Setara: Pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan 2022 Meningkat
Berita Baru, Jakarta – Setara Institute melaporkan bahwa kondisi pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan (KBB) di Indonesia pada 2022 meningkat dibanding tahun 2021.
Dalam rilisnya, Setara mencatat terdapat 175 peristiwa pelanggaran KBB dengan 333 tindakan di Tanah Air. Angka ini mengalami sedikit peningkatan dibandingkan temuan tahun lalu, yakni 171 peristiwa dengan 318 tindakan.
Peneliti Kebebasan Beragama Berkeyakinan Setara Institute, Syera Anggreini Buntara, mengatakan sebanyak 168 tindakan dilakukan oleh aktor negara, sedangkan 165 tindakan dilakukan oleh aktor non-negara.
“Di tahun 2022 mereka (aktor negara dan non-negara) sama-sama seimbang kekuatannya cukup sama, angkanya cukup mirip. Aktor negara 168 tindakan dan aktor non-negara 168 tindakan,” kata Syera dalam paparannya, di Hotel Ashley, Jakarta Pusat, Selasa (31/1).
Syera menjelaskan tindakan pelanggaran KBB oleh aktor negara paling banyak dilakukan oleh pemerintah daerah sebanyak 47 tindakan, kepolisian sebanyak 23 tindakan, Satpol PP 17 tindakan, institusi pendidikan negeri 14 tindakan, dan forkopimda dengan 7 tindakan.
“Hal ini sama dengan sejak 2017 pemerintah daerah menempati posisi pertama sebagai aktor negara yang paling banyak melakukan pelanggaran KBB,” ungkap Syera.
Syera mengatakan temuan pelanggaran KBB ini menunjukkan angka peristiwa yang relatif konstan menurun jika dibandingkan saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) memulai kepemimpinannya pada 2019.
“Temuan jumlah peristiwa dan tindakan pada tahun ini menunjukkan angka yang relatif konstan dan menuju penurunan angka peristiwa dibanding pada 2019, saat Jokowi memulai kepemimpinan periode II, yang membukukan angka 200 peristiwa dengan 327 tindakan pelanggaran KBB,” jelas Syera.
Setara Institute memaparkan tiga tren pelanggaran KBB pada 2022, yakni gangguan tempat ibadah, penggunaan delik penodaan agama, dan penolakan ceramah.
Syera menyebut kasus gangguan tempat ibadah terus mengalami kenaikan yang signifikan dalam 6 tahun terakhir.
“Sepanjang tahun 2022, terdapat 50 tempat ibadah yang mengalami gangguan. Temuan ini adalah angka yang cukup besar bila dibandingkan dengan 5 tahun terakhir,” ungkapnya.
Syera mengatakan kasus penolakan pendirian tempat ibadah menunjukkan kenaikan signifikan dibandingkan data 3 tahun terakhir.
Hal ini, lanjut Syera, dinilai terjadi karena terpenuhinya atau deviasi pemaknaan syarat pendirian tempat ibadah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang mensyaratkan 90 pengguna tempat ibadah dan 60 dukungan dari warga setempat.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan merekomendasikan pemerintah untuk segera meninjau ulang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.
Halili menilai PBM ini memicu banyaknya larangan penolakan pendirian rumah ibadah karena alasan administratif.
“Satu poin yang kami ingin highlight adalah dukungan 60 orang non-pengikut dari agama yang mengajukan pendirian rumah ibadah. Ini tentu memberikan ruang intervensi kepada pihak luar atau lain terhadap kelompok agama yang ingin mengajukan rumah ibadah,” kata Halili.
“Ini problematik karena konstitusi pada dasarnya memberikan jaminan itu kepada kita semua,” imbuhnya.