Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Revisi UUK

Revisi UUK 2013 Menuju Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja ala World Bank



Berita Baru, Opini – Revisi Undang-undang Ketenagakerjaan (UUK) Nomer 13 Tahun 2003, melengkapi berbagai rentetan wacana penerbitan aneka regulasi yang dikatakan pro ‘pemodal.’

Dalam beberapa bulan ini berbagai lini gerakan sosial dipusingkan oleh rencana pemerintah yang mengubah beberapa regulasi penting, yakni RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Air dan Revisi UUK. Tentu, dalam alam demokrasi yang semakin masif ini, rencana tersebut menstimulus aneka gerakan untuk memprotesnya.

Bukan tanpa sebab, sebelumnya elemen-elemen yang melakukan protes tersebut telah mengkajinya secara matang. Sehingga aneka aksi pun siap menghujam pemerintah kali ini, mulai dari aksi massa, pernyataan pers dan diskusi kritis yang mendelegitimasi rencana penerbitan regulasi tersebut.

Pada dasarnya revisi UUK 2013 sendiri, berawal dari protes yang dilancarkan oleh para pengusaha, mereka merasa bahwa regulasi yang lalu benar-benar merugikan, karena secara bisnis tidak berkelanjutan dan menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup sang pengusaha.

Hal ini pun dengan sigap ditangkap oleh Hanif Dhakiri selaku Kenteri Tenaga Kerja dengan mengatakan pernyataan yang kontroversial, yaitu UUK 2013 sangat kaku layaknya kanebo kering, sehingga perlu untuk dirubah agar iklim invetasi kembali bergairah.

Tanpa basa-basi, pemerintah melalui Kementrian Tenaga Kerja dengan beberapa elemen legislatif, langsung menggenjot rencana revisi dengan membuat draft rancangan revisi. Tak berselang lama, jadilah rancangan revisi UUK. Anehnya, banyak kalangan buruh yang tidak terima, setelah menelaah dengan matang ada beberapa kecacatan, dan revisi ini sarat dengan kepentingan pemodal khususnya.

Gelombang protes pun silih berganti muncul di berbagai daerah, tercatat di akhir Juli 2019 beberapa serikat buruh seperti Serikat Pekerja Nasional (SPN) menolak adanya revisi UUK ini. Memasuki bulan Agustus, banyak serikat buruh yang melakukan kajian dan pernyataan sikap.

Puncaknya ketika pada tanggal 16 Agustus, aliansi serikat buruh bernama Gebrak (Gerakan Buruh Bersama Rakyat) yang terdiri dari, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN), Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia (FPPI), Jaringan Komunikasi SP Perbankan, Sekolah Mahasiswa Progresif, Pergerakan Pelaut Indonesia.

Adapun, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Aksi Kaum Muda Indonesia (AKMI), Perempuan Mahardhika, LMND-DN, Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEEER), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Menggelar aksi serentak di beberapa wilayah, salah satunya Surabaya. Isu utama yang diangkat ialah penolakan revisi UUK, karena mendorong fleksibilitas pasar tenaga kerja, dan sangat pro pemodal.

Tidak berhenti di situ saja, gelombang aksi yang sedianya digelar di depan wakil rakyat yang sedang bersidang, mengalami aneka hambatan yang signifikan. Kala massa aksi tolak revisi UUK 2013 akan menuju gedung DPR/MPR RI, mereka menemui berbagai rintangan yang sengaja diciptakan.

Mulai dari penghalang-halangan aparat keamanan negara, saat buruh akan pergi aksi. Tindakan represif yang berujung penangkapan paksa kepada massa aksi, tercatat ada 7 orang yang ditangkap oleh aparat keamanan negara.

Bahkan aksi protes semakin masif, tercatat dua hari lalu massa aksi gabungan buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), juga melakukan aksi tolak revisi UUK 2013 di depan gedung DPR/MPR RI.

Revisi UUK 2013 dan Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja

Revisi UUK sangat kental aroma narasi fleksibilitas pasar tenaga kerja. Mengapa demikian? Berdasarkan telaah dari berbagai elemen, salah satunya Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), menemukan berbagai kejanggalan.

