PWYP Pertanyakan Perpanjangan IUPK PT Arutmin
Berita Baru, Jakarta – Seperti diduga sebelumnya, pemerintah akhirnya memberikan Surat Keputusan (SK) perpanjangan dan peralihan PT Arutmin Indonesia selaku pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada Senin (2/11) lalu. Perusahaan yang 70% sahamnya dimiliki oleh PT Bumi Resources dan 30% dimiliki oleh Bhira Investment Pte. Ltd (berbasis di Singapura) tersebut, mendapatkan perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun dengan nomor SK 221 K/33/MEM/2020 meliputi 7 (tujuh) IUPK dengan total luas mencapai 34.207 Ha.
Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, berkomentar bahwa pemberian SK IUPK untuk PT Arutmin tersebut tidak mengejutkan. Mengingat “drama” polemik kebijakan perpanjangan PKP2B sejak awal tahun 2019 dengan rencana revisi ke-6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batu Bara, hingga kontroversi dan penolakan publik atas Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) di pertengahan tahun 2020, yang diduga “memuluskan” proses perpanjangan sejumlah PKP2B yang akan habis masa berlakunya.
UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Minerba menyisipkan pasal 169 A yang memberikan “jaminan” perpanjangan bagi PKP2B menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, termasuk dijamin mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
“Dengan demikian, PT Arutmin dijamin lagi mendapat 10 tahun tambahan perpanjangan lagi setelah 2030 melalui UU Minerba saat ini,” jelasnya, Selasa (04/11).
Namun demikian, Aryanto mempertanyakan sejumlah kejanggalan dalam proses perpanjangan dan pemberian IUPK terhadap PT Arutmin. Pertama, Rancangan PP turunan dari UU Minerba saat ini, menurut Aryanto, belum jelas keberadaannya dan juga masih menuai polemik.
“Sehingga apakah cukup kuat dasar pemberian SK IUPK tanpa berlandaskan dengan PP turunan dari UU Minerba?,” tanyanya.
Kedua, Aryanto berpendapat, prosesnya yang cenderung tertutup (tidak transparan) dan tidak partisipatif, sehingga pantas jika publik mempertanyakan.
“Apakah Pemerintah sudah melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap permohonan perpanjangan PT Arutmin? Apakah Pemerintah mempunyai opsi untuk tidak memperpanjang, dikelola oleh Badan Usaha Miliki Negara (BUMN) atau hanya satu opsi, yaitu otomatis diperpanjang? Apa saja aspek-aspek yang dievaluasi? Siapakah yang terlibat melakukan evaluasi? Serta bagaimana hasil evaluasinya?,” imbuhnya.
Lebih lanjut Aryanto menilai, Pemerintah saat ini banyak menyebut soal pendekatan Risk Based Approach (RBA) dalam pemberian izin berusaha.
“”Seharusnya jika pendekatan ini dilakukan, bukan hanya soal penerimaan negara saja yang dikedepankan. Pemerintah juga harus dapat menyampaikan kepada publik, risiko-risiko apa saja yang akan didapatkan ketika memberikan perpanjangan kepada PT Arutmin (dan juga IUP/K yang lain). Terutama yang berkaitan dengan dampaknya terhadap ekologi (lingkungan), sosial dan budaya, perubahan iklim maupun risiko-risiko lainnya. Termasuk mitigasi risiko yang juga harus disampaikan kepada publik, khususnya masyarakat dan komunitas di sekitar tambang yang terdampak secara langsung,” jelasnya.
Selain itu, Aryanto menyoroti, aspek tata kelola (transparansi, akuntabilitas dan partisipasi) juga sudah semestinya menjadi prinsip yang dipegang kuat oleh Pemerintah. Tidak hanya aspek teknis, kewilayahan, maupun penerimaan negara semata, namun juga harus memperhatikan aspek lingkungan maupun kepatuhan terhadap pelaksanaan norma-norma Hak Asasi Manusia (HAM), serta memastikan adanya konsultasi publik guna meminta pertimbangan dan hak menyatakan pendapatan secara bebas dan tanpa paksaan (Free Prior Inform Consent / FPIC) oleh masyarakat, khususnya dari masyarakat sekitar tambang, Pemda, serta para pemangku kepentingan lainnya di tingkat lokal.
“Sayangnya publik tidak melihat Pemerintah sudah melakukan hal itu semua.” imbuh Aryanto.
Ketiga, lanjut Aryanto, Pemerintah seharusnya juga membuka terlebih dahulu dokumen kontrak PKP2B PT Arutmin kepada publik. Keterbukaan dokumen PKP2B ini penting untuk melihat sejauh mana hak dan kewajiban PT Arutmin telah dilaksanakan dan bagaimana kinerjanya, sehingga publik dapat menganalisa kepatuhannya dalam pelaksanaan kontrak. Selain itu, publik dapat membandingkannya dengan ketentuan hak dan kewajiban dari pemegang IUPK tersebut.
“Selama ini, pemerintah hanya mengungkapkan secara umum, bahwa perpanjangan dan pemberian IUPK mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara tanpa memberikan penjelasan perbandingan antara dokumen PKP2B dengan IUPK,” ujarnya.
Padahal, kata Aryanto, Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) telah memandatkan bahwa perjanjian, termasuk kontrak dan izin, yang dibuat antara badan publik dengan pihak ketiga merupakan informasi publik (Pasal 11 Ayat 1 e). Selain itu, terdapat sejumlah Putusan Komisi Informasi Pusat maupun Mahkamah Agung yang memperkuat bahwa dokumen izin dan kontrak tambang minerba adalah dokumen yang terbuka.
“Di samping sejumlah pertanyaan dan dugaan kejanggalan perpanjangan dan pemberian IUPK untuk PT Arutmin, perlu dicermati juga adanya ketentuan pasal 169 A ayat 4 UU Minerba, dimana Pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk komoditas tambang Batubara WAJIB melaksanakan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara di dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” lanjutnya.
Dengan demikian, Aryanto menegaskan, PT Arutmin secara otomatis memiliki kewajiban untuk melaksanakan peningkatan nilai tambah di dalam negeri. “Pertanyaan besarnya, apakah PT Arutmin sudah siap atau masih sebatas komitmen? Bagaimana peran pemerintah memastikan PT Arutmin melakukan peningkatan nilai tambah secara terintegrasi dari hulu ke hilir?,” tanyanya.
“Berkaca pada pelaksanaan peningkatan nilai tambah di komoditas mineral beberapa tahun lalu,” ujar Aryanto, “apakah berarti per 1 November 2020 ini PT Arutmin sudah tidak dapat melakukan ekspor batubara (sebagai bahan mentah)?,” pungkas Aryanto.