Tragedi Smelter PT. GNI, JATAM: Bebaskan Buruh Indonesia
Berita Baru, Jakarta – Jaringan Tambang Nasional (Jatamnas) menilai bentrokan antara tenaga kerja asing asal China dan tenaga kerja Indonesia di area pabrik smelter PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) bukan sebatas dipicu oleh kekecewaan antar buruh Indonesia dan TKA.
“Bentrokan itu adalah akumulasi dari rentetan kebijakan dan regulasi pemerintah yang, selain hanya mementingkan pelaku industri, juga cenderung abai dengan segudang kejahatan korporasi atas buruh, masyarakat terdampak, dan lingkungan,” kata Direktur JATAM Sulteng, Moh Taufik dalam keterangan persnya yang diterima Beritabaru.co, Kamis (19/1).
Taufik menyebut, PT. GNI merupakan perusahaan asal China yang membangun pabrik smelter nikel di Bunta, Petasia Timur, Morowali Utara. Meski berlokasi di Morowali Utara, peresmian perusahaan ini dilakukan di kawasan industri Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara oleh Presiden Jokowi bersama sejumlah Menteri dan Kepala Daerah pada 27 Desember 2021 lalu.
Pada peresmian itu, kata Taufik, salah satu hal yang ditekankan Presiden Jokowi kepada Gubernur dan Bupati setempat adalah agar menjaga iklim investasi tetap kondusif, sehingga terjadi serapan tenaga kerja, devisa, dan pajak.
Melihat rentetan tersebut, bagi Taufik bukan hal yang mengejutkan ketika pasca bentrokan di area pabrik GNI itu terjadi, respons Jokowi justru hanya sebatas menginstruksikan Kapolri untuk menindak tegas pelaku kerusuhan.
Ia melihat, Presiden Jokowi, termasuk sejumlah menteri dan kepala daerah, serta aparat kepolisian yang bergerak cepat menangkap puluhan buruh Indonesia yang dituduh pelaku, menutup mata atas persoalan yang melatarbelakangi bentrokan itu terjadi.
“Hal itu seolah menunjukkan watak pemerintah dan model penegakan hukum aparat kepolisian yang lebih penting melindungi investasi, dari pada keselamatan rakyat dan lingkungan, serta kesejahteraan buruh itu sendiri,” kata Taufik.
Oleh sebab itu, JATAM memandang bentrokan antara TKI dan TKA di PT GNI, Morowali Utara, berikut jejak kejahatan perusahaan asal China itu, serta respons pemerintah dan pendekatan hukum yang dilakukan aparat keamanan adalah bentuk nyata dari menguatnya kepentingan pebisnis dan elit politik penguasa di Indonesia.
“JATAM menilai, baik TKI maupun TKA adalah sama-sama korban. Pemerintah dan aparat keamanan justru sibuk mengkambing-hitamkan TKI, lalu menghindari realitas konflik struktural sesungguhnya,” tuturnya.
Menurut Taufik, situasi ini tak hanya terjadi di Morowali, tempat dimana PT GNI beroperasi, melainkan di hampir seluruh wilayah operasi perusahaan tambang. Hal ini tentu saja bak’ bom waktu yang pada akhirnya, selain merugikan para buruh, juga mengorbankan rakyat dan ruang hidupnya.
Untuk itu, JATAM menuntut Presiden Jokowi untuk hentikan operasi dan cabut izin PT GNI, dan segera lakukan audit/evaluasi atas seluruh tindakan kejahatannya, baik terhadap buruh, warga terdampak, maupun lingkungan hidup.
Kedua JATAM menuntut Presiden Jokowi dan Kapolri Listyo Sigit untuk segera bebaskan seluruh buruh yang telah ditangkap, serta hentikan proses hukum atas sejumlah buruh yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Ketiga, menuntut Presiden Jokowi dan Kapolri Listyo Sigit untuk segera lakukan proses hukum atas kejahatan PT GNI, terutama terkait sejumlah dugaan pelanggaran hukum atas lingkungan hidup, warga terdampak, dan tenaga kerja.
“Menuntut Presiden Jokowi untuk segera perintahkan PT GNI agar lakukan pemulihan sosial-ekologis atas segala kerusakan yang telah terjadi,” pungkas Taufik.