Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kelompok Perempuan Pulau Pari yang terus menanam ribuan mangrove setiap pekan serta melindunginya secara serius dan berkelanjutan. Namun mereka tak mendapatkan perlindungan dari negara. (sumber foto: istimewa)
Kelompok Perempuan Pulau Pari yang terus menanam ribuan mangrove setiap pekan serta melindunginya secara serius dan berkelanjutan. Namun mereka tak mendapatkan perlindungan dari negara. (sumber foto: istimewa)

WALHI Kritik Kepemimpinan Indonesia di ASO Karena Dinilai Gagal Kelola Mangrove



Berita Baru, Jakarta – Setelah sukses menggelar ASEAN Senior Officials on Forestry (ASOF) ke-27 di Bogor, Indonesia dipercaya melanjutkan kepemimpinan ASOF dari Kamboja. Dalam perhelatan tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengumumkan komitmen untuk mengawal isu mangrove selama masa kepemimpinannya.

Pada forum ASOF ke-27, KLHK memaparkan strategi pengelolaan mangrove untuk ASEAN yang meliputi pemetaan dan penilaian sebaran mangrove, peningkatan kapasitas kesadaran pemangku kepentingan, pembangunan tata kelola yang baik, intervensi teknis, serta dialog kebijakan antar negara ASEAN.

Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) memberikan kritik tajam terhadap implementasi strategi tersebut. “Dalam pengelolaan mangrove, Indonesia tidak bisa memimpin dengan contoh atau leading by example,” kata Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional WALHI dalam siaran persnya, Senin (22/7/2024).

Parid menyoroti beberapa bukti yang menunjukkan ketidaksesuaian antara komitmen internasional dan kebijakan domestik Indonesia. Pertama, data mangrove yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 menunjukkan total luasan hutan mangrove sebesar 2.320.609,89 hektar, dengan hanya 30,32 persen dalam kondisi baik. Sementara itu, Peta Mangrove Nasional (PMN) tahun 2021 mengklaim luas mangrove lebih dari 3.364.080 hektar, dengan 92,78 persen tutupan lebat.

Kedua, UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP No. 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan memungkinkan konversi ekosistem mangrove untuk proyek strategis nasional. “Agenda rehabilitasi mangrove yang disebutkan oleh Presiden Jokowi itu sangat mudah diubah untuk beragam kepentingan proyek strategis nasional yang didominasi oleh kepentingan ekstraktif dan eksploitatif,” jelas Parid.

Ketiga, berdasarkan studi WALHI, sampai tahun 2040, setidaknya seluas 3.527.120,17 hektar proyek reklamasi sedang dan akan dilaksanakan oleh Pemerintah. Namun, pengakuan dan perlindungan mangrove hanya diberikan seluas 52.455,91 hektar.

“Ketiga bukti tersebut menunjukkan absennya keseriusan pemerintah Indonesia dalam melindungi mangrove yang selalu dikampanyekan dalam setiap forum internasional,” tegas Parid Ridwanuddin.

Parid juga menggarisbawahi kemunduran tata kelola mangrove setelah tahun 2020. “Pada Tahun 2007 dan 2009, Indonesia punya undang-undang yang melindungi mangrove dan menetapkan sanksi pidana lingkungan kepada pelaku perusakannya. Namun, saat ini setelah tahun 2020, sanksinya hanya berupa sanksi administrasi bagi perusak mangrove,” ujarnya.

Menurut Parid, kampanye perlindungan mangrove yang dilakukan pemerintah di berbagai forum internasional tidak akan memperbaiki ekosistem mangrove dalam jangka panjang. “Apalagi jika mangrove dijadikan objek perdagangan karbon. Ini merupakan kemunduran yang sangat besar,” pungkasnya.