Isi dari revisi UUK tersebut sangat tegas dan gamblang menyebutkan, narasi tentang mengganti aturan tentang upah minimum sektoral, menghapus hak cuti haid, pembatasan dan penghilangan hak mogok. Parahnya, dalam revisi UUK  juga kembali memasukan pasal-pasal kesalahan berat yang sejak reformasi dihapus.

Selain itu, revisi UUK juga tendensius ke arah narasi untuk menghapuskan uang penghargaan masa kerja dalam pemutusan hubungan kerja, serta menetapkan jumlah minimum pesangon ketika buruh diberhentikan oleh perusahaan.

Menurut catatan dari LIPS dalam laporannya berjudul “Revisi UUK Versi 2019,” dengan padat dan jelas mengungkapkan jika revisi ini masuk dalam Prolegnas 2015-2019, bersama aturan lain yang saya sebutkan di atas (terkait RUU Pertanahan, Minerba, dll). 

Perubahan UUK ini pada dasarnya tidak berdiri sendiri, namun turut mempengaruhi perubahan pada regulasi lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pengupahan dan RUU tentang Pengawasan Ketenagakerjaan, RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri. Tetapi anehnya, keempat regulasi ini tidak masuk skala prioritas nasional.

Hadirnya revisi UUK 2013, benar-benar menjadi semacam dilema bagi keberlangsungan kehidupan buruh di Indonesia. Revisi tersebut banyak menekankan pada perubahan-perubahan mendasar yang erat kaitannya dengan kedaulatan buruh.

Di samping itu juga, UUK tersebut seolah-olah menegaskan eksistensi PP No. 78 2017 tentang pengupahan. Padahal sebelumnya PP 78 ditolak mati-matian oleh para buruh, karena telah mendelegitimasi dewan pengupahan, yang mana buruh terlibat di dalamnya. Sehingga dengan penegasan ini, artinya buruh semakin dijauhkan dalam urusan terkait kesejahteraan mereka.

Perlu diketahui, alasan pemerintah dalam menerbitkan revisis UUK 2013 sangat korelatif dengan konteks fleksibilitas pasar tenaga kerja. Pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja mengungkapkan, revisi ini akan semakin merangsang pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah berargumen dengan terbitnya UUK yang baru, maka iklim investasi akan bergairah lagi. Pengusaha tidak takut untuk bangkrut karena upah mahal dan aneka regulasi yang kaku. Sehingga dengan adanya revisi ini, iklim investasi menjadi dinamis dan tentunya pasar tenaga kerja akan semakin mudah terserap.

Sementara bagi buruh dengan adanya revisi UUK ini, akan semakin menjauhkan mereka dari kesejahteraan. Karena upah dibuat fleksibel sesuai kebutuhan pengusaha, selain itu juga sangat berpengaruh pada buruh perempuan yang mana dengan dicabutnya hak cuti haid, mereka akan mengalami berbagai hambatan dalam bekerja.

Tidak hanya itu saja, revisi UUK ini semakin menegaskan upaya pemberangusan demokrasi, karena dengan pasar kerja fleksibel ini tentu akan sangat berdampak pada keberlanjutan serikat buruh. Mengingat ada aturan terkait pelanggaran berat, pelarangan mogok dan PHK sepihak. Hal ini pun akan semakin merepresi buruh, secara pelan-pelan mereka didomestifikasi, dan sudah pasti pemberangusan serikat buruh akan semakin masif.

Relasi revisi UUK dengan Kajian World Bank

Munculnya revisi UUK 2013 tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dari hegemoni  institusi World Bank. Kita tahu sendiri, beberapa perubahan regulasi di Indonesia, khususnya yang relasional  dengan perburuhan tidak lepas dari intervensi World Bank. Hal tersebut dapat terlihat dari catatan Laporan Pembangunan Dunia 2013 yang disusun oleh World Bank.

Mereka menyimpulkan bahwa peraturan ketenagakerjaan hanya berdampak kecil atau tidak sama sekali pada tingkat ketenagakerjaan. Hal ini bagi mereka akan menjadi penghambat bagi keberlanjutan pertumbuhan ekonomi.

