Walimah Tulah | Puisi-Puisi Vania Kharizma Satriawan
Walimah Tulah
di rembang petang,
kaul tinggal kerontang.
i/
Ken, telah kau wiridkan tuah
di waktu malam menjelma remah gulita
kau menanam percaya kala kelanggengan ialah niscaya bagi yakin kita, di wreda zaman yang
tak lagi sesunyi isi kepala, kau memanahku karsa :
“Takhlikkan padaku keris bermata candrasa, Mpu!”
… dan tandanglah api-api mengungguni semadiku
melautkan karsa pun kepercayaan yang kau tanamkan di lapang tanah dadaku.
ii/
Tiba pun remah pagi kau bergelanggang
matamu penuh nyala amarah, pekatnya mengumbar kesumat begitu bernyawa siaga
mengumbar lautan darah
dan pada tekunku mengayom kepercayaanmu, kepatuhan menjelma kereta bagiku mangkat
mengagih keris yang kau yakinkan padaku ‘tuk menerokanya tiada jemu
lantas dendang balada bertembang jua, rahim-rahim memperanakkan kematian
: kau menikam kredo yang kuanut menyulam yakinmu, tumbang menulahimu kenestapaan.
“Bila masanya dendamku berkereta, tujuh kulawangsamu keok oleh kerismu!”
… dan terjerahaklah ragaku bersemayam dalam serapah, bermakam pengkhianatan,kepercayaan pun berlabuh pada ingkar sebagaimana perhentian keyakinan.
iii/
Tewasnya pendar mataku tak sesekali meredup menyaksikan tulahku berwalimah
padamu Ken, detakmu ialah panah yang silih berdentang menghitung hari pemakaman
sebagaimana tiada magfirah bagimu, kepercayaan yang kau tanam kini tumbuh balada
layaknya kamboja yang bermukim di tendas nisanmu, merapalkan asmamu nan gagah
dikaram nelangsa
: Ken Arok dan khianatnya
biar wangsamu walimahkan tulah, wujudku intifadah.
Solo, 2023
Moyangku Tulen Pribumi
darahku di sini,
Jan Dapperste harus menjadi Panji Darman
mati juga aku mau demi itu, sayangnya nyawaku
tidak laku di catatan sipil. ~Panji Darman—Bumi Manusia.
1/
Berabad patuh moyangku menghias bumi
dalam himne sungkawa tembang-tembang litani
di sisi tegap nyai bertangis ria menonton balada
mengabdi pada taat, berkhidmat pada kuasa
—siapa yang berjibaku menghardiknya?
Dari rusuk bifurkasi hingga dinding marginal
mampu kau saksikan kelukur lutut begitu pukal
menyiasati tuah bendoro yang saban musim yogia
memakamkan harapnya di selingkar bola matanya
: hikayat merdeka,
di sisi nganga luka hayatnya
meninjau khianat anak-anak separuh Indonesia
yang menyampah bahasa tanah air jadi bidak
retorika warga penjajah.
Tapi, kudengar baik-baik, nyai
Tirto Adhie-mu tengah mengunyah lahad eksepsi
mengepos catatan-catatan pertaruhan nyawa
demi manunggal rahayu pertiwi,
demi keniscayaan independensi,
Sinyo-mu itu jantung kegigihan, nyai
: ialah sebuah kekekalan,
solek literaturnya mendiani peradaban
mengkritik rezim perbudakan.
2/
Lepas landas sudah bara yang semula berapi di dada kawan-kawan pribumi,
tandas berwalimah kegetiran selepas meletus bidik memanah silsilah pertaruhan rakyat yang
dibodohi koloni
mati sia-sia dicukongi tangis anaknya yang pongah wujud keadilan
di tanah yang masihlah merah, harum anyelir begitu belangah nestapa
tapi, gigih Sinyo baka jadi peninta perombakan zaman yang terluka
merumahkan surat-suratnya dalam budaya perjuangan bumiputra.
—siapa di antaramu yang cendekia
menuliskan hak-haknya di selembar doa?
Panji Darman, dua cermin nayammulah saksi
yang berdalil rasamku menunaikan bakti pertiwi
sampai terlelang ragaku ini terasing zamin-
kuamini sembahyangmu yang berdaulat
turut menuliskan kegigihanmu yang berhelat
adakan pengecualian dari penindasan korporat
demi moyang kita yang serupa: tulen pribumi!
3/
Nyai, harian-harian yang bertamu di rumahmu
sekadar bertukar kabar, bahwa gerilya di dadaku-
baka adanya memelopori noktah-noktah perjuangan
melalui suara rakyat yang direbus kata, ditanak air mata,
menyantuni gagahnya jiwa yang lantang berdikari
menyayembarakan kemerdekaan di negeri sendiri.
Sinyo-mu, nyai
paripurna timbul melepas matahari
di antara mega-mega mendung ambisi
mencipta kemarau di hati koloni
melalui budaya literasi,
sebab sungguh ujarnya di ujung hari:
“Moyangku tulen pribumi!”
