Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Usaha Hantu Menjadi Tamu | Cerpen: Syafiq Addarisiy
Ilustrasi: malgosia

Usaha Hantu Menjadi Tamu | Cerpen: Syafiq Addarisiy



Sejak kematianku sepuluh tahun lalu, baru kali ini aku berani mendatangi rumah Rara di Kampung Eden yang kini sudah ada listrik ini. Dengan itu, setidaknya malam di sini tidak lagi hanya diterangi api, bulan, dan bintang. Tower sinyal, juga batang-batang bambu dengan antena di pucuknya telah berdiri. Anak-anak, meski hanya lima atau enam, tampak membaca di perpustakaan umum. Melihatnya, aku tersenyum.

Kutuju bangunan mungil dari kayu di ujung desa, rumah Rara di kampung ini. Betapa aku rindu padanya. Betapa aku ingin menemuinya. Betapa aku ingin melihat bagaimana wajahnya, bagaimana matanya, cara berjalannya, cara bicaranya, dan—yang lebih penting—apakah ia bahagia.

Segera aku tepis pikiran yang terakhir itu sebab aku ingat, setahun sejak keberangkatannya ke Kampung Eden ini, Rara menjadi mahasiswi terkenal di kampus. Berita keberhasilannya meyakinkan donatur-donatur untuk menyekolahkan anak-anak Kampung Eden sampai sarjana tersebar ke mana-mana. Rara bahkan pernah sampai masuk tivi.

Tapi itu belum apa-apa. Begitu Rara menyelesaikan beasiswa S2-nya di Glasgow dengan gemilang, ia menjelma gula yang dikerubuti semut-semut keberhasilan: Menjadi manajer artistik di lembaga kesenian Kota Kunang, menjadi desainer fashion tetap Linggayoni, artis yang sedang tenar-tenarnya itu, memimpin Gatoloco, salah brand busana yang kerap jadi rujukan para artis, adalah sederet daftar panjang pencapaiannya.

Sementara aku? Ah, lebih baik kusimpan dulu kisah itu untuk kau simpulkan sendiri begitu selesai membaca cerita ini.

Rumahnya sederhana, persis seperti yang aku dan Rara bicarakan sepuluh tahun lalu: Berdinding dan berlantai kayu, beratap genteng tanah liat, berjendela dua, berpintu yang dibagi dua, atas dan bawah, berteras kecil dengan dua kursi dan satu meja untuk menyeruput teh melati kala senja. Di halaman, bebungaan dan pepohonan tumbuh dengan dua buah ayunan menunggu dimainkan di pojoknya. Dan, di atas semua itu, kebahagiaan.

Di dekat pagar rumah itulah aku berdiri terpaku. Sejenak aku ragu untuk masuk. Aku takut bertatap muka dengan Rara. Tapi, akhirnya kulangkahkan kaki juga karena tak mau kalah oleh ketakutanku sendiri. Dalam benakku, terbayang foto pernikahan sederhana Hamzah dan Rara yang kulihat di koran lima tahun lalu. Sederhana? Tidak juga. Pernikahan mereka disiarkan di televisi lokal. Siapa tak kenal Hamzah yang manajer pabrik tekstil besar itu?

Tiga langkah dari teras rumahnya, ingatan tentang kejadian pukul satu dini hari sepuluh tahun lalu berkelebat hebat di pikiranku. Ternyata, setelah semua yang terjadi, aku masih bisa berbahagia hanya karena sebuah kenangan. Bagaimana tidak? Aku tidak akan lupa ketika pipi Rara merona begitu kusodorkan sepasang anting berbentuk bulan padanya dengan tangan gemetar. Rara menunduk. Dan aku, dengan usaha keras yang memeras keringat di jidat, menuntun tangannya agar mau menerimanya. Apakah pertemuan, meski untuk terkahir kali, memang semenghantui ini?

Berdiri sendirian di teras rumah yang tampak sepi, aku bertanya-tanya, seperti apa isi rumah Rara. Apakah seperti bentuk luarnya, persis dengan yang aku dan Rara angankan dulu? Dinding digantungi lukisan-lukisan, rak buku di ruang tamu, almari berisi ijazah wisuda dan piagam penghargaan, dua meja dan dua kursi kayu buatan sendiri berjejeran, dengan mesin tik dan komputer di masing-masing meja, potret keluarga di dinding satu dan potret-potret yang aku dan Rara jepret di dinding yang lain. Apakah seperti itu?

