Siapa Suruh Bermalam di Laut? | Cerpen: Moh. Rofqil Bazikh
Tetapi, saya tetap tidak menyangka kalau malam itu adalah malam terakhir ayah di rumah. Malam-malam sebelumnya, terlebih dahulu ayah akan salat dua rakaat. Ia juga tidak pernah lupa berdoa sehabis salam sekitar tujuh sampai sepuluh menit. Kalau sudah ritual itu dilakukannya, baru ia akan bergegas ke luar rumah. Saya jarang mengantar ayah ke bibir laut, ibu yang selalu mengantarnya. Meski sudah bangun, saya cuma melihat ayah dari bibir pintu. Dingin subuh seperti membelai rambutku yang halus dan berantakan. Ibu mengenakan jaket tebal berwarna hitam milik ayah. Sementara ayah hanya biasa-biasa saja, ia seperti sudah kebal pada cuaca dingin yang berlebihan. Kakinya yang hanya beralas sandal jepit yang talinya sering copot juga seperti sudah kuat menginjak karang.
Setiba di laut ayah turun dari tanjung dan gegas sendirian ke sampan. Sudah dua tahun terakhir ayah tidak melaut bersama teman-temannya. Ia memilih melaut sendirian. Bukan tanpa sebab, semua bermula saat Pik Iyem, istri Tahir, menuduh ayah yang bukan-bukan. Pik Iyem mengatakan sendiri kepada ibu bahwa suaminya dibodohi ayah. Katanya, ayah banyak mengambil keuntungan dari penjualan pada gudang. Sebetulnya bukan bagitu, namun ayah membagi uang hasil penjualan menjadi tiga bagian. Untuk ayah, Tahir, dan tentu untuk biaya kalau ada kerusakan di sampan. Tahir memahami hal itu dan memang lumrah di kalangan pelaut. Namun, istrinya yang tidak terima dan meminta hasil penjualan dibagi dua saja.
Di sampan ayah terlebih dahulu akan menarik tambang dan mengangkat manggar. Perjalanan dari pasir ke sampai sedikit jauh dan tubuh ayah seringkai harus basah separuh. Di waktu begitu, ibu pasti mengangkat tangan seperti menadah hujan dari langit. Kata ibu, itu adalah ritual yang dahulu diajari oleh nenek moyang. Semua itu ibu lakukan semata-mata hanya demi keselamatan ayah. Setelah beberapa bagian tambang dan manggar sudah berlabuh di perut sampan, baru ayah pelan-pelan menyalakan mesin. Ayah sebetulnya tidak sendirian, di kanan kiri banyak pelaut lain yang juga melakukan hal yang sama. Persis saat orang-orang mengantar saudaranya pergi ke tanah suci. Di kampung saya, yang paling bising tentu saat pelaut mulai menyalakan mesin dan ketika mereka pulang dengan selamat.
Ayah biasa pulang sehabis asar, ibu juga sudah sebelum itu akan duduk di bibir pasir tepat di bawah pohon sengon. Ember berwarna hitam di tangan ibu sebagai wadah ikan yang dibawa pulang ayah. Ibu tidak pernah terlihat mengeluh manakala ayah hanya membawa pulang sedikit ikan dan kecil-kecil pula. Seringkali mata ibu menatap ke kanan, ia melihat Pik Iyem yang juga menunggu suaminya. Setelah kejadian tempo itu Tahir memutuskan tidak ikut sampan ayah. Ia lebih menuruti kata istrinya. Mata Pik Iyem melihat ibu tajam dan sedetik kemudian melengos. Ibu mengusap dadanya dan kembali tersenyum sendirian atau tersenyum ke arahku.
Ibu juga akan kembali tersenyum apabila sampan ayah dengan cat warna merah itu muncul dari barat laut bersama sampan lainnya. Deru-deru mesin memang seperti bekerjaran untuk sampai di bibir pantai dan menurunkan ikan. Hanya saja, dari sekian banyak pelaut cuma ayah yang sendirian dan tidak memilki teman memacu sampannya. Dengan telaten pula, ayah menurukan ikan-ikan yang bermacam dari sampan. Ibu memilah dan memilih mana yang hendak dijual dan mana yang akan dimakan sendiri. Itu adalah pemandangan biasa yang saya lihat hampir setiap hari. Tetapi, saya tetap tidak menyangka bahwa malam itu adalah kali terakhir ayah di rumah.
