Reinterpretasi Dalil al-Qur’an terkait Upaya Domestikasi Perempuan
Sejauh ini, subjektivikasi terhadap peran perempuan dengan sejumlah aspek yang mengitarinya masih terus menjadi perbincangan. Salah satu dari sekian isu yang kerap diperbincangkan yaitu terkait dengan domestikasi. Istilah tersebut dimaknai dengan usaha membatasi perempuan pada peran/askes publik dengan menekan pada wilayah domestik/rumah tangga.[1] Belum lama Ria Qamariah mengemukakan, telah terjadi upaya domestikasi perempuan yang disusupkan lewat program sekolah ibu diadakan di wilayah Bogor, Jawa Barat. Lebih jauh lagi, sejumlah pendakwah terus mendengungkan isu ini lewat dalil-dalil al-Qur’an.
Dalil al-Qur’an yang dijadikan sebagai justifikasi syariat dalam upaya tersebut terletak pada QS al-Ahzab ayat 33. Yang kemudian perlu ditinjau ulang ialah, bagaimana cara pandang lain yang memungkinkan untuk menjembatani situasi historis dan kondisi kontemporer dari resepsi terhadap ayat ini. Mengingat problem domestikasi perempuan yang seringkali diperbincangkan, merupakan isu yang lahir dari kondisi zaman yang berkembang. Apakah memang narasi sejumlah pendakwah tersebut menjadi tafsir tunggal dari ayat ini ?
Penafsiran Kontemporer terhadap QS al-Ahzab ayat 33
Dalam hal ini, penulis akan meninjau interpretasi yang diberikan para ulama’ tafsir dalam batasan periode modern-kontemporer; diantaranya al-Munir (Wahbah Zuhaili), al-Azhar (Buya Hamka) dan al-Misbah (Quraish Shihab). Ketiga tafsir ini setidaknya telah merepresentasikan dalam pengelompokan periodisasi dan semangat kontemporer dalam isu yang disajikan.
Ternyata konteks era modern-kontemporer yang selama ini dijadikan identitas suatu tafsir dalam pengelompokan periodisasinya, ternyata belum selaras dengan isu-isu yang berkembang di dalamnya. Isu domestikasi perempuan yang banyak dibicarakan dalam perkembangan era ini, belum sepenuhnya terakomodir secara menyeluruh melalui penafsiran ayat al-Qur’an dalam konteks era kontemporer.
Dalam kasus tafsir al-Munir, narasi yang dikembangkan dalam menjelaskan QS al-Ahzab [33]: 33 cenderung lebih mengabaikan isu domestikasi. Dalam penjelasan tafsir ini, perintah untuk menetap di rumah lebih kentara dibandingkan dengan interpretasi yang lebih eksploratif dalam melihat kondisi yang berkembang.
Bahkan, tafsir ini lebih terkesan memiliki nuansa yang masih mengamini adanya pembatasan terhadap peran publik perempuan dibandingkan dengan melakukan pembacaan lebih luas dan elaboratif. Secara spesifik kebolehan untuk keluar rumah dalam hal pergi ke masjid pun dibolehkan untuk perempuan yang telah lanjut usia.[2]
Di sisi lain, al-Misbah memiliki pandangan yang lebih mengerucut dibandingkan tafsir Munir. Narasi tafsir yang dikembangkan oleh Shibab pada tafsirnya, lebih memberikan sejumlah alternasi terhadap persoalan kontemporer khususnya dalam isu domestikasi perempuan. Alternasi yang diberikan dalam tafsirnya, mengutip berbagai pendapat yang dianggap relevan dari sejumlah tokoh baik dari periode klasik hingga pemikir era sekarang.[3]
Dalam kasus ini, al-Misbah telah menunjukan adanya kesadaran akan isu yang berkembang dalam konteks perempuan. Hal tersebut selaras dengan semangat bahwa kecenderungan tafsir kontemporer mencoba untuk merespon isu dan problem yang hadir seiring dengan zaman. Hemat penulis, bahwa al-Misbah lebih cenderung berpihak pada konteks yang berkembang.
Sedangkan Hamka memandang ayat ini lebih bernuansa kontekstual. Kontekstualitas yang tercermin dari penafsiran Hamka dalam ayat ini ditunjukan dengan penekanan pada pembacaan pada konteks budaya dan situasi global zaman yang berkembang. Namun, begitupun Hamka belum memberikan penekanan terhadap isu domestikasi yang menjadi cara pandang hari ini. Dalam hal ini, Hamka menekankan penafsirannya pada aspek tabarruj. Kecenderungan tersebut terlihat dengan penjelasan panjang lebar terkait aspek perilaku pribadi perempuan secara umum yang dianjurkan untuk mendasarkan aspek berpakaian menurut moral Islam.[4]
Dari elaborasi terhadap ketiga tafsir kontemporer ini, isu domestikasi perempuan terlihat hanya mendapat penekanan pada tafsir al-Misbah. Quraish Shihab menunjukan perhatian dan kesadarannya terhadap berbagai kemungkinan yang berkembang. Kesadaran yang ditekankan pada kesamaan hak dalam gender dalam ranah keagamaan memperlihatkan terjadinya kesenjangan reinterpretasi dalam pembacaan tafsir secara umum dalam ayat ini.
Interpretasi Tekstual; Upaya Mengabaikan Konteks
Sejauh ini, upaya penyebaran narasi domestikasi perempuan lewat dalil QS al-Ahzab [33]: 33 oleh sejumlah pendakwah Islam menunjukan, telah terjadinya pengabaian konteks dimana ayat tersebut diturunkan. Para pendakwah yang penulis kutip dimuka, secara tekstual menggabungkan pendapat pribadi tanpa adanya tendensi yang merujuk pada referensi tafsir yang kredibel. Mereka menjelaskan secara redaksional tanpa menjelaskan aspek penting di sekitar ayat yang tentu menjadi salah satu kunci untuk dapat memaknai al-Qur’an secara tepat.
Padahal, baik dalam teori pemaknaan al-Qur’an dari klasik hingga saat ini pun, konteks historis menempati posisi yang sangat dipertimbangkan untuk melihat sejauh mana upaya interpretasi yang dilakukan. Pada aspek ini, kekeliruan yang timbul akan menghasilkan satu doktrin/ajaran yang menjustifikasi adanya tafsir tunggal dari perintah terhadap domestikasi perempuan yang seolah-olah disahkan lewat al-Qur’an.
Perlunya mempertimbangkan kondisi saat ini dan mendudukan aspek historis menjadi ramuan metode yang tidak dapat dikesampingkan. Para ulama’ tafsir kontemporer, sejauh yang telah merepresentasikan metode tersebut saja masih belum sepenuhnya mengakomodir isu-isu yang berkembang. Terlebih dengan hanya mengandalkan tafsir yang hanya menitik beratkan pada tekstualitas kebahasaan saja (red: terjemahan), tentu akan menimbulkan sederet pertanyaan yang bisa diajukan ulang. Mungkinkah ia dapat diterima sebagai tafsir yang bisa dipertanggungjawabkan ? wallahu a’lam bishawab
[1] Kalis Mardiasih, Sister Fillah, You’ll Never Be Alone (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2022).
[2] Wahbah Zuhaily, Tafsir Al Munir, Jilid 11 (Jakarta: Gema Insani, 2003).
[3] M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian AlQuran, Jakarta: Lentera Hati, 2009.
[4] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz 8 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004).