Setelah Lima Puluh Lima Juta Tahun
Di rumah panggung milik Kepala Suku Komodo, sembari Hapsa beristirahat setelah seharian melakukan riset, dia mendengarkan dengan khidmat cerita tentang legenda binatang Komodo yang dikisahkan oleh anak Kepala Suku Komodo yang kebetulan juga seorang mahasiswa program studi ilmu sejarah di Universitas Udayana. Di rumah panggung itu, selain mereka berdua, Hapsa juga melihat seorang perempuan muda duduk di pojok ruangan. Sesekali Hapsa mencuri pandang ke arahnya, kadang pandangan mereka tak sengaja bertautan, bahkan Hapsa sempat melihatnya tersenyum.
***
Aku sudah hidup di zaman eosen, sebelum bumi mengalami ledakan besar yang menimbulkan hamparan es hingga memusnahkan sebagian besar yang hidup. Suhu dingin tiba-tiba hadir sampai tembus batas limit kekuatan segala makhluk. Tapi kudapati diriku saat itu masih hidup. Ah, menjadi makhluk tidak mudah mati ternyata sangat mengerikan. Kusadari itu saat aku bisa menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri ledakan besar yang meluluhlantakkan bumi, sementara fisik dan jiwaku tak sedikit pun terkoyak.
Dulu, sebelum ledakan itu terjadi, aku tinggal di daratan Penthoha, di mana salah satu leluhurku pernah bercerita kepadaku bahwa tempat itu berada di sisi barat bumi, persis di atas garis khatulistiwa. Sayang, satu-satunya leluhur yang baik hati kepadaku itu mati mendahuluiku. Kini aku harus menamai apa peristiwa ledakan itu? Jika kunamai kemuliaanku, tapi nyatanya banyak mayat berserakan. Jika kunamai tragedi, tapi nyatanya aku menjadi bagian yang lolos dari maut itu. Aku terus berpikir, mungkinkah karena ada tugas yang harus kuemban?
Sekadar mengingat peristiwa di Penthoha sebelum ledakan besar itu. Di antara Dinosaurus, binatang yang menguasai alam Penthoha waktu itu, hanya akulah yang berfisik kecil. Karenanya aku sering dikucilkan, bahkan tak jarang mereka menjadikanku mainan. Mereka malu punya saudara sepertiku. Mereka ingin mengusirku dari tanah Penthoha. Menurut mereka aku tidak layak hidup di sana. Karenanya, beberapa kali muncul keinginanku untuk mengakhiri hidup. Pikirku, untuk apa hidup jika jiwa dan ragaku tak punya sedikit pun kehormatan. Sampailah waktu di mana ledakan besar itu terjadi, mereka semua mati, dan hanya aku yang masih mampu berdiri tegak menginjak bumi.
Paska ledakan besar itu, aku melihat bumi berantakan, benua-benua pecah dan ketika bukit-bukit es telah mencair, daratan bisa muncul dan tenggelam dengan mudahnya. Sampai beberapa waktu kemudian, saat keadaan air mulai tenang, bumi menciptakan daratan-daratan baru. Aku memandang cakrawala dengan mata telanjang. Pada saat itu serasa akulah pemilik semesta, tapi aku bingung apa yang hendak kulakukan. Justru kenyataannya hal itu adalah kesepian purba yang sering membawaku ke alam khayali paling absurd hingga suatu saat sampai ke alam mimpi. Di suatu malam, tiba-tiba udara memanas, aku bermimpi dengan kondisi tubuh penuh keringat. Dalam mimpi itu aku menjadi rajanya binatang di sebuah pulau yang mempunyai dua dunia: gaib dan kenyataan. Dalam mimpi itu aku mendengar suara yang menyuruhku pergi ke arah timur laut, dan tidak boleh berhenti sebelum bertemu sebuah sabana, tempat di mana perempuan-perempuan gaib tinggal.
Aku bangun lalu merenung. Haruskah aku berpetualang? Pertanyaan itu terus menggaung di benakku tanpa henti, hingga kuputuskan untuk melakukan perjalanan, menuruti kemauan suara dalam mimpiku. Perjalanan panjang mulai kujalani. Matahari dan bulan tanpa bisa kuterka sudah berapa kali berganti. Pada mulanya aku tidak tahu ada pengukur waktu selain siang dan malam. Tapi yang pasti kuingat, ketika aku menemukan sabana, aku menyadari ada beberapa perubahan pada diriku. Tubuhku yang semula ringkih dan berwarna merah menjadi lebih kuat dan berwarna abu-abu. Kulitku yang awalnya halus, tipis dan lembek menjadi kasar, tebal, dan kaku. Kakiku menjadi bercakar panjang dan besar, dengan ekor yang berotot. Penglihatan dan penciumanku menajam. Lidahku pun bisa memanjang.
Di sabana itu aku berjumpa dengan pasangan gaib. Aku baru menyadari, sebelum bisa menemukan pasanganku itu, aku telah berkelana sekitar 55 juta tahun. Dari dia lahir anak berjenis kelamin perempuan yang ketika dewasa menikah dengan pemuda sabana. Dari perkawinan mereka lahir anak kembar, yang pertama berjenis kelamin jantan berwujud komodo, yang akhirnya berkembangbiak di sabana ini, sedangkan kedua berwujud manusia, seorang perempuan yang begitu menawan. Tetapi menurut anak perempuanku itu, dia baru bisa menemukan pasangannya setelah 55 juta tahun kemudian. Selama itukah? Aku tidak bisa menjawabnya, tapi aku bisa memberi gambaran tentang apa yang menjadi kebiasaan perempuan, mungkin apa yang dia dikatakan sekadar angka. Lalu apa bedanya dengan apa yang pernah kukatakan? Bedanya, waktu yang ada padaku sudah kujalani, sedangkan waktu yang pada anak perempuanku belum.
***
Begitu anak Kepala Suku Komodo selesai bercerita, Hapsa memikirkan sesuatu, lalu menanyakannya. “Apakah selama ini masih ada kisah gaib terkait cerita itu?”
“Ah, tentu saja tidak,” jawab anak Kepala Suku Komodo. Jawaban itu bersamaan Hapsa melihat perempuan yang berada di pojok rumah panggung itu berlalu dari tempatnya. Karena penasaran, Hapsa menanyakan siapakah perempuan itu. Ketika anak Kepala Suku Komodo mendengar pertanyaan itu seketika tersenyum, mungkin dia mengira Hapsa sedang bercanda, karena dia meyakini selain mereka berdua, tidak ada orang lain lagi.
Yuditeha adalah Pegiat Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Telah menerbitkan 16 buku. Buku terbarunya Sejarah Nyeri (Kumcer, Marjin Kiri, 2020).