Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Memeluk Madiun | Puisi-Puisi Polanco S. Achri
Ilustrasi: wikimedia commons

Memeluk Madiun | Puisi-Puisi Polanco S. Achri



Telah Datang Laporan dari Madiun
untuk Panembahan Senopati

Adisara, seorang baik hati yang dipinta mengunjungi secara sembunyi, sekarang kini
telah kembali; dibawanya sebuah warta kepada Panembahan Senopati ing Ngalaga:          
Ampun, lagi beribu-ribu ampun, Gusti Baginda; adapun kini di sana
            dipimpinlah oleh seorang perempuan tersebab ayahada-ibundanya
            sudah tiada—dibawa malaikat yang terlalu senang bertanya. Di sana,
            hanya ada sepi juga wangi dari beribu-ribu aroma kembang tanya.

Ki Juru Martani, yang digelari Ki Mandaraka kini, sampaikan saran juga isi hati:
            Anakanda Baginda, perkenankanlah kiranya sahaya ingatkan amanat-wasiat
            dari Ayahanda Baginda, supaya bila sudah datang sesuai masa agar segera
            genapi ramalan yang diucapkan Sunan Giri dahulu kala; dan hendak ke sana
            membawa apa, Anakanda Baginda?—Pedang ataukah kembang-kembang?

Panembahan Senopati ing Ngalaga lantas berkata:
            Masihlah ingat diriku ini kepada Ayahanda wasiat-amanat; apabila hendak
            genapi lakon-cerita ganjil ini—dengan peluk Bang Wetan—maka mestilah
            sesuai dengan tanggalan ditetapkan: Jemuwah Pahing kala Wulan Mukaram
           Dan tiada kubawa pedang ataupun kembang-kembang, oh, Pamanda;
            hendak kubawa tangan terbuka, sebab hendak memeluk-membawa dan
            bukannya merampas warisan jua segala yang seolah-olah dipunya manusia.  

 (2019—2020)

Memeluk Madiun

Panembahan Senopati segara datang berkunjung tiba, dan tiada dibawanya pasukan
hanya beberapa bala—supaya tiada buat khawatir yang menanti di rumah sana. Kota
teramat sepi miliki aroma; jalanan hanya diisi dengan debu angin terbawa. Di sana,
di depan gerbang istana, berdirilah seorang perempuan yang dinamai Ratna Dumilah.

Panembahan pun turun daripada kuda; dan segeralah dirinya sampaikan berkata:
            Amatlah lumrah seorang perempuan lindungi anak kesayangan, yang kini
            bisa diarti sebagai negeri kelahiran. Adapun, kedatangan bukanlah hendak
            menaklukkan, sebab nyatalah benar sebuah warta; dan, di hadapan sesuatu
            yang dinama tresna, manusia amatlah tiada memiliki daya jua suatu upaya.

Masihlah erat dipegang senjata dan ditatapnya Panembahan Senopati ing Ngalaga.

Adalah benar bahwasanya tiada sahaya bawa pedang atau kembang-kembang;
sebab pedang-senjata hanya cipta luka dan duka meski memang bisa membela,
sedang kembang-wangi-beraroma sementara dan merampas makhluk lainnya.
Sahaya membawa tangan terbuka: hendak sahaya ajak lihat dan tinggal di sana,
di taman kembang-wangi-beraroma. Bukankah kesepian amat menyiksa dada?
Akan tetapi, pabila tetap ingin tikamkan senjata-pusaka ke dalam dada sahaya,
maka sahaya ini sudahlah rela-menerima; supaya nampak amat nyata bahwa
sahaya punya niatan serupa dengan yang dikatakan . . . .

Ada mata indah yang sedari tadi memandang tajam, telinga yang teliti dengarkan, dan
bibir manis yang lembut yang sedari tadi masihlah ditutup; kini mulut itu dibuka lalu
amat indah didengar sebuah suara yang lembut tapi tajam berkata: Ada siapa di sana?

Akanlah tetap Nona menjadi permaisuri Istana; dan akan temani seorang yang
juga suka memandang dan merawat kembang-kembang.
Adalah benar dirasa tiap-tiap manusia miliki lubang dalam dada,
bisakah kita sembuhkan bersama?

Senjata-pusaka disarungkan, tangan Senopati yang mengajak pun kini digenggam;
maka orang-orang kembali riang—meski tiada mampu bebas dari sepi dan kesendirian.

