Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

7 Situasi Penentu Masa Depan Senjata Nuklir
(Foto: Official US Navy Page/Flickr)

7 Situasi Penentu Masa Depan Senjata Nuklir



Berita Baru, Internasional – Sejak tahun 1970, Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons) telah berlaku. Perjanjian itu merupakan perjanjian yang membatasi kepemilikan senjata nuklir. Dan pada tahun 1995, 170 negara bersepakat untuk memperpanjang perjanjian tanpa batas waktu dan syarat.

Sampai kini, komunitas internasional bisa dikatakan ‘relatif berhasil’ dalam mencegah penyebaran senjata nuklir baik dengan menggunakan perjanjian antinuklir lain seperti kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 maupun New Start, maupun dengan jalan diplomatis lain.

Akan tetapi, perjanjian-perjanjian itu hampir berakhir. Kesepakatan Nuklir Iran atau JCPOA berakhir pada Oktober bulan depan, sementara New Start akan berakhir Februari 2021.

Jika perjanjian-perjanjian itu tidak diperpanjang, maka wajar saja komunitas internasional merasa khawatir dan rekam jejak keberhasilan komunitas internasional mencegah penyebaran senjata nuklir.

Amerika Serika (AS) memegang peranan penting di sini. AS selama bertahun-tahun telah menjadi negara adikuasa dan adidaya. AS memegang kunci dari perjanjian-perjanjian internasional yang menetapkan batasan hukum, politik, dan normatif terhadap senjata nuklir. AS juga melakukan pemberian sanksi-sanksi ‘sepihak’ untuk mencegah negara-negara memproduksi senjata nuklir massal.

Memproduksi senjata nuklir bukan perkara yang gampang, mengingat adanya perjanjian nonproliferasi. Apalagi berusaha untuk memasuki level sebagai komunitas produksi nuklir tingkat tinggi. Negara-negara yang menginginkan senjata pamungkas nuklir harus bersedia menerima risiko yang signifikan.

Selain karena AS akan langsung memberikan sanksi, dunia internasional pun akan ikut ‘melucuti’nya.

Karena itu, meskipun banyak negara telah mencoba mengejar senjata nuklir, tercatat hanya sembilan negara yang memilikinya saat ini.

Namun, situasi internasional akhir-akhir ini mengkikis fondasi di mana sekumpulan perjanjian yang membuat negara-negara ‘takut’ memproduksi senjata nuklir.

Terkait hal ini, Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan bahwa situasi seperti itu berakar pada, dan dibentuk oleh, perubahan pada sifat dan struktur sistem internasional.

Perubahan itu adalah penurunan pengaruh AS dan penarikan bertahap dari tatanan internasional yang telah ia bantu ciptakan dan ia pimpin selama lebih dari 70 tahun, dan munculnya lingkungan keamanan yang lebih kompetitif secara bersamaan, terutama di antara kekuatan-kekuatan besar.

Lebih lanjut, CSIS menyebutkan 7 situasi yang akan membentuk masa depan proliferasi di komunitas internasional dan AS. 7 situasi tersebut adalah:

1. Ancaman nuklir dan lingkungan keamanan regional meningkat

Negara-negara ‘besar’ di dunia, seperti Amerika Serikat, Rusia, Cina, dan Korea Utara sedang memodernisasi dan memperluas persenjataan nuklir mereka dan berperilaku lebih agresif.

Meskipun Iran kini ‘masih’ terikat dengan perjanjian nuklir 2015, tetap saja Iran masih bisa dengan mudah memproduksi senjata nuklir penghancur dan karenanya membutuhkan perhatian internasional.

Begitu juga dengan Korea Utara yang merupakan negara tertutup dan tidak banyak informasi tentang nuklir, hingga membuat dunia internasional menduga-duga Korea Utara sedang mengembangkan senjata nuklir.

Perkembangan ini mengancam keamanan internasional secara langsung dan memberikan tekanan tambahan pada sistem internasional. Meskipun tidak menentukan proliferasi, memburuknya lingkungan keamanan dan ancaman nuklir dapat menjadi landasan bagi negara-negara untuk menilai kembali kebutuhan nuklir mereka sendiri.

7 Situasi Penentu Masa Depan Senjata Nuklir
Lebih dari 30 negara setidaknya telah mengeksplorasi pengembangan senjata nuklir, dengan 10 di antaranya berhasil melewati garis finis. Jumlah ini termasuk Afrika Selatan, yang memproduksi senjata nuklir tetapi kemudian dibongkar. Foto: CSIS.

2. Tidak lagi percaya AS

Banyak sekutu dan mitra AS kehilangan keyakinan dan kepercayaan pada AS.Situasi seperti itu meningkatkan risiko bahwa sekutu-sekutu AS akan mencari senjata nuklir atau kemampuan yang terkait dengan senjata, untuk kepentingan mereka sendiri.

AS sendiri kini terlihat sedang dalam keadaan tertekan dan kesulitan untuk meyakinkan sekutu-sekutunya secara memadai dalam rangka mengatasi ambisi proliferasi apa pun yang muncul.

