Sajak-sajak Saifa Abidillah: Kuil Kecil
Kuil Kecil
/I/
Aku mengapung di air tenang
pada danau musim panas.
Tak ada hari dilalui
dengan tergesa,
semua hari adalah biji mata
yang menggoda.
Kau hidup di jantungku:
jantung kecil setenang
kening alam semesta.
—Bangun pagi,
membunyikan kentongan
dan berdoa pada Buddha.
—Mengelus kucing,
memberi makan ikan
dan ayam jantan
merah kesumba.
—Mendayung perahu
ke sisi pintu
bergambar dewa rawa,
tak jauh dari pohon
keheningan.
—Mencari ramuan tumbuhan
di hutan perjumpaan.
—Mengintip hal janggal
pada tingkah bikkhu kecil
di tepi sungai dangkal
yang penuh batu terjal.
(bikkhu kecil yang melerai
kesendirianmu yang menjuntai).
Kau menggeleng ketika
dengan sengaja
seekor ikan, katak dan ular
mati dijerat tali
dan batu kali.
Kau menggeleng ketika
segalanya menjadi mungkin
pada tangan bikkhu kecil
yang nakal.
/II/
Hanya pada tubuhku,
kau menyimpan Kitab Suci
pada laci—tak jauh
dari tubuh patung Buddha
yang purba.
Hanya pada tubuhku,
kau meyakini bahwa nakal
berasal dari kata akal
yang terjungkal.
Bahwa karma—senggama
menyalahi darma
yang derma.
Uh pada batu,
ih pada perahu
auh pada rayu mata
yang manja.
/III/
Setelah kembali dari murka
kau hukum bikkhu kecil itu
dengan amuk doa
pada Buddha.
Kau tulis ratusan kata
pada beranda wajahku
mungkin kutuk,
mungkin juga depak
yang tak bijak.
Bikkhu kecil itu mencungkil
dengan pisau getir
dan rasa bersalah yang lebih.
Bahwa yang semestinya
harus terjadi.
Bahwa karma—senggama
menyalahi darma
yang derma.
Bahwa cinta berahi
menyalahi imaji suci
dan tapa
seratus purnama
yang percuma.
Kutub, 2018
Samanera Muda
Di dekat lonceng logam yang tergantung itu,
di kuil suci para pertapa
kupahat setiap tetes gerimis di halaman candi
Telaga tumbuh bagai suara yang tumbuh
kepalaku mencair, batu-batu di bibirku
menjelma sungai-sungai yang mendekati samudera
mendekati cakrawala tanpa peta
Setiap tatapan matanya yang teduh
kutemukan letup suara Tuhanku
merayap pelan menyentuh hitam rambutku
yang tiba-tiba biru dan berdebu
Tak ada bara api, tak ada kawah yang tengadah
mencabiki langit sendiri,
mencabiki mata sepi yang renta
Semoga dan semoga kita bahagia
musuh-musuh kita
alam hantu yang purba dan jingga di mata kita
Buah tak akan jatuh
jika kita tak menanam pohonnya
Petik dan makanlah
Begitulah Buddha mengajari
Kita boleh tak meyakini atau meyakini
Samanera berkata, sebagaimana Tuhan bersabda
Tidak dalam kenangan masa lalu
atau bayangan masa depan yang melenyapkan
hembusan nafas keheningan
dipejam mata, di dalam samadi,
pada jiwa yang sendiri menempa udara
dan suara-suara di luar jendela
Kutub, 2014-2015
Kapilawastu
Sakyamuni telah lahir
sedang matahari terus menyala dan meninggi
Duh Kapilawastu,
Kapilawastu yang damai
Orang-orang tuli dan bisu,
telah berujar
tak henti menerka hari esok dan lusa
Orang-orang buta dan lumpuh,
melonjak, hendak menemuimu.
Ingin segera terlepas,
terbebas dari kegelapan matanya yang buta.
Di penjara,
rantai-rantai tawanan rapuh
taring seringala –teduh
api-neraka musnah,
semua karena kau
Tak ada lagi yang bangkit
sebagai hantu
Dunia adalah gemuruh tanpa suara
Nyala-api yang ramah
bara-cinta yang utuh dan bijaksana
Duh Kapilawastu,
Kapilawastu yang indah
kami mencintaimu
tanpa tanda dan bahasa
Kutub, 2014
O, Shang Ti
Jika pun aku mati hari ini
kau tak akan melihat darahku
kata-katamu membuatku
kehilangan makna dan tujuan hidup
hari-hariku yang pucat
seperti hanya hari yang terus pekat
bangku-bangku di taman itu telah kaku,
tangga-tangga di fakultas itu telah bisu
aku telah benar-benar kehilanganmu
oh kesedihan yang bagaimanakah ini?
seluruh duka cinta manusia
seperti menyatu dalam diriku
warna-warna langit dan bumi
telah pudar
telaga telah menjelma sungai
sungai telah menjelma samudera
disitulah aku bercerai denganmu
kita terpisah di belahan dunia yang lain
kau tak mau mengingatku,
sedang aku terus memelukmu di sini
O Shang Ti. Shang Ti yang bijaksana
katakanlah, hidup ini sebenarnya
bukan terpantul dari dua warna yang berbeda
kelabu atau biru tua
aku mencintai ia yang tak mencintaiku
seluruh kesedihanku
terpancar dari ketulusan dan keluguanku
pada hidup dan nasib
lihatlah suara berpuluh-puluh burung
tak mampu menghiburku
juga keramaian orang-orang kota
tak mampu membuatku terjaga
bagaimanakah, bagaimanakah ini Shang Ti?
Kutub, 2015
Whirling Dervish
Kulipat tanganku dengan khidmat
berharap rahmat, jagad yang gelap
bersahabat dengan ruhku
Mataku menjadi satu
Setelah merunduk kepada tuan guru
dipusat suara dan sembilu
Merekahlah tangan dan jiwaku
Seperti bunga-bunga salju
ke langit dan ke bumi yang ungu
Menyangkal waktu
Matahari-rindu
dengan cinta yang dungu
Lihatlah, kusanggul batu nisan dirambutku
Hitam kematian didadaku
warna putih yang suci pada jubahku
Menyembul pada udara
Melingkar-lingkar mabuk khusuk
kepusat alam-semesta yang lesu
Oh, saudara yang menetaskan airmata
Betapa kita tidak berdaya
dengan suara, musik yang sendu
Alam-pikiran yang buntu,
Diri yang pilu oleh rindu
cinta yang utuh dan menyala
Pada kata-kata
Pada rima yang lebih
pada puisi yang tak pernah mati
Ketika ditangisi
Ketika diziarahi
pada lembar-lembar syair al-Busyiri
Yang penuh telaga,
Penuh sungai yang jernih
pada mata-kaki yang kelabu
seperti aku, seperti kau
yang risau akan lidah pisau
dan ranjau yang memukau-mukau
maka menarilah, menari
dengan tuak-anggur
yang subur membentur-bentur
tak tersisa, tak tersisa lagi mata
hingga aku, juga kau menjadi nada
pada puisi abadi yang gila
Kutub, 2015
Saifa Abidillah, seorang pemuda tampan yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Mainmain, Jurusan Managemen Konflik Perdapuran. Buku puisinya terbit bulan ini di Penerbit Basabasi (Kuil Bawah Laut).
Beritabaru.co menerima karya berupa cerpen dan puisi untuk dimuat di hari Sabtu dan Minggu. Silakan kirimkan karya kalian ke sastraberitabaru@gmail.com beserta biodata dan nomer rekening dalam satu file word. |