Adnan Topan, Kemunduran KPK, dan dilema IPK Indonesia
Berita Baru, Tokoh – Sejak Undang-Undang (UU) Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi direvisi oleh UU Nomor 19 tahun 2019, banyak pihak terlibat polemik.
Sebagian mengatakan, revisi ini berdampak signifikan pada kemunduran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian yang lain menegaskan sebaliknya.
Menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo dalam gelar wicara Bercerita ke-81 Beritabaru.co pada Selasa (25/1), beberapa kajian menunjukkan bahwa pendapat yang pertama lebih masuk akal untuk diterima.
Adnan memberi contoh soal kasus korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) COVID-19. Penanganan kasus ini banyak diisukan sebagai bukti bahwa KPK baik-baik saja pascarevisi.
Namun, satu hal yang perlu diperhatikan, tegasnya, bahwa para penyidik yang menangani kasus tersebut adalah mereka yang dijerat dengan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
“Artinya, jika kita menyebut bahwa KPK baik-baik saja karena kasus Bansos, maka itu tidak berdasar. Penyidik-penyidiknya saja didepak dari KPK kok,” jelasnya.
Berdasarkan penelitiannya bersama tim ICW, Adnan menyampaikan bahwa kemunduran KPK bisa dicermati setidaknya dari dua (2) sudut pandang.
Pertama, revisi UU menjadikan KPK kehilangan kemandirian secara kelembagaan. Ketika ini hilang, maka sebetulnya KPK sudah kehilangan semua yang ia miliki.
Sebab kemandirian merupakan roh dari segala pergerakan KPK untuk melakukan percepatan terhadap pemberantasan korupsi.
“Dampak seriusnya, yakni secara kelembagaan kemandirian KPK hilang, padahal ini modal dasar. Ini membuat KPK kehilangan keleluasaan untuk bergerak,” ungkap Adnan.
Kedua lebih pada konsekuensi dari potret yang pertama, yakni Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang semakin jarang dilakukan, terutama untuk kasus-kasus besar.
Ini bisa dibuktikan, Adnan melanjutkan, melalui tidak adanya penanganan terhadap kasus tes Polymerase Chain Reaction (PCR) dan tidak dilanjutkannya penyidikan pada kasus dana Bansos COVID-19.
KPK bersikap demikian karena alasan yang sederhana: dua kasus tersebut melibatkan pejabat publik yang levelnya di atas KPK.
“Ya pada akhirnya akan begini ya, dalam arti bahwa pergerakan KPK terkungkung oleh tingkat jabatan. Jika yang terindikasi sebagai pelaku adalah dari kalangan di atasnya, maka lebih baik tidak bersikap,” kata Adnan.
Adnan menjelaskan, fenomena ini berhubungan dengan masih dipakainya konsep trias politika kuno yang tidak menerima lembaga kuasi negara dalam bentuk apa pun.
Akibatnya, pemerintah tidak bisa tidak memasukkan KPK sebagai lembaga kuasi negara ke dalam salah satu kekuasaan yang ada di Indonesia, baik legislatif, eksekutif atau pun yudikatif.
“Jadi, isu besarnya itu ini ya. Pemerintah masih menggunakan trias politika kuno, sehingga KPK tidak boleh menjadi lembaga mandiri,” ungkap Adnan.
Di balik revisi UU KPK
Dalam diskusi yang ditemani oleh Al Muiz Liddinillah host kenamaan Beritabaru.co ini, Adnan juga menyinggung soal alasan di balik adanya revisi.
Adnan menyebut, ada dua (2) hal yang melatarbelakangi terjadinya revisi UU KPK.
Pertama, aspek pencegahan yang ada dalam tubuh KPK dianggap tidak efektif. Kedua, aspek penindakan KPK dituding membuat gaduh situasi politik nasional, sehingga berdampak pada lesunya investasi.
“Ini alasan yang di panggung depan ya, yang menjadi alasan dari pihak pemerintah,” kata Adnan.
Meski demikian, ia menilai bahwa bukan itu yang menjadi alasan mengapa revisi UU KPK terjadi. Namun, lebih pada KPK sebagai ancaman bagi para pelaku bisnis sekaligus pejabat publik yang terlibat dalam praktik korupsi.
“Soal ini, ada panggung belakang dan panggung depan. Di panggung belakangnya, revisi UU KPK disebabkan oleh kerja tanpa pandang bulu KPK untuk menindak kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik sekaligus pengusaha dari tingkat Daerah hingga Pusat,” paparnya.
“Untuk menjelaskan fenomena ini, para peneliti mengibaratkannya sebagai menggaruk tempat yang tidak gatal,” imbuhnya.
Mencermati IPK Indonesia
Lebih jauh, Adnan juga mendiskusikan isu Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Pada tahun 2021, skor IPK Indonesia memang naik satu poin: dari 37 ke 38.
Kendati begitu, Adnan menghimbau kepada siapa pun untuk tidak berhenti di situ, di naiknya skor, tetapi langsung masuk pada aspek mana yang mengalami kenaikan.
Adnan mengungkap, naiknya skor IPK Indonesia pada dasarnya tidak berhubungan sama sekali dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Iya, naiknya skor IPK kita ini tidak berhubungan sama sekali upaya penegakan hukum yang dilakukan KPK,” tegasnya.
Pasalnya, aspek yang memberi kontribusi atas naiknya skor tersebut hanyalah aspek deregulasi sektor ekonomi.
Aspek ini mengalami kenaikan sebab selama Pemerintahan Presiden Joko Widodo ada sekitar delapan belas (18) deregulasi ekonomi yang tujuannya adalah untuk mencari perhatian dari World Economic Forum.
Adapun dua (2) aspek lain yang berhubungan langsung dengan kerja penegakan hukum—seperti aspek Varieties of Democracy Project dan World Justice Project – Rule of Law Index—justru turun jika tidak stagnan.
“Artinya, sebenarnya naiknya skor IPK kita tidak ada kaitannya sama sekali dengan kerja penegakan hukum KPK,” pungkas Adnan.