***
“Ini uang kupinjam pada Mattasan,” ibu berucap sambil menjulurkan lima lembar uang warna merah.
“Berarti, aku harus lembur dan menginap di tengah laut.”
“Jangan berlebihan, Mattasan tidak akan menagih secepat mungkin.”
“Tapi aku merasa sungkan, apalagi dia saudaramu dan tentu juga iparku.”
“Itu semua urusanku, bekerja sebagaimana biasa saja.”
Uang limaratus ribu untuk modal ayah kembali melaut. Ayah tidak punya modal sebanyak itu, ibu memberanikan diri meminjamkannya. Karena ikan hasil tangkapan sering tidak banyak, maka hasil penjualan hanya cukup untuk dimakan. Sementara untuk modal besoknya harus pinjam dan mengganti dari hasil penjualan lagi. Begitu terus menerus. Kali itu ibu meminjam lebih banyak dari biasanya. Sebelum-sebelumnya duaratus ribu sudah cukup untuk modal dan perlatan melaut. Tentu, dengan uang segitu ayah merasa lebih dari cukup dan harus bekerja lebih keras lagi agar tidak impas. Ibu juga tetap kokoh agar ayah tidak memaksakan diri dan tetap pulang sehabis asar. Ibu tidak mau ayah seperti Tahir yang sudah mulai bermalam-malam di tengah laut.
“Tahir sudah mampu membeli motor hasil dari dia menginap di tengah laut.”
“Saya tidak butuh motor, cukup bekerja sebagaimana biasanya” ibu tetap ngotot.
Memang tidak sedikit tetangga yang memilih bermalam di laut. Mulai dari tiga hari empat malam sampai lima hari enam malam dan semacamnya. Tentu, apa yang meraka dapatkan benar-benar besar sebagaimana resikonya. Tetapi, ibu sama sekali tidak tergiur akan hal itu. Katanya, ia lebih senang bekerja sewajarnya dan malam hari berkumpul di rumah. Memang, kalau sudah berkumpul rumah saya yang kecil itu akan terasa besar. Ayah selalu bercerita bagaimana ombak di laut yang kadang pelan dan kadang kencang.
Itulah kali terakhir saya melihat ayah; saat ibu menjulurkan uang. Ia kemudian membeli solar untuk bahan bekar mesin. Ibu yang tanpa dipandu akan menentengnya sampai di laut. Saya juga ikut di belakang sambil menangis. Entah kenapa waktu itu Saya menangis tersedu-sedu tanpa sebab. Udara subuh yang lembut benar-benar merasuki ubun-ubun. Tetapi tangis saya tidak pernah terhenti hanya karena cuaca dingin.
“Ayahmu hendak melaut, jangan menangis.”
Saya memberi kode pada ayah agar ia mau menggendong. Tangannya yang kasar segera mengangkat tubuh saya yang beratnya tidak seberapa. Mungkin berat tubuh saya waktu itu hanya setara dengan anak hiu yang paling kecil. Di gendongan ayah saya mulai berhenti menangis. Di saat yang sama pula ayah menurukan saya ke pasir dan ia bergegas menuju perahu. Saya melihat lagi, tubuh ayah menerobos air laut dan basah separuh. Anehnya, ibu tidak mengangkat tangan sebagaimana biasa, saya tidak menegur, saya tidak tahu apa-apa, mungkin juga ibu lupa.
***
Jangankan modal yang dipinjam pada saudara ibu yang bisa kembali. Setelah satu minggu, ayah beserta sampannya tidak nongol sama sekali. Ibu sudah tiga hari tidak mau makan dan menangis sendiran di dalam kamar. Saya tidak tahu hendak berbuat apa-apa. Beruntung, Mattasan yang duitnya dipinjam ibu itu sering berkunjung ke rumah semenjak kabar tidak pulangnya ayah terdengar ke seluru penjuru kampung. Di hari pertama kabar terdengar, tetangga berduyun-duyun dan dan menenangkan ibu. Saya melihat mata ibu membengkak dan beberapa tetangga juga ikut meneteskan air mata. Di hari kelima kemarin ibu sudah seharian di bibir pantai namaun ayah tidak penah muncul dari arah barat daya.
