Skizofrenia | Puisi-puisi Rifdal A
Skizofrenia
Ia pergi ke pojok ruang
sesekali berteriak, sesekali menjambak
matanya menangkap bunyi maut.
“Ada stegosaurus mendekati pintu,
menjilati dinding dan pahamu!”
Ia melihat ribuan pasukan rindu
dengan pedang yang di asah kesedihan
mengelilinginya.
Seperti blokade polisi sebelum demo tuntas
dan asap pekat berpelukan pada diri.
Ia ingin menangis dan terlelap
tetapi ruangan ini sempit.
Di satu dinding, potret Che Guevara
tersenyum. tapi seakan mengintai.
“Keparat!”
Ribuan jarum jam gugur, menusuk kepala
tiba-tiba lantai terbelah,
seorang gadis berkemeja senja
muncul dan duduk di depannya.
“anda kabar buruk yang tak memiliki usia”
kemudian lenyap.
Ia diam sejenak. Bibirnya menggigil.
dingin seperti hiu kecil menggemaskan
tetapi ia sadar, samar, kembali memeriksa
“stegosaurus itu telah mati memakan
kenangannya sendiri, Tuan.
sekarang tidur nyenyak lah”
Satu persatu pasukan itu tumbuh
jadi kelopak bunga.
“Mungkin aku perlu istirahat.”
gumam ia pelan.
Yogyakarta, 2022
Melankolia
“aku butuh Bir,
hanya Bir,
tanpa gelas.”
Seseorang berkata pada pengap udara.
Kami hanya menangkap maksud,
pertanyaan berdengung seperti sekelompok lebah
“Bagaimana cara minum Bir tanpa gelas?”
Seseorang itu tetap di pintu Bar
kami menemukan rimba sepi di matanya
rimba dengan sepasang pokok kenangan
dan julur-julur tali pengikat dendam
“Apakah ia tergila-gila sesuatu?”
Sedang di layar tipi, Biden melambai dari
tangga pesawat.
Beberapa ekor cahaya setelah memisahkan diri
pada pernak-pernik lampu diskotik
menghampirinya
“Anda tuan kami, orang paling suci.”
“Kasir, siapkan agama
dengan irisan keju Persia.”
Mereka latah, keinginan hanya sebatas
cuaca yang melukai telinga
dan mata kami, mata kepulangan
telah bergantian menukar rahasia
“Sejak hari keberapa
kesedihan menikam ia.”
Yogyakarta, 2022
Rahasia Suara
Perlu kau ingat betul
selembar bulu burung hantu
bertualang di kedap langit
Ia lebih dulu menyimpan
puluhan jarak semesta
selain kebodohan kita
pada rerintik cahaya
Yogyakarta, 2022
Menyusun Siasat
1
Setelah kesekian kali menunggu
bahasa jatuh dari muka pintu kasir
“Meja enam belas,
meja enam belas.”
Kau memelihara degup sekilas
dengan santai menyanyi Don’t Watch me Cry
pada gelap langit-langit. pada perdu kecil mimpi.
Adakah bercak rindu di bibirmu?
2
Aku hanya diam dan pura-pura sibuk
merangkai satu nasib ke nasib lain
memaksa kata-kata berhambur dari gawai
Apakah hari akan lebih buruk?
Sedang jemarimu mengutuk
apa-apa yang tetap tinggal. Pada garis nadi
3
Di luar
cuaca menggantung
dan bibir langit murung
Jalanan lenggang
kota seakan lambat
tetapi sudut mata kita saling menangkap
4
Aku memanggilmu
dengan tekanan pelan dari udara
atau rerintik tetas sepanjang kulit
Apakah ketakjuban dunia
dari pernak-pernik cahaya kota
tersedia disini, lahir dari tangan mungilmu?
5
Kau seperti rimpang kuda
menaksir jarak sebagai keberuntungan,
datang seperti sekawan rusa yang kehilangan
tanduk angkuhnya
Dengan simpul senyum
serta seragam yang mampu mengalahkan
pakaian paling buruk pejabat kita
Di sini anda dapat bertamasya ke kota paling jauh dunia
katamu, memelan.
6
Berkat menunggu
aku membayangkan rahasia-rahasia
dari pelupuk matamu sebagai tanda
Perjumpaan ini akan cepat berakhir
setelah waktu dan tubuhmu sepakat
untuk leyap dan menua.
