Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

CIPS

Tanggapi RUU Minol, Peneliti CIPS: Pemerintah Sebaiknya Fokus pada Penegakan Hukum



Berita Baru, Jakarta – Pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol kembali mengemuka. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan, alih-alih membuat aturan yang melarang peredaran dan akses kepada minuman alkohol yang tercatat atau legal, pemerintah sebaiknya memfokuskan diri pada penegakkan hukum dari peraturan yang sudah ada.

“Selain penegakan hukum, pemerintah juga seharusnya mampu merumuskan peraturan yang mampu mengakomodir perkembangan dari kehidupan masyarakat. Saat ini, peraturan yang ada belum menyentuh penjualan dan pengawasan dari minuman beralkohol yang dijual secara daring,” kata Pingkan dalam keterangan tertulis, Kamis (12/11)

Pingkan menyebut pemerintah perlu mengkonsiderasi aspek ini jika memang tujuan dari pembuatan RUU ini untuk melengkapi apa yang sudah ada. Namun, CIPS menilai bahwa klaim-klaim yang ada di dalam RUU tersebut tidak tepat sasaran dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Baik Naskah Akademik maupun materi presentasi pembahasan Baleg terkait RUU Minol ini terlampau mengeneralisir permasalahan dan tidak didukung oleh data empiris yang memadai.

“Inisiatif untuk membuat peraturan perlu memperhatikan perkembangan dari objek yang diatur didalamnya. Sekarang minuman beralkohol tidak hanya dipasarkan secara langsung tetapi juga lewat daring. Transaksi e-commerce tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan transaksi secara langsung. Pemerintah perlu memperhatikan hal ini, seperti soal mekanisme pengawasannya dan mengatur sanksi bagi pelanggar,” jelas Pingkan.

Menurut klaim dari Baleg DPR dan Naskah Akademik per tahun 2014 yang dijadikan landasan perumusan RUU Minol ini, setidaknya terdapat empat aspek yang dijadikan justifikasi mengapa RUU ini perlu segera disahkan. Keempat aspek tersebut ialah perspektif filosofis, sosial, yuridis formal, dan upaya pengembangan hukum. 

Pertama, berkaitan dengan aspek filosofis, Pingkan mengungkapkan, fraksi pengusul mengklaim bahwa larangan minuman beralkohol hakekatnya amanah konstitusi dan agama. Padahal, minuman beralkohol merupakan komoditas yang secara legal dapat dikonsumsi dan diperjualbelikan di Indonesia seturut dengan peraturan yang berlaku. 

“Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2004 pun juga sudah ditegaskan bahwa minuman beralkohol merupakan komoditas yang diperdagangkan dan berada dalam pengawasan. Selain itu, rasanya kurang tepat jika sebagai negara hukum, Indonesia masih memberlakukan peraturan perundang-undangan yang cenderung mengabaikan aspek pluralitas keagamaan di Indonesia,” ungkapnya.

Pingkan melanjutkan, kedua, terkait dengan aspek sosial klaim yang disampaikan oleh fraksi pengusul juga tampak mengabaikan situasi empiris. Pada kenyataannya, konsumsi minuman beralkohol di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan negara lain, dan itu pun masih didominasi oleh minuman beralkohol tidak tercatat atau ilegal. 

“Dari data WHO, di Indonesia, konsumsi alkohol tidak tercatat atau ilegal lebih tinggi daripada yang tercatat, masing-masing sebesar 0,5 liter per kapita dan 0,3 liter per kapita. CIPS secara konsisten melakukan penelitian mengenai bahaya dari minuman oplosan dan peminum dibawah usia,” ujar Pingkan.

Pada 2018, data dari pantauan media yang dilakukan CIPS secara nasional menemukan bahwa lebih dari 100 orang meninggal setelah mengonsumsi alkohol yang tidak tercatat atau oplosan. Banyak dari kasus ini terkonsentrasi di Bandung Raya, provinsi Jawa Barat, dimana tercatat terjadi 57 kematian. 

Terakhir, kata Pingkan, menggabungkan poin ketiga dan keempat mengenai aspek yuridis formal dan perkembangan peraturan, fraksi pengusul menyoroti KUHP yang dianggap tidak relevan. 

“Terkait dengan hal ini, kita sepatutnya merefleksikan kembali apakah aturannya yang masih kurang atau penegakkan hukumnya yang belum optimal? Membuat aturan tidak akan menyelesaikan masalah jika tidak didasari oleh fakta-fakta yang terjadi di lapangan,” kata Pingkan.

Demi mencapai tujuan yang dikemukakan dari proses perumusan RUU ini, Pinkan menyarankan, sebaiknya fraksi pengusul dan Baleg DPR RI meninjau kembali aspek urgensi yang digaungkan. 

“Selain itu, dibukanya ruang untuk proses harmonisasi substansi legislasi ini menjadi lebih dinamis dan akuntabel juga sangat penting untuk efektivitas sebuah undang-undang,” ujar Pingkan.