(2019—2022)

Dawuh Panembahan Senopati kepada Raden Rangga

Raden Rangga yang amatlah sakti duduk-menanti; menunggu Ki Juru Martani
guna penuhi dawuh daripada Ayahanda Panembahan Senopati. Ditunggulah eyang
yang sedang sunnah-sembahyang, sambil dilubangi keras lantai dengan jari-jemari;
bertanya-tanyalah pula di dalam hati: Mengapa Ayahanda Panembahan Senopati
beri dawuh supaya menempuh pelajaran jua merguru kepada Eyang Juru Martani?

Setelah rampung doa jua sembahyang, dan ketahui ada tamu yang menanti,
yang tiada lain ialah cucunda sendiri, maka lekaslah berkata Ki Mandaraka
yang bernama jua Ki Juru Martani:

            Jari yang sakti mungkin memang bisa lubangi lantai batu yang keras sekali,
            tapi tiada bisa dilubanginya hati yang merasa sepi dan jua sendiri, Cucunda.

Seketika, jari Raden Rangga tiada kuasa seperti semula, dan kini diketahuilah
ada yang lebih digdaya selain kekuatan tubuhnya; dan hal itu ialah kata-kata
—jua segala umpama-sanepa!

(2019—2022)

Di Desa Patalan, Raden Rangga
Genapi Akhir Perjalanan daripada Jalan Pengembaraan

Sudah ditempuhnya panjang pengembaraan, sebagai upaya menemukan jawaban,
dan sekarang didengarnya sebuah warta: Ada ular yang amat besar yang risaukan
warga di suatu desa; maka bergegaslah, segera menuju ke sana. Di sana, didapati
tiada apa-apa selain setumpuk umpama-umpama dan seekor ular putih kecil yang
dapat bicara. Maka, berkatalah sang ular—yang tiada asing rasanya didengar lagi
kemunculannya:

            Oh, Raden Rangga yang rajin memandangi jingga-senja, selalu sahaja ada
            yang suka melebih-lebihkan sebuah lakon-cerita—supaya menarik atawa
            alasan lainnya. Adapun, begini adanya: di mana sang ular dikata memangsa
            segala, jua ada seorang pangeran yang dikata dihukum buang tersebab dosa.
Akan tetapi, nyatanya, sahaya dan kisanak hendak temui kematian,
            di mana kisanak sudah rampung-selesaikan, sedangkan sahaya ini senantiasa
            diberi takdir-suratan supaya berulang-ulang kali alami kelahiran-kematian.

Ah! Raden Rangga yang telah waskita
telah sadar nasib lakon-ceritanya; maka
diterimalah suratan yang mengatakan
bahwa dirinya ialah Parikesit yang lebih gagah-berani,
yang berani hadapi dan genapi lakon hidup ini
—dengan mati.

Maka keduanya pun saling bertanding, tersebab memanglah begitu nasib-suratan:
Raden Rangga mestilah mati sebab terkena bisa, lantas sang ular yang amat purba
mestilah kalah di tangan seorang pengeran pengembara—supaya dapat lanjutkan
perjalanan menuju ke lakon-cerita selanjutnya.

(2019—2022)

Sepotong Kisah Wayang Purwa
yang Sering Dikisahkan Panembahan Senopati
kepada Raden Rangga

Ayahanda bercerita dengan lembut berkata:
Ada seekor ular di hadapan Prabu Parikesit, dan Sang Prabu pun
lekas paham, takdir atawa nasib yang getir tiada bisa dipendam,
dihalang, dan ditenggelamkan. Seluruh penghalang dipasang:
segala yang dari luar tiada mampu masuk ke dalam. Akan tetapi,
Prabu Parikesit lupa menutup lubang dalam hatinya, dan dirinya
akhirnya paham: segala yang dari dalam pun juga bisa keluar.
Seekor ular, ucap Sang Prabu sedikit gemetar, menjadi mula
lakon-cerita dan jua menjadi akhir daripadanya—

(2021—2022)


Polanco S. Achri lahir dan tinggal di Yogyakarta. Seorang lulusan jurusan sastra yang kini menjadi pengajar di sekolah menengah kejuruan. Menulis prosa-fiksi dan drama, serta esai pendek. Dapat dihubungi melalui FB: Polanco Surya Achri dan/atau Instagram: polanco_achri.