Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

koalisi ruu polri

Revisi UU Polri Berpotensi Membahayakan Kebebasan Sipil



Berita Baru, Jakarta – Sejumlah pengamat menyoroti revisi ketiga atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang dinilai berisiko menjadikan Polri sebagai lembaga super atau super-body. Beberapa ketentuan baru dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) ini dianggap membahayakan, terutama terkait penambahan kewenangan dan sumber pendanaan Polri.

Peneliti Bidang Kepolisian di Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengkritik bahwa revisi UU Polri tidak menyentuh pokok permasalahan yang sebenarnya diperlukan untuk pembenahan Polri.

“Banyak hal yang tidak substansial dalam materi revisi UU Polri, seperti masalah usia pensiun dan kewenangan. Hampir tidak ada pasal yang membahas pokok permasalahan yang sangat dibutuhkan oleh Polri,” ujar Bambang dalam keterangannya yang dikutip dari VOA, Jumat (7/6/2024).

Salah satu isu utama yang belum diatur dalam draf revisi RUU Polri adalah tentang anggaran operasional Polri. Bambang menekankan pentingnya Polri mendapatkan anggaran operasional dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menghindari ketergantungan pada hibah dari sumber non-APBN, yang bisa berasal dari pihak swasta atau korporasi.

“Ini sangat berisiko pada independensi kepolisian. Ketika pemberi hibah itu ada masalah dengan hukum, kepolisian tidak bisa obyektif dan independen untuk melakukan penegakan hukum,” katanya.

Selain itu, revisi RUU Polri ini juga menambah kewenangan Polri dalam bidang intelijen dan penyadapan, yang menurut Bambang keluar dari substansi yang diperlukan. “Penambahan kewenangan soal penyadapan dan intelijen akan menambah resah masyarakat,” tambahnya.

Bambang juga menyoroti lemahnya fungsi pengawasan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan mengusulkan agar Kompolnas diperkuat dengan lebih banyak anggota dari masyarakat.

Nenden S. Arum, peneliti hak digital dan kebebasan di SAFEnet, menyatakan bahwa revisi RUU Polri akan mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta hak atas privasi, terutama di media sosial dan ruang digital.

“Ini memperkuat gelagat otoritarianisme digital yang ada di Indonesia. Bagaimana polisi akan mungkin melakukan proses penyensoran, kemudian pengawasan secara menyeluruh kepada masyarakat sipil, termasuk melakukan sensor dan pembatasan informasi. Hal ini pasti dan akan sangat mungkin berdampak pada hak atas kebebasan berekspresi bagi masyarakat,” jelas Nenden.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian, yang terdiri dari 23 organisasi, juga menolak draf revisi RUU Polri. Mereka menilai substansi dari RUU ini sangat menyimpang dari desain negara hukum dan demokrasi yang dicita-citakan pasca reformasi.