Setara: Pidato Kenegaraan Jokowi Minim Pengakuan atas HAM dan Demokrasi
Berita Baru, Jakarta – Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) telah digelar pada Jumat, 16 Agustus 2024, yang diwarnai oleh pidato pertanggungjawaban dari Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Ketua DPR RI Puan Maharani, dan Presiden RI Joko Widodo.
Setara Institute menilai pidato kenegaraan yang disampaikan Jokowi yang yang merupakan pidato terakhirnya setelah 10 tahun memimpin kurang memberikan keyakinan publik tentang dampak signifikan dari kepemimpinannya.
“Selain hanya fokus pada aspek pembangunan ekonomi, yang juga hambar dan tidak meyakinkan karena kondisi faktual daya beli masyarakat semakin menurun dan ancaman PHK di berbagai bidang, capaian kinerja ekonomi Jokowi juga tidak diimbangi dengan pengakuan hak-hak warga yang menjadi korban pembangunan. Sementara, Jokowi sama sekali tidak menyampaikan capaian di bidang pembangunan hukum, HAM dan demokrasi secara holistik, hanya menyebut keberhasilan membentuk KUHP,” tegas Setara Institute dalam siaran persnya, Jumat (16/7/2024).
Selain itu, Setara menegaskan pidato Jokowi tidak menyentuh pencapaian di bidang hukum, HAM, dan demokrasi secara menyeluruh. Presiden hanya menyinggung keberhasilan pembentukan KUHP, namun tidak mengulas revolusi mental yang menjadi agenda besar di awal masa jabatannya. Padahal, menurut SETARA Institute, Indeks HAM nasional dari 2019 hingga 2023 menunjukkan stagnasi dengan skor tertinggi hanya mencapai 3,3 pada 2022.
“Negara belum menunjukkan komitmen kuat dalam pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM,” tegas SETARA Institute.
Menyikapi wacana MPR RI yang ingin menghidupkan kembali Haluan Negara, SETARA Institute menilai bahwa gagasan ini masih gagal meyakinkan publik akan urgensi dan dasar konstitusionalnya. MPR perlu menjelaskan bagaimana Haluan Negara ini akan terintegrasi dalam sistem hukum dan perencanaan pembangunan yang sudah ada, serta bagaimana pertanggungjawabannya akan dilakukan. Obsesi untuk membentuk Haluan Negara ini, menurut SETARA, berpotensi mengurangi kekuasaan eksekutif dan mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tinggi negara.
Pidato Ketua DPR RI, Puan Maharani, yang menekankan pentingnya pembangunan nasional dan daerah yang inklusif, diapresiasi oleh SETARA Institute. Puan mengakui bahwa inklusivitas dan toleransi masih menjadi tantangan besar. Data Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) mencatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran pada 2023, menunjukkan bahwa negara belum mampu menciptakan ekosistem toleransi yang memadai.
Puan Maharani juga menyoroti pentingnya ‘demokrasi deliberatif,’ yang memerlukan ruang komunikasi substantif antara pembuat kebijakan dan rakyat. Menurutnya, penting untuk membuka partisipasi bermakna dalam pengambilan kebijakan, sehingga proses deliberasi yang terjadi dapat menghasilkan konsensus yang berorientasi pada mufakat.
SETARA Institute menekankan bahwa pemerintahan selanjutnya harus memperhatikan aspek demokrasi konstitusional dalam pembangunan bangsa, dengan prioritas pada tata kelola pemerintahan yang inklusif, penciptaan ekosistem toleransi, perlindungan HAM, perluasan partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan, serta penegakan hukum yang demokratis.