Trilogi Peperangan | Puisi-Puisi Daruz Armedian
Trilogi Peperangan
/menjelang peperangan/
maut telah kupagut,
kutimang-timang sebagai kekasih
dengan mulutku yang rapuh
dan tangan utuh memungut perih.
sebab aku paham,
inti perih adalah kantung kebahagiaan.
toh, aku hanya lahir sebagai takdir,
jatuh di panggung drama dunia:
nyata tapi tak sungguh-sungguh nyata.
menyerahlah, orang atas angin,
menyerahlah, sebelum jantung
dan lambungmu
jadi lambang kekalahan.
sungguh, meski pelurumu
bikin otak retak dan rusuk remuk,
ia tetap akan kuterjang,
“tuhan menungguku di ujung senapan!”
/peperangan/
kecuali waktu, tak ada yang mampu
memisahku hari ini dari masa lalu.
tidak kau,
tidak juga kematianku.
untuk sampai ke pipiku,
airmata membutuhkan kesedihan.
sedang perang ini—peristiwa yang mesti
ada kekalahan dan kemenangan—
telah lama kurindukan.
maka akulah udara,
menembus jantungmu tanpa suara.
/seusai peperangan/
selain angin dan segantang angan,
tiada yang disisakan peperangan.
angin yang berembus
di tanah tandus,
menjadi masa lalu
yang mustahil kembali kau hidu.
angan bagi sebuah dunia
yang akan datang,
bagi masa depan bocah-bocah.
darah, darah, dan darah,
biarlah hanya akan ditanggung sejarah.
2016-2017
Tuban; Setelah Arus Tak Mungkin Berbalik
beginilah akhirnya. setelah semua runtuh
di tangan dingin negeri atas angin.
tuak jadi amis, busuk seperti dubur beruk,
pelabuhan tinggal bangkai: dan kita masih saja senyum
memanggilnya sebagai ‘boom’.
tempat angin bersepoi, gazebo usang,
batu-batu bisu, dan deretan pohon memanjang
(seakan lebih panjang ketimbang usia kekalahan).
beginilah akhirnya. arus selatan akan diam
dan utara tinggal pusat bayang-bayang.
kapal-kapal kita bukan lagi milik empu nala,
tongkat kita kehilangan si bong ang.
beginilah akhirnya. di pagi, dingin jadi asing,
hujan asam, mesin-mesin berisik,
udara mencintai asap pabrik.
di tepi laut, bakau tumbuh diasuh plastik-plastik
dan kita masih terus membahagiakan diri
dengan kalimat pendek: tenanglah, manusia,
semua memang akan hancur pada waktunya!
2017
Sepanjang Jalan Senori-Bangilan
kau pandang kanan kiri di jalan ini.
padi-padi menghijaukan bumi,
ketika musim basah dicintai udara
atau telah merah pada asam belanda.
akan kau lihat kacang-kacang merambat,
jagung-jagung berbunga merah marun,
tembakau-tembakau yang hijau
atau batang-batang tebu yang rapat itu,
ketika matahari lebih lama berkuasa
atas cuaca, atas udara: atas segalanya.
dan kami, jajaran pohon mahoni,
senantiasa menyapamu dengan teduh
dari lambai daun-daun
dan angin nun jauh.
di jalan ini kau tenanglah tenang,
seperti kala bercengkrama dengan tuhan.
2016
Senori-Bangilan: dua kecamatan yang ada di Tuban Selatan.
Kayangan Api
tarian api kayangan
tarian yang diasingkan kefanaan.
seperti merindu dupa-dupa empu supa,
si petapa pembawa 17 lempeng tembaga.
pada 12-13 abad yang lewat,
bagai air melesat ke bibir selat.
akhirnya,
nihil kata akhir bagi si api.
jauh dari gigir sihir.
rapuh menuju ruang henti.
“menarilah, wahai api, menarilah.
ketika hujan begitu kuyup,
embun turun dengan gugup,
yang basah hanya punggung tanah
dan bukan kobarmu
—kobaran yang gelisah.”
mungkin para dewa suatu waktu
menitah seperti itu.
mungkin juga bukan.
hidup cuma soal perkiraan.
tapi toh kau lihat si api
menari sampai kini.
di dingin musim, di bara cuaca,
atau lembap malam gelap.
*
bocahku, bocahku, bocahku!
jangan ambil, meski sepercik, api itu!
meski gigil pada biru tubuhmu.
api kayangan diciptakan
hanya bagi perawat ruwat,
atau penggelar tayub,
yang sayup-sayup memanggil
nama-nama yang maha.
bocahku, bocahku, bocahku!
tanggal-tanggal makin ditinggalkan,
seperti pantun-pantun,
atau tahun-tahun yang gugur bagai daun.
tetapi si api tetap menari,
meniru sinden kami
sewaktu tahu gamelan mengenal bunyi.
adakah benar ia merindu
dupa-dupa empu supa
menunggu kehadiran (lagi) si empu
dari maja pahit,
bangkit dari makam,
bangkit dari masa silam.
jatuh dari arah langit,
dengan jerit maha sakit.
mungkin seperti itu,
mungkin juga bukan
sekali lagi,
hidup cuma soal perkiraan
Tuban, 2016
Kayangan Api: api tak kunjung padam di Ngasem, Bojonegoro.
Daruz Armedian, lahir di Tuban. Tahun 2016 dan 2017 memenangi lomba penulisan puisi se-DIY yang diadakan Balai Bahasa Yogyakarta. Tahun 2017 memenangi sayembara manuskrip puisi se-Jawa Timur yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jawa Timur. Tulisannya pernah di koran Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, Republika, Kedaulatan Rakyat, detik.com, basabasi.co, dll. Buku puisi terbarunya: Dari Batu Jatuh sampai Pelabuhan Runtuh.