Di dalam laporan terbarunya 2019, World Bank mengatakan jika regulasi ketenagakerjaan hari ini terlalu membebani pengusaha. Baik dalam ranah upah minimum, pesangon dan aneka insentif buruh lainnya. Hal ini sangat kontradiktif dengan upaya otomasi perusahaan (pemakaian Artificial Intelligent), dalam hal ini sektor produksi, guna memacu efisiensi kerja dan peningkatan daya produksi.

Dengan adanya beban dari regulasi yang kaku, maka upaya untuk menuju satu tangga otomasi akan terhambat, karena biaya yang dibutuhkan cukup mahal.Tentu saja, bagi World Bank peraturan yang memberatkan akan membuat biaya yang dikeluarkan perusahaan lebih mahal dalam mengatur ulang tenaga kerja mereka, khususnya untuk mengakomodasi perubahan teknologi.

World Bank lalu memberikan tawaran yakni kontrak sosial baru. Di mana kontrak ini sangat mendukung iklim investasi, karena sifatnya yang fleksibel dan dapat menjadi solusi baik bagi upaya akselerasi teknologi produksi. Bagi World Bank sendiri, di tengah ketimpangan yang semakin tinggi, khususnya pada negara berkembang.

Fleksibilitas pasar tenaga kerja, yang dihasilkan dari regulasi terkait kontrak sosial baru akan menstimulus iklim investasi yang sehat. Dengan adanya iklim investasi yang sehat, tentu akan mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga menciptakan peluang kerja yang lebih besar.

Tetapi apa yang disampaikan World Bank hanya akal-akalan saja. Jika kita merujuk pada beberapa artikel yang disusun oleh LIPS atau kajian yang dilakukan oleh serikat buruh, pada konteks revisi UUK yang berdasarkan intervensi World Bank akan semakin menyengsarakan buruh.

Perlu diketahui, revisi UUK 2013 akan semakin menegaskan upah berdasarkan inflasi yang mana bertentangan dengan kebutuhan hidup layak, di mana harga kebutuhan pokok semakin melonjak naik. Permasalahan Ketenagakerjaan akan semakin rumit, di mana revisi UUK lebih mementingan pengusaha, seperti menambah jangkauan kerja outsourcing (pemborong kerja) untuk seluruh jenis pekerjaan. Menambah waktu kontrak kerja PKWT menjadi lima tahun, dihapuskannya fasilitas kesejahteraan, cuti nyeri haid dan uang penghargaan masa kerja.

Pada dasarnya, revisi UUK ini juga semakin menegaskan kekuasaan pengusaha, di mana ketika pemberian uang pesangon disesuaikan dengan kemampuan pengusaha, serta pengaturan terkait hal ini tidak diatur lagi dalam UU, sebagai gantinya diatur dalam PKB (perundingan antara pekerja dengn penguasaha).

Revisi UUK juga mengatur terkait penambahan jam kerja yang disesuaikan dengan kebijakan perusahaan. Lalu, ada juga pengaturan terkait waktu lembur yang ditambah, dengan memperbolehkan perusahaan menambah waktu lembur menjadi lebih dari tiga jam, asalkan sebelumnya telah ada kesepakatan antara pihak buruh dan perusahaan.

Demokrasi buruh pun juga terancam, kala revisi UUK menyasar hak mogok buruh, di mana akan ada pengetatan prosedur dan pembatasan mogok kerja. Puncak dari revisi UUK ini akan lebih menekankan kontrol pada serikat buruh, yang mana serikat buruh wajib melapor dan dievaluasi jika ditengarai menerima dana hibah dari luar negeri.

Betapa tidak, jika revisi UUK tersebut disahkan. Maka regulasi ketenagakerjaan sangat disesuaikan dengan kebutuhan pengusaha. Pada konteks tersebut revisi UUK tidak lebih dari regulasi yang disesuaikan dengan pasar (pengaruh intervensi institusi keuangan dan negara-negara pemodal). Maka dalam konteks ini revisi UUK 2013, merupakan sinyal bahaya bagi upaya untuk menuju kesejahteraan, khususnya bagi seluruh buruh di Indonesia.