Solo, 2022
Ode Nurbaya
i.
apak amaiku rahim riaku, matahari bagi pagi walimahkan taatnya kebahagiaan,
tabuh talempong lenggak-lenggok menari-nari mengawini siul serunai saban sore
memestakan tawa yang beratom dalam dadaku, ia meledak menguak jantung pandora
dan mengencani keping-keping supernova yang berpihak merias semesta begitu solek.
suatu waktu balada bersiduga, amai berkereta menghuni nirwana,
apak tabah dalam puruk yang menghunus, bagai cakak merahmati duka jiwanya.
ii.
berkerudung sungkawa aku ditudung rindu kasih ibu, renjana berpayah menyibaknya
tiada enggan sudah gelebah enyah di dadaku, adam bertandang menghuni di dalamnya
meneroka cinta yang semula mungil, ditanamkannya benih-benih kinasih.
suatu waktu takdir anugerahi elegi, apak terambau dikaram mala datuk yang tamak
matanya terhasut geletar kecemasan, bui melenggang sigap menyatroninya, menggagahinya
tapi aku cuman puan yang tak kuasa menyaksikan linang merabai hingga punca nayamnya,
aku terlampau kalimpasingan, kutepikan paradigma yang sempat kokoh bercokol dalam ingar-bingar jemalaku:
kutebus apakku, datuk!
kulunaskan kuk apakku, kawinkanlah aku!
sontak, sukma alam berlengkesa, denyutnya tak sampai lagi ke runguku
—aku tenggelam mengamban kerakal nestapa.
iii.
renung adamku bagai siasat pogrom yang hendak divoniskan dalam jiwanya
patah hatinya menyalibkan harapan ‘tuk jantungnya berdetak di bumi nan fana
aku berupaya memafhumi lara yang bermukim dalamnya, lantas tandang ke Batavia
tapi apak mangkat, kekejian datuk dicambukkannya di punggungku
aku kembali didagangkan nelangsa atasnya.
sungguh pun aku puan termalang senyum seakan sungkan berhelat di bibirku
yang lahir cuman isak, cuman lolong pada bungkam malam, tiada keadilan yang membesuk
gigil ragaku, aku terjerahak di tanah jentaka
sampai kucumbui harum pesara, wangi kamboja bertualang di tulang-tulangku
dan aku berkereta, menuju kedaton apak amaiku.
adam, tamat sudah nyala mataku, lelap sudah lagu-lagu kutembangkan
tapi rasaku taat bersejarah dalam dadamu.
iv.
sungguh pun aku puan yang tekun menanyai di mana keadilan tinggal,
atau di mana kutemui waktu-waktu melincam liar dari kebengisan nan pukal
kalau sentana lahad ruangku usaikan kesedihan, maka biarlah cintaku jadi legenda
yang temurun diwariskan pada cucu-cucu pribumi, bahwa puan: ibu samsara
yang mandatnya sumarah, yang titahnya mesti bungkam haram melawan
agar segenap mahajana memafhuminya, dan menadaburkannya.
adam, teguhkan bangkangmu mengincar pembelaan
aku menantimu di lidah peron sebelum rel demi rel kehidupan terlalui.
Semarang, 2022
Bercatur Pitutur
tenggelamlah wajahku menyalin matahari,
menguar harum air mata, —siapa yang tegas mencipta api?
aku tahu-tahu tumbang saja di ketegaran malam, menyelami sepi
menggembalakan kata-kata yang belum sempat bermukim
kini terlelang sayembara takdir, —siapa yang tak lalim?
tahu-tahu pagi, aku menitah Syiwa memberi damai
seperti apa yang kita paham, yang kita titah ialah waham
tiga jam sekali nenenda bertandang mengolehi tuah yang ragam
mau saja aku mual, tapi tidak lagi nanti perdom mengeram bersemayam
dan kesusahan-kesusahan yang kubagul mengekang pundakku bungkam
—siapa yang lugas mencampuri semua macam omelan hari?
bila sempat nanti kau tinjau runguku, di situlah umpatan riuh menghuni.
Bandung, 2022
Muktamar Budaya dalam Tubuh Nusantara
Di tanah sejahtera,
ragam corak tak menatang gembur mara
bagi sungai patron yang berlayar begitu seni
membatik raga Mapalus[1] yang tengah melancong
di bumi Gugur Gunung[2] lagukan himne budaya.
i.
Pagi ini kita bercatur sambil bersila
penuh ramai gelak ria tanbiat persatuan bersua
menarbiahkan sila-sila yang mesti dimaknai,
yang mesti diimplementasi,
menjamu Lhokseumawe yang bertamu
mengiring kawannya: Merauke, semeja mengudap
masakan Jawa selepas lunar mengawan-
sampai timbul mentari sebagai pagi.
tak lantas legam ragamu, safa wajahmu,
bangkar logatmu, serindai aksen tuturmu
menjelma yojana di antara bineka tamadun
atau barangkali meneroka kotak akuarium
yang sekadar berlayar bosan menyaksikan kalut
memahkotai zamin yang tak teramini merdeka
—lantas, apakah pantang kita karamkan beda?
ii.
Malam di kita menghuni jeluang Ngayah[3]
aksara-aksara pulau dewata nan cendayam
menguntaikan ode sebagai preambul walimah
muktamar budaya di desa Ahmad dan Yosua
yang penjarakan diskrepansi
mewujudkannya menjadi eksepsi
di tanah air.
tak payah kita tontonkan butala kelahiran
lagu daerah, pun bahasa ibu kita
sebab kemanunggalan ialah armada kita
bersemayam dalam kredo Indonesia
berlandas dalam muktamar budaya atma Pancasila,
sebagaimana hendak jiwa kita memukau semesta
menguak pesona intan permata Nusantara
: budaya, yang baka beribu pada pertiwi.
Solo, 2022
[1] Gotong Royong yang berasal dari budaya Minahasa
[2] Gotong royong yang berasal dari budaya tanah Jawa
[3] Kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di Bali.
Vania Kharizma Satriawan, mahasiswa baru Fakultas Hukum yang suka sejarah dan puisi. Bersua dengannya melalui Instagram: @vaniakharizma.