Ujaran Kebencian Ancam Demokrasi Pilkada
Berita Baru, Jakarta – Ujaran kebencian dalam Pilkada masih menjadi masalah serius yang dapat mengancam fondasi demokrasi di Indonesia. Pilkada yang seharusnya menjadi sarana untuk memilih pemimpin terbaik, kerap kali justru dijadikan ajang eksploitasi isu-isu sensitif, seperti agama, suku, ras, dan antargolongan demi meraih kepentingan politik sesaat.
Strategi ini tidak hanya merusak nilai-nilai demokrasi tetapi juga menciptakan polarisasi tajam di masyarakat. Polarisasi ini berdampak panjang dan menimbulkan perpecahan sosial yang sulit dipulihkan, bahkan setelah Pilkada usai.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Monash University Indonesia mencatat bahwa Jawa Barat adalah provinsi dengan ujaran kebencian tertinggi selama Pilkada 2024, disusul Aceh, Sumatera Barat, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Pemantauan tersebut dilakukan sejak 1 Agustus hingga 23 November 2024 dengan menganalisis 185.083 teks dari platform X (Twitter) dan TikTok.
Co-Director Monash Data & Democracy Research Hub, Ika Idris, menjelaskan bahwa ujaran kebencian di lima provinsi tersebut didominasi oleh isu agama, akhlak, dan etika. “Isu agama bukan hanya muncul di daerah yang kandidatnya berbeda agama, tetapi juga di wilayah yang memiliki agama sama. Narasi bahwa satu kandidat lebih saleh dibandingkan kandidat lainnya sangat mendominasi, seolah kesalehan menjadi patokan utama,” jelas Ika.
Sentimen politik dinasti juga menjadi bagian dari ujaran kebencian selama Pilkada, di mana terdapat dorongan untuk tidak mendukung pasangan calon yang dinilai maju berdasarkan nepotisme keluarga, bukan kompetensi mereka.
Faktor Rendahnya Literasi Digital
Ujaran kebencian yang muncul selama Pilkada dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya rendahnya literasi digital masyarakat. Media sosial yang menjadi wadah utama penyampaian narasi politik juga rawan disalahgunakan untuk menyebarkan konten menyesatkan dan provokatif.
Ketidakmampuan masyarakat dalam memilah fakta dari hoaks menyebabkan mereka mudah terprovokasi, sehingga konflik horizontal pun sulit dihindari. Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku ujaran kebencian juga memperparah situasi, menciptakan budaya impunitas yang mendukung keberlanjutan praktik ini.
Dampak ujaran kebencian tidak hanya merugikan individu atau kelompok secara psikologis, tetapi juga mengarah pada kekerasan fisik, memperparah luka sosial di masyarakat. Dalam skala yang lebih luas, penggunaan ujaran kebencian sebagai strategi politik menciptakan budaya politik yang transaksional dan tidak beretika. Hal ini merusak esensi demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan, transparansi, dan integritas.
Mengatasi fenomena ujaran kebencian memerlukan pendekatan sistematis yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Peneliti Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro, Lusia Astrika dan Yuwanto, dalam kajiannya menyebutkan bahwa ujaran kebencian mempengaruhi sikap politik pemilih pemula di Semarang. Dalam riset yang diterbitkan di Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan (JIIP) pada 2019, mereka merekomendasikan perlunya sosialisasi pemilu yang baik serta pendidikan politik yang tepat untuk meminimalkan ujaran kebencian.
Perkuatan Regulasi dan Literasi Digital
Pertama, regulasi terkait ujaran kebencian perlu diperkuat, terutama dalam konteks digital. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) harus diimplementasikan dengan tegas dan adil, agar penegakan hukum dapat memberikan efek jera serta menciptakan rasa keadilan di masyarakat. Pemerintah juga harus bekerja sama dengan platform media sosial untuk mempercepat deteksi dan penindakan terhadap konten yang melanggar.
Kedua, peningkatan literasi digital masyarakat harus menjadi prioritas. Edukasi literasi digital melalui kurikulum pendidikan formal maupun kampanye publik harus ditingkatkan, agar masyarakat mampu memilah informasi dengan baik. Kolaborasi antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, media, dan sektor swasta dapat memperluas jangkauan program ini.
Lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga perlu mengoptimalkan perannya dalam menciptakan Pilkada yang bersih dan berintegritas. KPU harus mendorong kampanye yang berbasis program dan toleransi, sementara Bawaslu wajib memperketat pengawasan terhadap narasi negatif selama kampanye.
Partai politik memegang peran penting dalam membentuk budaya politik yang sehat. Mereka harus memastikan kampanye yang dilakukan oleh kandidat dan tim suksesnya tetap etis dan tidak memecah belah masyarakat. Pendidikan politik bagi kader partai juga diperlukan untuk membangun kesadaran akan pentingnya etika dalam berpolitik.
Selain itu, masyarakat sebagai pemegang kedaulatan demokrasi juga perlu berperan aktif dalam memerangi ujaran kebencian. Kesadaran kolektif akan pentingnya demokrasi sebagai upaya bersama untuk mencari solusi terbaik bagi kepentingan bersama harus terus ditanamkan. Masyarakat perlu menahan diri dari menyebarkan informasi yang belum diverifikasi dan melaporkan konten yang provokatif kepada pihak berwenang.
Pilkada yang bersih dan adil adalah modal penting untuk mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis, bermartabat, dan inklusif. Demokrasi yang sehat hanya dapat terwujud melalui kolaborasi, edukasi, dan integritas seluruh elemen bangsa. Dengan langkah-langkah yang konsisten, Pilkada dapat menjadi ajang yang menyatukan masyarakat, bukan memecah belah.