Tangis ibu semakin lantang, ia mendengar beberapa jam lalu bahwa di pulau seberang terdapat tiang yang terdampar beserta puing sampan. Mattasan mencoba mencari tahu, karena ia paham betul ciri-ciri sampan ayah. Sesudah mendapat kepastian Mattasan menjelaskan pada ibu bahwa yang terdampar itu bukan tiang dan puing-puing sampan ayah. Namun, saya yakin ia hanya membohongi ibu. Tidak ada lagi kecelakaan laut di kampung ini selain kehilangan ayah yang misterius.
“Berkali-kali aku sudah bilang agar di tidak bermalam di laut” suara ibu benar-benar berserak.
“Yang namanya ujian memang tidak ada yang tahu, dik.”
Susudahnya, ibu terjatuh ke tanah ia pingsan untuk yang kesekian kalinya. Kali ini saya melihat wajahnya berdarah. Ujung pelipisnya membentur ubin rumah yang kasar dan terbuat dari semen. Saya ingin menangis, tetapi air mata saya tidak mau dikeluarkan. Saya tersentuh melihat ibu yang sudah tidak punya tenaga sama sekali dan wajahnya yang sudah berurai air mata. Hanya Mattasan dan istrinya yang berusaha menenangkan ibu. Saya juga turut duduk di samping ibu yang terbaring di lincak kayu.
“Kamu tidak usah memikirkan uang limaratus ribu itu” istri Mattasan menjawab pernyataan ibu yang mengaku tidak enak pada saudaranya. Saya melihat ibu seperti orang yang sudah ambruk kejiwaannya. Ia sudah berkali-kali meminta maaf pada Mattasan dan istrinya setelah siuman setengah jam lalu. Ia juga menyebut-nyebut nama ayah dengan tangisannya yang tidak dapat dicegah. Tangannya mencari tubuhku dan mengguncang kuat-kuat, saya menangis. Akhirnya, air mata saya juga tidak menolak dikeluarkan dari cekungan mata.
Malamnya, Mattasan mengajak tujuh orang tetangga untuk membaca yasin di rumah. Saya termasuk orang kedelapan meski bacaan yasin saya tidak lancar sama sekali. Itu bukan masalah, yang terpenting—kata Mattasan—berdoa agar ayah saya ditempatkan di tempat yang layak kalau memang benar ayah sudah diterjang gelombang. Ibu semakin parah, ia sudah tidak mengingat nama orang dan hanya menyebut namanya sendiri. Bahkan, ia malah ketawa seperti orang yang duduk di depan panggung komedi.
Pembacaan yasin dimulai dan Wak Nasir sebagai tetua memimpin setelah mendapat amanah dari Mattasan. Saat bacaan hampir selesai, dengan tidak diduga ayah justru muncul dari halaman rumah. Mata kami, mata saya utamanya, mengarah ke tubuh ayah yang hanya menggunakan kaos oblong dan cawat sebagai penutup kemaluannya. Saya berlari ke dalam rumah dan menarik tangan ibu untuk keluar. Setibanya di hadapan ayah, yang sudah berbincang dengan Mattasan dan Wak Nasir, ibu sama sekali tidak mengenalinya. Ayah mengguncang tubuh ibu dan menggelitiknya seolah-olah ibu bercanda. Saya tersenyum sambil berbisik dalam hati; siapa suruh bermalam di laut?
Bantul, 2021
Moh. Rofqil Bazikh tercatat sebagai mahasiswa Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga sekaligus bergiat di Garawiksa Institute Yogyakarta. Anggitannya telah tersebar di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jateng, Solo Pos Minggu Pagi, Harian Merapi, Harian Rakyat Sultra, Bali Pos, Analisa, Duta Masyarakat, Pos Bali, Suara Merdeka, Banjarmasin Post, dll. Bisa ditemui di surelmohrofqilbazikh@gmail.com atau twitter @rofqil_bazikh.