MK Tegaskan Status Pelaut Migran sebagai Pekerja Migran Indonesia
Berita Baru, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Putusan ini menguatkan bahwa pelaut migran, baik awak kapal niaga maupun perikanan, adalah bagian dari pekerja migran Indonesia yang dilindungi oleh UU tersebut.
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Hakim Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2024).
Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI), yang terdiri dari enam serikat pekerja dan tiga kelompok masyarakat sipil, menyambut baik putusan ini. “Kami mengapresiasi Mahkamah Konstitusi yang telah mempertimbangkan secara menyeluruh dan menunjukkan keberpihakan terhadap pelindungan hak asasi pelaut migran,” kata Harimuddin, kuasa hukum TAPMI.
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Juwarih, menyebut putusan ini sebagai akhir dari dualisme kebijakan antara kementerian yang selama dua dekade terakhir membiarkan pelaut migran tanpa pelindungan yang memadai.
“Putusan MK ini memperjelas bahwa pelaut migran adalah pekerja migran Indonesia yang diatur oleh rezim UU PPMI. Ini juga memberi kepastian dalam pelindungan internasional, seperti yang diatur oleh Konvensi PBB tentang Buruh Migran dan Keluarganya,” ujar Juwarih.
Putusan ini juga dipandang sejalan dengan standar hukum internasional, seperti International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (ICRMW), Work in Fishing Convention (C-188), dan Maritime Labour Convention (MLC) 2006.
Sekretaris Jenderal Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI), Syofyan, menyatakan bahwa putusan ini harus diterjemahkan dalam kebijakan yang konkret. “Kepastian atas status hukum pelaut migran perlu diwujudkan dalam regulasi yang melindungi mereka di setiap tahapan migrasi,” ujarnya.
Ketua Serikat Pelaut Sulawesi Utara (SPSU), Anwar Abdul Dalewa, berharap pemerintah segera menindaklanjuti putusan ini dengan mengawasi manning agency yang belum mematuhi aturan baru. “Aparat perlu melakukan inspeksi terhadap perusahaan perekrutan awak kapal yang belum memiliki Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI),” katanya.
Ketua Umum Serikat Pekerja Pelaut Borneo Bersatu, Muhammad Adnan Tianotak, menegaskan pentingnya mengawal hasil putusan MK. “Putusan ini memperkuat pelindungan negara bagi pelaut migran agar mereka terhindar dari eksploitasi, job fiktif, dan manning agency nakal,” ungkapnya.
Leonard Simanjuntak, Country Director Greenpeace Indonesia, juga menyatakan dukungannya atas putusan ini. “Putusan ini menegaskan kehadiran negara dalam melindungi pelaut migran sebagai pekerja migran Indonesia,” katanya.
Abdi Suhufan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, meminta pemerintah segera menyusun regulasi dan program pelindungan holistik bagi pelaut migran. “Langkah konkret diperlukan untuk melindungi pekerja perikanan migran dari eksploitasi dan pelanggaran HAM,” ujar Abdi.
Putusan ini menjadi landasan penting untuk mendorong pemerintah melanjutkan harmonisasi kebijakan nasional dan internasional yang berpihak pada pekerja migran, memastikan pelaut migran bekerja dengan aman dan bermartabat.