit, penurunan emisi atau perlindungan untuk areal dengan nilai keanekaragaman hayati tinggi, ataupun sistem sertifikasi yang berkelanjutan belum secara optimal menjawab persoalan deforestasi di Indonesia.
Terlepas dari efektif atau tidaknya semua kebijakan-kebijakan tersebut. Atau bisa jadi memang solusi tersebut belum bisa menjangkau seluruh penyebab deforestasi.
“Pemerintah perlu untuk mendalami apa saja yang menjadi penyebab langsung atau tidak langsung berikut dengan motif dari pelaku kerusakan, agar bisa dipahami persoalannya dengan benar dan solusi tawarannya menjadi lebih tepat.
Identifikasi dan upaya pencegahan deforestasi juga harus didorong hingga level tapak, karena disetiap tapak kompleksitas permasalahannya sangat mungkin berbeda satu sama lainnya dan solusinya pun bisa sangat berbeda.” tutup Mufti F. Barri.