7
Hari mulai beringsut
dan kau datang dengan aroma khas
pinggiran Yugoslavia, mesiu dan bedil,
vodka juga maut.
Mataku terbakar
sebab kesedihan adalah kisah panjang
dan jeritan adalah musik paling sakral
maka tak kuasa tubuhku melumatnya.
8
Sedepa dari tubuh mereka
jarak adalah ribuan tahun cahaya
yang kerap membohongi cinta dan rindu
seperti warna gelap tubuhku.
Cabean, 2022
Suara-suara Kesedihan Whistler’s Mother
(Variasi Lima Bagian dari Lukisan James McNeill Whistler)
Bagian Pertama
Sebetulnya musim apa yang ia terjemahkan dari kedap dinding,
kursi kecil dengan kaki-kaki disantap rayap, sobekan tisu bekas,
serta lantai setengah basah selain cekung mata yang mengurung
tubuhmu jadi bisu?
udara membangun konstruksi ingatan dari celah-celah ventilasi
terbakar engkau dengan pose paling sunyi, lalu nasib warna abu-abu
menggait bibirmu yang pecah serupa rasa sedih orang-orang rumah
apa yang menarik dari suara maut?
Bagian Kedua
Dari dasar kolam matamu, aku dan ayah berenang mengumpulkan
beberapa daun lepas seperti tarikan nafas. Rahasia apa yang engkau
sembunyikan, Ibu? Mengapa peta pulang dan pergi tak melulu kami
miliki seutuh ketabahan peri
Hitam dan putih membetulkan garis-garis hidup dan dari luar, kota nampak
tumbuh dari gemeretak dadamu. Susu-susu yang sedianya menggumpal dari
ramalan-ramalan cuaca buruk dari harapan-harapan kecil dan busuk angslup
apakah hari-hari menjelma aku, Ibu?
Bagian Ketiga
Maka aku terjemahkan bingkai putih sebuah dermaga yang kerap mencuri
setiap pusat matamu. Air mata sepertinya menggenang lalu menggubah tiap
hari berisik dari poles cat minyak. Sebelum aku jumpai ingatan, aku percaya
rasa sakit mematuk tulang-tulang tubuhmu
Cerita-cerita kecil tentang masa depan menuduh kita, angin terus mengembara,
doa-doa belajar hinggap di bibirmu seperti burung-burung manyar mengintai
tepi langit untuk menghibur rasa sakit. Kita suka berandai ada gerak lagu
menyuling peristiwa dan bersembunyi dari tiada
Bagian Empat
Beberapa rimbun pohon menjelma telingamu, bersiap menghardik isyarat
dari derit kursi bahwa umur melintang adalah nyeri dan punggungmu yang
anggun menolak tanah untuk pergi ke puncak kudus. Puncak dimana akar
nasib seolah menepuk-nepuk dada
Hari sederhana apa yang engkau remas dari luar kota sebasah dosa-dosa kita
dan hujan diam-diam menawarkan gemericik paling santun untuk memuja
setiap batas antara bunga-bunga dan bunyi lonceng gereja tua. Inikah suara
terakhir yang kau simpan sebelum maut tiba
Bagian Lima
Aku dan ayah bersedekap untuk memandangmu dan mengawini masa lalu
setelah angka-angka berhambur dari daun pintu. Kami memesan hari paling
bahagia sebelum kedip kunang-kunang membungkus gelap rumah kita
apakah engkau mulai sangsi?
Kami tak berteduh dari basah kuyup mata, kami mencintai hujan suci
yang dilepas malaikat, kami saling menyalakan bara tungku, sebelum
tanah-tanah bersedia merawat jantungmu. Apakah hari ini tiba dengan
tergesa, Ibu, rindu membakar tubuhku.
Yogyakarta, 2022
Rencana Filosifis
Ingat betul-betul
sebelum kiamat kedua tiba di segi meja
kita akan menjadi sepasang pengantin
berapapun genap usia.
Yogyakarta, 2022
Hal Aneh
Mata kucing menyusupi matamu
untuk sekadar melukai sejarah malam pertama
yang kerap kita gubah sebagai tanda-tanda.
Yogyakarta, 2022
Rifdal A. Sehari-hari mengarang dan bekerja di platform yang berfokus pada situasi politik. Sekarang tinggal di Yogyakarta.