Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pekerja

Timboel Siregar dan Cerita Pilu para Pekerja Kemitraan



Berita Baru, Tokoh – Buruh tidak saja mengacu pada pekerja formal di suatu perusahaan, tetapi juga para pekerja informal dengan beragam variannya. 

Namun, seperti dijelaskan oleh Timboel Siregar dalam gelar wicara Bercerita ke-95 Beritabaru.co, yang menjadi perhatian pemerintah selama ini terbatas pada pekerja formal. 

Seolah pekerja informal, khususnya yang berbasis kemitraan seperti Ojek Online (Ojol), bukanlah buruh yang layak mendapatkan perlindungan dari pemerintah. 

Timboel mengulas beberapa hal terkait ketidakpedulian pemerintah terhadap pekerja kemitraan, meliputi jam kerja, upah, dan jaminan sosial. 

Untuk kasus pertama, menurut Timboel, dalam ritme kerja pekerja kemitraan—terutama Ojol—tidak ada batasan waktu yang tegas. 

Akibatnya, mereka tidak jarang bekerja sampai 12 jam sehari, bahkan 15 jam. 

“Bekerja dengan durasi melebihi 8 jam ini bisa berdampak pada kehidupan sosial dan kondisi psikis pekerja. Ini kabar buruk!” tegasnya. 

“Mereka akan tercerabut dari masyarakat dan lebih utamanya akan tidak memiliki waktu untuk keluarga,” imbuh Timboel pada Selasa (3/5). 

Timboel menilai, adanya buruh yang masih bekerja hingga 15 jam perhari sama dengan mengkhianati perjuangan buruh pada 1 – 4 Mei 1886 di Amerika. 

Sebab kala itu, yang mereka perjuangkan adalah batasan jam kerja menjadi 8 jam. 

“Dulu teman-teman buruh bekerja untuk batasan jam kerja menjadi 8 jam sehari, tapi ini kok masih ada pembiaran pada terjadinya kerja sampai 15 jam. Ini jelas bertentengan dengan peristiwa Mei 1886,” ungkapnya. 

Dari sini, Timboel menghimbau pada pemerintah agar meracik regulasi untuk para pekerja berbasis kemitraan supaya kehidupan mereka layak, tidak tercekik oleh jam kerja yang panjang, dan teralienasi secara sosial. 

Kedua, lanjut Timboel, merujuk pada pentingnya pemerintah untuk melakukan intervensi regulasi.

Dengan ungkapan lain, pemerintah tidak bisa membiarkan pekerja kemitraan lepas begitu saja dalam mekanisme pasar. 

“Kita tidak bisa ya membiarkan teman-teman Ojol itu bergelut dengan mekanisme pasar, seperti semakin lama kerja, upah semakin tinggi. Tidak bisa begitu. Harus ada intervensi!” tegasnya. 

Ketiga berhubungan dengan keikutsertaan mereka pada penyelenggara jaminan sosial, baik kesehatan atau pun ketenagakerjaan. 

Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2021, Timboel menjelaskan, pekerja Ojol wajib mengikuti jaminan sosial dengan dibantu oleh aplikator. 

Ini diwajibkan sebab dengannya, mereka bisa mendapatkan setidaknya Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). 

Jaminan ini, merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2019, akan menanggung biaya perawatan hingga sembuh dan santunan tidak mampu kerja sampai 12 bulan. 

Namun, Timboel menyayangkan bahwa regulasi ini tidak ada dalam praktiknya di lapangan. Para Ojol tidak terdaftar sebagai peserta jaminan sosial.

Di waktu yang sama, aplikator pun seolah tidak merasa penting untuk mendaftarkan mereka, padahal itu adalah kewajiban. 

“Yang perlu dicatat juga adalah pernyataan Menhub. Dalam konteks ini, Menhub bilangnya menghimbau, bukan mewajibkan. Harusnya kan mewajibkan pada segenap aplikator untuk mendaftarkan pekerja mitranya ke layanan jaminan sosial,” keluh Timboel. 

“Saya tidak tahu ya, mungkin Menhub sendiri tidak membaca Permenaker 5 tahun 2021,” imbuhnya. 

Poinnya, Timboel berharap, pemerintah bisa melindungi pekerja kemitraan, walaupun untuk kasus pekerja formal pun masih banyak masalah. 

Dari upah buruh hingga JKP

Dalam diskusi yang dipandu oleh Veni Yuniati host Beritabaru.co, Timboel bercerita pula tentang dilema upah buruh dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). 

Dilema upah yang Timboel maksud berkelindan dengan naiknya harga bahan pokok. 

Pada satu sisi, kata Timboel, memang ada kenaikan upah buruh, tapi pada sisi lain, harga bahan pokok juga naik, seperti yang telah terjadi adalah minyak goreng. 

Akibatnya, pada 2023 ketika urusan upah masih mengacu pada PP Nomor 36 Tahun 2021, maka akan ada apa itu yang Timboel sebut sebagai tergerusnya daya beli buruh. 

“Dan salah satu yang akan diperjuangkan besok pada 14 Mei itu ya isu soal ini. Soal tergerusnya upah buruh oleh naiknya harga bahan-bahan pokok,” katanya.

“Kuncinya, pemerintah harus mampu menstabilkan harga,” imbuh Timboel dalam podcast bertema Buruh: Upah, Perlindungan, dan Jaminan Sosial ini.

Adapun JKP berhubungan dengan turunnya nilai kompensasai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan banyaknya alasan PHK. 

Betapa pun, terang Timboel, dua hal tersebut selalu membayang-bayangi pekerja yang persis di sini, pemerintah mengeluarkan program JKP. 

Pekerja akan mendapatkan tiga (3) manfaat dari JKP, yakni uang tunai, informasi lapangan kerja, dan pelatihan. 

Timboel menjelaskan, pekerja akan menerima uang tunai selama 6 bulan dengan perincian 3 bulan pertama sebanyak 45% dari total maksimal 5 juta dan 3 bulan sisanya 25% dari total yang sama. 

Meski demikian, menurut Timboel yang menarik dari JKP adalah adanya pelatihan. 

Ini mendesak sebab 52% pekerja di Indonesia adalah lulusan SD/SMP dan secara bersamaan perusahaan menginginkan para pekerja yang masuk ke mereka sudah langsung bisa bekerja. 

“Tentang kemampuan yang perusahan membutuhkannya ini adalah tanggung jawab pemerintah. Jadi, JKP ini patut kita apresiasi,” ungkapnya. 

“Ya walaupun tentang siapa saja yang dikategorikan sebagai ter-PHK ini masih menjadi problem. Yang jelas, pekerja PKWT yang jatuh tempo atau mengundurkan diri adalah bagian dari PHK, sehingga mereka berhak atas JKP,” Timboel menambahkan.