Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Rasa Sepi dan Lionel Richie | Cerpen: Baron Yudo Negoro
Ilustrasi: Kibazor

Rasa Sepi dan Lionel Richie | Cerpen: Baron Yudo Negoro



Jika terlahir sebagai orang lain, aku mungkin akan mempersilakan orang-orang memenuhi ruang tamu, membiarkan mereka menyalamiku, mengucapkan basa-basi duka cita. Tapi sayang sekali, aku terlahir sebagai aku, dan aku yang 35 tahun ini hanya ingin berlama-lama duduk di sofa ruang keluarga. Aku muak terhadap basa-basi.

Karena itu, melipat semua jendela rumah setelah pulang dari pemakaman Maya, menarik semua korden, menutup rapat-rapat pintu depan, dan menyalakan lampu jalan. Dengan demikian, tak ada protes dari warga karena lampu jalanku tak menyala, sehingga tak ada pula seorang pun yang mengusik ketika aku duduk.

Aku terlalu malas untuk menanggalkan jas hitamku, bahkan aku tak mencopot sepatu. Payung merahku masih mengembang, tergeletak di lantai ruang tamu dengan sisa-sisa gerimis yang membasahinya.

Seseorang di balik pintu mengetuk-ngetuk. Nyaring ketukannya membuatku mengira bahwa itu bukan pintu terketuk, melainkan kaca jendela; mungkin ia memungut batu di pekarangan rumahku untuk mengetuk jendela, atau menggunakan ujung kunci karena biasanya aku pun begitu. Aku hanya terdiam. Barangkali ia jengkel karena aku tak kunjung membuka pintu, sebab terdengar namaku dipanggil-panggil setelahnya dengan setengah berteriak.

Tentu saja, aku tidak mungkin mencegah siapapun untuk mengetuk-ngetuk pintu dan memanggil-manggil namaku. Mustahil pula jika aku memaksa semua orang untuk tidak meneleponku. Satu-satunya yang dapat kulakukan hanyalah tidak menyahut, mematikan ponsel, mencabut kabel telepon rumah.

Entah berapa jam aku terduduk, tiada pula aku berhitung soal itu, hingga aku merasa badanku sekaku batu. Dan ketika gemeretak gerimis di atap rumah mereda, kembali pintu depan diketuk-ketuk, tapi ketukannya terdengar berbeda. Semula, aku tak memedulikannya. Kepedulianku muncul ketika namaku dipanggil-panggil; entah kenapa, aku merasa suara itu seolah-olah memaksaku terpanggil.

Aku beranjak dari sofa ruang keluarga. Seperti mayat hidup, kakiku menapaki lantai berdebu secara terseret-seret untuk mencapai ruang tamu. Ketika pintu terbuka, seolah-olah kepalaku meletup. Aku menemukan rasa sepi begitu besar, dengan segala keagungannya, ia berdiri di ambang pintu, mengerjap-ngerjap cahayanya laksana ribuan lampu gedung-gedung kota. Ia begitu hangat dan nyaman, jantungku berdebar-debar menatapnya, mulutku menganga-nganga, dan dalam sekedipan mata, kusadari bahwa aku jatuh hati kepada perasaan sepi itu.

“A—Apa yang kamu lakukan di sini?”

“Kenapa bertanya, bukankah kamu membutuhkanku?”

Ah, suaranya seperti riuh suara alam di pegunungan, begitu menenangkan. Aku semakin salah tingkah saja.

“A—Apakah kamu kehujanan?”

“Sedikit.”

“Duduklah. Maaf, agak berantakan.”

Aku bergegas ke dapur. Tanganku gemetaran ketika menyeduh teh hangat, hingga sesekali tumpah mengguyur tanganku. “Aouw!” Aku juga menyajikan sepiring bakpia karena kupikir, ia pasti lapar.

“Maaf, hanya ini yang aku punya.”

“Ini lebih dari cukup.”

Betapa ia sangat lahap, sepiring bakpia dihabiskannya sendiri tanpa sungkan, sampai-sampai remah-remahnya tercecer di meja ruang tamu. Kuraih selembar tisu untuk menyekanya, tetapi ia melarangku. Aku ragu dengan larangannya, tetapi ia bersikeras.

Aku tak ingin ia tersinggung, lantas buru-buru pergi. Jangan sampai ia meninggalkanku hanya karena perkara remah-remah itu. Maka dari itu, aku turuti saja kemauannya dan menunda kemauanku.

