Sosok Muharrik yang Alim dan Kharismatik
Beritabaru.co, Sosok – Indonesia berduka, kehilangan salah seorang ulama teladan nan kharismatik yang menjadi rujukan para ulama di Indonesia, rujukan berbagai persoalan masyarakat dan bangsa, K.H Maemoen Zubaer. Seorang ‘alim yang ahli dalam bidang fiqih (faqih) sekaligus sang penggerak perubahan sosial (muharrik).
Kesederhanaan dan kesantunannya menjadikan sosoknya mudah dikenal oleh semua lapisan masyarakat. K.H. Maimoen Zubair menguasai ilmu Ushul Fiqih dan ilmu agama secara mendalam, sehingga menjadi rujukan para ulama Indonesia lainnya.
Mbah Moen, begitu panggilan akrab beliau, lahir di Sarang, Rembang, Jawa Tengah pada hari Kamis Legi bulan Sya’ban tahun 1347 H atau 1348 H yang bertepatan dengan tanggal 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kiai Zubair, yang juga dikenal sebagai seorang ‘alim (memiliki ilmu agama yang luas) dan faqih. Adapun Kiai Zubair sendiri merupakan murid pilihan dari Syaikh Saíd al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makky.
Kiai sepuh ini merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah.
Mbah Moen dikenal sebagai kawan dekat dari (Alm) KH. Sahal Mahfudh (Mantan Rais Aam PBNU), yang sama-sama “santri kelana” pada pesantren-pesantren di tanah Jawa, yang sekaligus mendalami ilmu di tanah Hijaz.
Kedalaman ilmu dari orang tuanya, menjadikan dasar pendidikan agama Mbah Moen sangat kuat. Sebelum menginjak remaja, ia diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain.
Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl.
Mbah Moen muda juga dikenal piawai membaca kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, seperti Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.
Ia juga pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah bimbingan langsung KH. Abdul Karim. Selama di Lirboyo, ia juga mengaji kepada KH. Mahrus Ali dan KH. Marzuki.
Pada usia 21 tahun, Mbah Moen melanjutkan belajar ke Makkah Mukarromah. Dalam perjalanan tersebut, ia didampingi langsung oleh kakeknya sendiri, yakni Kiai Ahmad bin Syuáib. Di Makkah, Mbah Moen mengaji kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya.
Petualangan Mbah Moen dalam mencari ilmu juga banyak dilakukan di tanah air. Ia pernah mengaji ke beberapa ulama di Jawa, antara lain Kiai Baidhowi, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain.
Mbah Moen juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan para santri dalam memperdalam ilmu agama. Di antara kitab-kitab tersebut, yang cukup terkenal adalah “al-Ulama al-Mujaddidun”.
Setelah kembali dari tanah Hijaz dan mengaji dengan beberapa sosok kiai kharismatik di tanah air, Mbah Moen secara penuh mengabdikan diri untuk mengajar di Sarang, di tanah kelahirannya. Pada 1965, ia kemudian mengembangkan Pesantren al-Anwar Sarang. Pesantren inilah sampai saat ini selalu menjadi rujukan para santri untuk belajar kitab kuning dan mempelajari turats secara komprehensif.
Selama hidupnya, Mbah Moen memiliki kiprah sebagai penggerak, memberikan pengaruh sangat signifikan para perubahan sosial di Indonesia. Ia pernah menjadi anggota DPRD Rembang selama 7 tahun. Selain itu, ia juga pernah menjadi anggota MPR RI utusan Jawa Tengah. Kini, karena kedalaman ilmu dan kharismanya, Kiai Maimun Zubair diangkat sebagai Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Politik dalam diri Kiai Maimun bukan tentang kepentingan sesaat, akan tetapi sebagai kontribusi untuk mendialogkan Islam dan kebangsaan.
Mbah Moen telah menegaskan komitmen dan kecintaannya pada tanah air secara tulus dan penuh totalitas. Baginya Indonesia adalah anugerah yang patut disyukuri dan dijaga bersama. Dalam banyak kesempatan, ia juga mengulang bait-bait bersejarah dalam sumpah pemuda. Ia pun tak segan menyanyikan lagu-lagu perjuangan, antara lain satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita, Indonesia pasti jaya untuk selama-lamanya.
Kedalaman ilmu Mbah Moen begitu mengesankan. Ucapan dan anjurannya selalu mengandung hikmah. Salah satu anjuran yang sangat penting adalah agar tidak mudah menuduh orang lain kafir dan anjuran agar dalam mengajar tak perlu memaksakan diri membuat santri pintar, tapi diniatkan dengan tulus menyampaikan ilmu, sedangkan selebihnya diserahkan kepada Allah.
Demikianlah, Mbah Moen, sosok Kharismatik sekaligus muharrik, pakar fiqh sekaligus penggerak.
Wallahu a’lam [Nafisa Naina]