Syair Kampung Pesisir | Puisi: Toni Lesmana
Syair Kampung Pesisir
Kampung-kampung yang didirikan di tepi pesisir ini
Adalah diriku yang tak ingin jauh dari tubuh lautmu
Menetap agar selalu dapat menatap dan mencecapmu
Di laut, aku tahu kau tak hanya menunggu , namun sesekali
Menyerbu seperti harimau terluka. Riak resah biru tua itu
Menyeru rindu sepanjang patahan hati yang sakit oleh sepi
Dan lembut goyangan pinggul lindumu adalah guncang jawaban
Lantas sebuah jurang nganga seperti mulut rakus kemurungan
Mengisap gairah darah ombak hingga ke riak-riak terhalusnya
Tenaga dukacita memuntahkan lagi segala kegelisahan
Sebagai gulungan hitam gelombang pasang pernyataan
Cinta. Gemuruh aum kecemburuannya menerkam apa saja
Seluruh bangunan lantak di pantai, rumah-rumah kuno
Penuh ukiran masa rubuh digusur rangkul persetubuhan
Maut dan hidup. Tinggal tiang-tiangnya tegak sebagai sajak
Kampung-kampung yang selalu didirikan di tepi pesisir ini
Adalah diriku yang selalu tak ingin jauh dari tubuh lautmu
Selalu ingin menulis puisi di alun lembut atau lengkung liar
Gerak punggungmu. Dengan kata-kata seliat urat nelayan
Menahan sayat cuaca pancaroba, seruncing tombak marlin
Dan setangguh tiang-tiang kayu rumah panggung itu
Barangkali pandang matamu tak sampai ke punggung sendiri
Namun aku tahu kau sering melirik langit dan membaca puisiku
Yang tercermin di sana. Dan kau sangat tahu, kata-kataku hidup
Hanya di tubuh lautmu.
Pantai Matu
Menyusuri kesunyian pantai di sini
Seperti menelusuri tubuhmu
Yang terbaring kesepian di sana
Barangkali karena rimbun daun
Yang menyelimuti Bukit Matu
Sehijau gorden jendela rumah kita
Menyentuh pasir di sini, benar-benar
Seperti mengelus kulitmu. Lembut
Dan hangat. Aku tahu ini sihir rindu
Kilau pecah pucuk-pucuk ombak
Adalah keringatmu dalam pelukku
Degup jantungmu gemuruh Laut Matu
Hampir temaram, tubuhku
Sampai di depan Gua Matu, lawang
Sempit dan terowongan basah
Menuju pusat kerajaan rahasia.
Dan memasuki rahim gaib ini, seperti
Sedang memasuki dirimu. Sayangku,
Hampir magrib aku hyang di sini
Raib sendiri disergap dirimu di sana
Karang Nyimbor
Berlari ke selatan, sia-sia menyerahkan diri pada ganas
Hempasan gelombang. Ingatan kepadamu lincah meliuk
Seperti peselancar menunggang ombak. Namamu terentang
Sepanjang lesat buih pikiranku. Bahkan cangkir putih
Kopi pagiku di meja kayu penginapan, demikian gigih
Mengirim utuh sekujur tubuh kesetiaanmu, yang teguh
Menampung hitam dan pahitku. Di ranjang siang-malam
Memeluk genangan usiaku dan merasakan tiap tetesnya
Diseruput mulut waktu. Dedaknya mengendap di dasar
Ceruk hatimu, mengering seperti bubuk mesiu bedil
Birahi hari-hari menjadi ledakan jam-jam kasmaran
Malam hari, kegelapan dan gemuruh pukulan laut
Kusangka akan menumbuk remuk kerinduanku,tetapi
Justru nyala suluh bermunculan dari kepala para nelayan
Yang berduyun memasuki panggung hitam pesisir selatan
Menerbangkan terang mata mungilmu di mana-mana.
Aku menjelma ikan mungil di sela karang, yang diam
Diperangkap sorot cahaya parasmu, kaku ditenung rindu
Menggelepar sesaat dalam kepalan penangkap sebelum
Meluncur lurus dan meringkuk basah di dasar kantung
Yang mirip pelukanmu untuk amuk keterasinganku
Menjelang subuh, tinggal debur di Karang Nyimbor
Di kejauhan, kerlip kapal melaju pelan mirip bulir
Air susu. Bergulir di puting ketulusanmu. Lambaian
Sari kehidupan ke bibir haus bayi cinta. Dan, kangen
Menarikku berlari. Seperti perenang aku melompat
Terjun ke laut yang mulai menggeliatkan ombak lagi
Itulah gelinjang tubuhmu. Gelombang membusungkan
Bukit-bukit payudara, dan semburat pajar menjalar
Adalah denyut urat-urat di balik jernih kulit airmu
Pagi lagi, aku terkapar lagi, kesepian ditampar- tampar
Kesendirian. Lagi cangkir putih kopi terjulur dari pintu
Penginapan. Seperti penari kuda lumping kureguk panas
Hitam diriku, kujilat kulit licin keramik sebelum geram
menggigit dan mengunyah lezat pecahan dirimu. Waktu lalu
Runcing beling di nadi. Tubuhku memekik dan bergulingan
Di pasir, seperti beruk aku memanjat batang pohon kelapa
Memeluk pelepah tertinggi, melambai-lambai di ujung daun
Di sana kutanggalkan segala dan mandi butiran embun
Lantas sembahyang, berdiri dan tersungkur di selembar
Angin. Rakaat-rakaatku tak terbilang hilang kesadaran
Kian gila dirasuki rindu, kesurupan kata pulang
Tanjung Setia
Surga ini layaknya pemakaman, tak kutemukan apa-apa
Begitu sepi. Penginapan-penginapan hanya kemewahan
Yang mahal dan kosong. Kamar-kamarnya, seperti hatiku
Sunyi sendiri sedang laut tak henti mengirim nyanyi talkin
Wabah kenangan telah mengeringkan segala keindahan
Melarutkan akut kemurungan dan bau perkabungan keras
Di pori-pori udara. Setiap tempat dan peristiwa hanyalah
Tebaran lokan dan kerang. Hantu-hantu bergelantungan
Di sisa denyut yang kian surut dan mengkerut. Lalu untuk apa
Pengembaraan ini? Hidup tanpamu hanyalah perih penggalian
Kubur sendiri. Kau, kubayangkan kau di sini, Kubayangkan
Ada di sini. Surga ini akan menggeliat dari napasmu dan cerlang
Tatapanmu akan melepas liuk seribu peselancar ke bukit-bukit
Gelombang, sedang wangi tubuhmu mengharumkan kamar-
kamar penginapan, rumah-rumah nelayan. Tapi di sini, di sini
Tak kutemukan dirimu, tak kutemukan apa-apa, selain tubuhku
Menjelma pohon serai yang tumbuh di ujung tanjung hikayat
Kesetiaan. Kelak bunganya akan dipetik seseorang yang ingin
Menghilang mengejar jiwaku hyang di alam kenang.