Kami bercengkerama di ruang tamu, dan aku merasa seperti telah lama mengenalnya, sedangkan ia mengaku telah lama mengamatiku. Dadaku mengembang karena pengakuannya. Menyusul kemudian puji-pujian darinya sedemikian rupa, seolah-olah aku Tuhan, atau minimal patung berhala. Aku melayang-layang dibuatnya.

Jam dinding berbunyi 11 kali. Aku terkejut karena ternyata malam telah larut. Saat akan mengingatkannya bahwa malam telah larut, ia lebih dulu berkata bahwa ingin seranjang denganku. Aku pun gelagapan. Bukan akibat ingin menolak, tetapi karena kamarku berantakan.

“Tunggu sebentar, aku akan merapikan kamar terlebih dahulu,” kataku.

“Jangan!” bentaknya. “Biarkan saja seperti apa adanya!” sambungnya.

Kendati tak suka dibentak, aku hanya diam sambil mengembuskan napas panjang.

Pintu kamar berderit ketika aku mendorongnya, tercium aroma tumpukan baju yang telah lama tak tersentuh, lupa tercuci. Selimut dan bantalku bergumul di lantai, spreiku seperti lembaran kain lebar yang dilempar begitu saja, kaos dan celana dalam tergeletak sembarangan di atasnya, juga tisu-tisu bekas dan remasan kertas.

Karena tak kuat menahan malu, aku pun lupa larangannya dan tergesa-gesa untuk memunguti tisu-tisu dan remasan kertas itu. Tapi, lagi-lagi ia mencegahnya. “Biarkan saja!” teriaknya.

“Tak perlu berteriak,” kataku, dengan lembut.

Dengan langkah lamban, ia mengelilingi kamarku, mengamatinya secara rinci seperti aparat mencari barang bukti. Barang-barang kosmetik milik Maya ditatanya di meja rias, dirapikan sedemikian rupa. Betapa anehnya, sementara aku dilarang membersihkan ini itu, ia malah merawat barang-barang Maya dan menegakkan kembali bingkai fotonya yang tengkurap.

Dengan sedikit memaksa, perasaan sepi itu meminjam ponselku. Lionel Richie pun kemudian menyanyikan “Hello” melalui ponsel itu.

Ah, itu lagu kesukaan Maya. Betapa lagu itu sangat melenakan, terutama saat lembut suara Pak Richie memasuki reff. Rasa-rasanya aku ingin selamanya mendekap perasaan sepi itu, tak akan kulepaskan.

Rasa sepi itu kemudian memintaku rebah di kasur, di sampingnya. Aku patuh saja. Bersamanya, ternyata waktu bergulit tanpa terasa, tiba-tiba sudah pagi pukul dua dan aku belum memejamkan mata.

Entah pukul berapa aku tertidur, tahu-tahu saja aku sudah terbangun lagi dan menemukan rasa sepi itu menindihku, membelai-belai kepalaku sambil meniupi wajahku, seakan-akan memintaku untuk kembali terlelap. Semestinya, aku bersiap diri untuk berangkat kerja, tetapi rasa kantuk menyerangku. Pak Richie masih menyanyikan lagu yang sama dan kemungkinan akan berlanjut di waktu-waktu seterusnya.

Aku tertidur lagi dan terbangun pada siang hari, lalu rasa sepi itu memintaku tidur lagi. Aku patuh saja. Berulang-ulang aku terbangun dan tertidur, hingga kusadari malam telah terbit; kali itu, aku menolak permintaannya untuk kembali tidur.

Aku bangkit dan ia menghilang dari sampingku, muncul di depan lemari baju. Dibukalah lemari itu, dikeluarkannya semua baju Maya, dan dimintanya aku untuk menciumi baju-baju itu: lingerie, slip dress, cardigan, blouse, kaos-kaos oblong yang pudar dan molor ribnya, satu per satu aku peluki baju-baju itu seakan-akan mereka adalah Maya, aku hirup aromanya. Ah, baru kemarin Maya dikubur, tetapi kerinduanku kepadanya sudah sebesar gunung.

Di waktu-waktu lain, rasa sepi itu memintaku untuk tak henti-henti merokok, memesan bir, pizza, burger, popcorn, lalu mengajakku menonton video pernikahanku dengan Maya. Ia juga melarangku mandi. Setiap hari, ia memintaku ini itu dan melarangku ini itu, dan tak pernah sebentar pun meninggalkanku. Entah berapa hari aku telah tinggal bersamanya, mungkin ratusan hari, atau jangan-jangan ribuan?