Hal itu terbukti dari pengambilan suara di Dewan Keamanan PBB beberapa waktu lalu terkait perpanjangan kesepakatan nuklir Iran, di mana AS saat itu hanya mendapat dukungan 1 suara, dan negara-negara sekutunya seperti Inggris, Prancis, Jerman lebih memilih abstain.

Hal ini akan semakin rumit ketika AS juga tidak mempercayai sekutunya hingga AS akan mengancam dengan mengurangi ‘komitmennya’ untuk menjaga keamanan internasional.

Saling tidak percaya antara AS dan sekutunya ini dengan demikian juga menciptakan situasi yang meningkatkan risiko proliferasi, khususnya oleh sekutu dan mitra AS.

3. Munculnya pemimpin otoriter

Pemimpin otoriter meningkatkan kemungkinan proliferasi nuklir karena mereka menghadapi lebih sedikit pemeriksaan domestik terhadap ambisi senjata nuklir dan mungkin lebih bersedia untuk mencoba mengatasi tekanan internasional. Contoh untuk kasus ini mungkin adalah Korea Utara, di mana publik internasional hanya memiliki sedikit informasi tentang senjata nuklir.

4. Prospek buruk pengendalian senjata nuklir

Yang paling mencolok dalam hal ini adalah perpanjangan New Start antara AS dan Rusia. New Start merupakan satu-satunya perjanjian yang tersisa dalam pembatasan senjata nuklir di antara dua negara ‘super power’ ini.

CSIS menyebutkan bahwa dengan adanya New Start itu, negara-negara bersenjata non-nuklir menahan diri untuk memperoleh senjata nuklir dan sebagai gantinya negara-negara bersenjata nuklir berupaya untuk ‘mengurangi’ senjata. New Start dengan demikian bisa dikatakan menjadi ‘acuan’ Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT).

Redupnya hasrat AS dan Rusia dalam memperpanjang perjanjian ini, akibatnya situasi akan menjadi lebih rumit dari sebelumnya, termasuk dalam hal diplomasi.

Ketika kerja sama antara Amerika Serikat dan Rusia dalam masalah nuklir lenyap, maka perjanjian pengendalian senjata terancam punah. Perlombaan senjata akan mempersulit AS dan Rusia untuk mempertahankan anggapan bahwa mereka memenuhi komitmen NPT mereka.

5. Kampanye dan penjualan energi nuklir sipil menurun

Selama beberapa tahun, AS menjadi satu-satunya negara yang mempunyai kemampuan untuk mengekspor reaktor nuklir, bahan bakar, dan teknologi sebagai sarana untuk mengkampanyekan kontrol nonproliferasi.

Kampanye itu dapat berupa pembatasan aktivitas pengayaan dan pemrosesan ulang oleh negara-negara penerima teknologi nuklir AS. Kampanye juga bisa dalam betuk adopsi Protokol Tambahan (AP) yang meningkatkan otoritas pengawas internasional.

Kampanye itu berguna sebagai tongkat untuk meyakinkan negara-negara untuk mengakhiri program senjata nuklir.

Namun, kini AS bukan lagi pemain utama dalam pasar energi nuklir.

Meningkatnya kemampuan China, Rusia, dan lainnya untuk memberikan bantuan nuklir dengan persyaratan tertentu, berpotensi mengikis kemampuan AS menguasai pasar energi nuklir.

Perlombaan energi nuklir antar negara pun tidak dapat dihindarkan dan mengancam hubungan bilateral serta berpotensi menciptakan blok-blok tertentu.

6. Sanksi tidak lagi efektif

Dalam kasus ini, Iran menjadi contoh yang baik. Setelah mengundurkan diri dari JCPOA tahun 2018, AS menjatuhkan sanksi keras pada Iran. Mulai dari sanksi ekonomi hingga embargo senjata.

Namun tampaknya sanksi itu tak bertaring. Bahkan dengan memberikan sanksi itu, muncul kemungkinan Iran akan membalasnya di masa depan.

Selain Iran, mungkin China juga bisa menjadi contoh. Sanksi ekonomi AS yang berlebihan memicu reaksi balik. Negara dan aktor sedang mengembangkan solusi dan mencari cara untuk melindungi diri mereka dari hukuman ekonomi yang dijatuhkan oleh AS.

7. Saling tidak percaya

Hubungan yang lebih kompetitif antara Amerika Serikat dan Rusia, serta Amerika Serikat dan China, kemungkinan besar akan menghalangi kerja sama di bidang nonproliferasi dan mempersulit penerapan kebijakan nonproliferasi AS.

Era baru persaingan, ketidakpercayaan yang mendalam, dan tujuan yang berbeda antara AS dan Rusia dan China telah menghambat kerja sama dalam pengendalian senjata. Dan perselisihan itu mulai meluas ke koordinasi nonproliferasi.

AS ingin China ikut ambil bagian dalam New Start. AS menganggap sudah saatnya China mengambil peran dalam kontrol senjata trilateral bersama Rusia. Namun China sama sekali tidak tertarik dalam kontrol senjata seperti itu.

Karenanya, AS mensyaratkan jika ingin memperpanjang New Start, Rusia harus memaksa China. Tetapi, Rusia sendiri kecewa dengan kemampuan AS dalam memenuhi perjanjian. (AM)