Tidak. Agaknya, rumah ini akan jauh lebih artistik dari yang aku dan Rara bayangkan waktu itu. Sebab, Rara sendiri yang berkali-kali mengatakan bahwa Hamzah memiliki citarasa seni yang jauh melebihiku. “Dia membaca lukisan di atas kemampuanmu, Bri. Itu kenapa kau selalu gagal memahami puisi. Hahaha.” Aku tersenyum sendiri menyadari bahwa kata-katanya benar-benar menjadi nyata karena sampai saat ini, aku bahkan masih tak paham maksud “Dingin Tak Tercatat” Goenawan Mohamad.

Meski bukan lagi manusia, harus kuakui, aku gugup sekali. Kuketuk pintu dan menunggu jawaban dari dalam. Waktu terasa melambat seperti siput merambat. Kuulangi lagi ketukan pada pintu. Dan rasanya, baru pada ketukan kesembilan puluh sembilan telingaku menangkap suara yang seakan-akan tiba dari goa purba tempat Pendekar Tanpa Nama mengasingkan diri.

Ah, apakah memiliki pikiran adalah kutukan? Di saat-saat genting seperti ini, sempat-sempatnya aku hanyut dalam buram ingatan masa lalu. Tidak adakah kegunaan yang lain dari pikiran selain menjadi museum bagi kenangan? Kenapa pula aku harus ingat siang itu, siang di mana waktu Zuhur hampir berlalu pada waktu tubuhku dimakamkan dan tak kulihat Rara ada mengiringi kepergianku.

Aku kini memang bisa memakluminya. Aku sudah tahu bahwa Rara tak tahu kalau aku mengalami kecelakaan malam itu, sepuluh tahun lalu, sepulang dari kafe, setelah ia menerima anting pemberianku dengan syarat ia mau pulang sendirian. Ia menolak kuantar pulang dengan biasa saja. Tapi penolakan itu begitu menohok dadaku.

Ketidakhadirannya di pemakamanku jelas semakin melengkapi luka yang kupikul sepuluh tahun ini. Namun, lebih dari apa pun, yang hingga kini masih juga gagal kupahami adalah ternyata, tanpaku, Rara bisa melanjutkan hidupnya. Dan bodohnya aku masih memilih lebih memercayai cerita yang kukarang sendiri di kepala bahwa Rara tak berbahagia, bahwa aku selalu ada di mimpi-mimpinya, bahwa Hamzah tak seidaman yang Rara sangka, bahwa Rara menyesal menolak permintaanku mengantarkannya pulang, membuatku marah dan minum hingga mabuk, pulang dalam keadaan teler, menabrak tiang listrik dengan kepala mengalami pendarahan hebat, dan meninggal dengan sangat tidak gagah.

Lamunanku buyar ketika Rara membuka pintu. Di mataku, Rara tampak bersinar. Tidak. Rara tidak hanya bersinar. Ia menyilaukan, seperti biksuni yang baru saja menyingkap semua rahasia dunia. Rara di depanku ini jauh lebih benderang dibanding Rara sepuluh tahun lalu. Meski telah mati, aku seperti masih merasa bahwa jantungku berdegup hebat tatkala melihat sepasang anting berbentuk bulan terpasang di sepasang telinganya.

Rara menengok ke kanan dan kiri, menunggu sejenak sampai tampak yakin tak ada siapa-siapa di teras rumahnya. Rara menghela napas, lalu menutup pintu rumahnya kembali, sementara aku masih saja belum tersadar dari keterpukauan surgawi.


Syafiq Addarisiy, pengajar di PP. Assalafiyyah dan Jurusan Sastra Indonesia UNY. Senang menulis dan membaca. Bergiat di Komunitas Susastra dan Sindikat Muda, Liar, Ngantukan. Dapat dihubungi melalui surel: addarisiy13@gmail.com dan nomor WA: 085640780396. Beberapa tulisannya tersiar di Koran Tempo, Kompas.id, Basabasi.co, Suara Merdeka, Minggu Pagi, Koran Radar Selatan, Majalah Pewara Dinamika, dan lain-lain.