Tanpa sadar, ketika terduduk di hadapan cermin meja rias Maya, aku menemukan badanku telah kurus kering seperti ranting terkecil pada sebuah pohon. Panjang rambutku telah mencapai pundak. Cambang, kumis, dan janggut mulai merambati di wajahku bagai rumput-rumput liar.

Aku ingin memangkasnya, tetapi rasa sepi itu tidak mengizinkanku. Rasa-rasanya ingin sekali menggaruk kepala dan sekujur badanku dengan garpu. Betapa gatalnya, darahku mendidih karena kegatalan itu, juga karena ia tak memperbolehkanku ini itu.

Malam ketika kegatalan itu tak tertahankan, aku mengendap-endap ke kamar mandi saat rasa sepi itu terlelap. Ketika akan kembali ke kamar, langkahku terhenti.

Aku menyadari betapa rumahku tak seperti rumah lagi, kecuali kandang babi bisa dianggap sebagai rumah. Debu-debu di lantai telah tebal, terkadang terhempas ke udara karena putaran kipas angin di kecepatan dua. Sisa-sisa makanan berserakan di lantai, juga puntung-puntung rokok, botol-botol, serta tumpahan bir.

Tanpa permisi, seekor tikus melintasiku sambil menggigit sepotong keju, menghilang di balik kaki lemari, meninggalkan remah-remah keju di lantai yang akhirnya diangkut oleh koloni semut. Di sudut-sudut antara dinding dan langit-langit, rumah laba-laba terjuntai, begitupula di lampu-lampu dan rangka jendela.

“Apa yang kamu lakukan?”

Aku terkejut oleh pertanyaan itu. Entah berapa lama ia berdiri di ambang pintu kamar

“Aku cuma ….”

“Cuma apa!”

Sudah kubilang aku tak suka diteriaki. “Jangan berteriak atau …!”

“Atau apa?”

“Pergi!”

“Aku tak akan pergi!”

Darahku mendidih karena teriakannya.

“Aku bilang jangan berteriak!”

Dengan langkah berdebam, aku meraih gunting di dapur, memangkas rambutku sependek mungkin, meraih sapu dan menggiring segala sampah yang berserak di lantai. Debu berputar-putar di udara bagai kabut yang turun tiba-tiba.

“Hentikan!” teriaknya. “Aku bilang, hentikan!” teriaknya lagi.

Sungguh, sekuat mungkin aku menahan diri untuk mengabaikan teriakkannya. Sementara ia menjerit-jerit, aku menyeka tumpahan bir di meja dan lantai dengan kain lap, membantai koloni semut dengan semprotan serangga sambil terpingkal-pingkal.

Terdengar kemudian lagu “Hello” begitu lantang terlantun. Ia ternyata menancapkan ponselku ke speaker. Ia juga menyanyikan lagu itu dengan nyaring dan kencang. Ia kemudian masuk ke kamar dan keluar lagi sambil membawa tumpukan baju Maya, satu per satu dilemparkannya baju-baju itu ke udara.

“Hentikan kegilaanmu!” teriakku.

Baju-baju itu kupunguti, kubenamkan ke dalam kantong plastik besar, menyusul kemudian barang-barang kosmetik Maya, dan tak ketinggalan foto-fotonya.

“Apa yang akan kamu lakukan?” Ia menarik pundakku dari belakang.

“Lepaskan!” Kuhempaskan tanganku. Ia tersungkur di lantai.

Dengan langkah cepat, aku menuju pekarangan rumah dan membakar barang-barang itu. Masih terdengar ia berteriak jangan, jangan. Tetapi, teriakannya semakin surut dan surut, dan tak lama, yang tersisa hanyalah Lionel Richie yang terus bernyanyi, desir angin dan keheningan tanpa tuan.

“Malam, Pak.” Seorang satpam kompleks menyandarkan sepedanya di pagar rumahku.

“Sedang jaga malam?” tanyaku.

“Iya,” katanya. “Mungkin agak terlambat, tetapi saya turut berduka cita atas meninggalnya istri bapak,” katanya lagi.

Di dekat kobaran api, yang membakar semua benda yang mengingatkanku kepada Maya, aku tersenyum, lalu menjabat tangan lelaki itu.


Baron Yudo Negoro merupakan seorang buruh. Beberapa cerpennya pernah dimuat di beberapa media.