Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pembebasan Napi Kekerasan Seksual Rugikan Korban

Pembebasan Napi Kekerasan Seksual Rugikan Korban



Berita Baru, Jakarta – Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan secara resmi kasus pertama COVID-19 di Indonesia, sampai hari ini tercatat 14.265 orang terinfeksi COVID-19. Sebanyak 991 pasien meninggal dunia dan 2.881 pasien positif dinyatakan sembuh.

Sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19, Pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan, antara lain mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Sejalan dengan kebijakan tersebut, Kementerian Hukum dan HAM juga menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19.

Sejak aturan ini diberlakukan sudah ada 38.822 narapidana yang dibebaskan dan hingga 21 April 2020, sudah ada 27 orang yang kembali melakukan kejahatan, salah satunya adalah kekerasan seksual.

Menurut Direktur LBH APIK Jakarta, Siti Mazuma yang paling terdampak dari kebijakan pembebasan napi adalah korban kekerasan seksual. Pasalnya korban kekerasan seksual lekat dengan trauma psikologis jangka panjang, Selasa (12/5).

“Ketika narapidana kasus kekerasan seksual dibebaskan sebelum masa hukumannya selesai. Maka akan memperburuk kondisi psikologis yang dialami korban, terlebih sebagian besar pelaku adalah orang terdekat korban,” terang Mazuma dalam diskusi INFID Webinar Series dengan tema ‘Perempuan dan Covid-19’.

Mazuma menyatakan, pembebasan napi kekerasan seksual harus dibarengi dengan upaya pemulihan korban. Hingga saat ini banyak korban kekerasan seksual tidak mendapat akses pemulihan, karena belum ada payung hukum yang secara khusus mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual.

“Merujuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, bahwa pemulihan yang dimaksud adalah pemulihan fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya, serta restitusi,” tambahnya.

Lebih lanjut Zuma menyampaikan pernyataan salah satu ibu korban yang memperjuangkan keadilan hukum bagi putrinya yang diperkosa oleh ayah kandungnya sendiri.  Menurut Zuma, butuh waktu lebih dari satu tahun untuk bisa memenjarakan pelaku kasus incest ini.

“Sementara korban yang tak lain adalah anak kandungnya sendiri harus menanggung beban psikologis yang mengharuskannya mengkonsumsi obat dan melakukan konsultasi psikiater hingga hari ini. Sehingga pembebasan pelaku kekerasan seksual di masa pandemi menjadi kebijakan yang kurang tepat,” ungkapnya.

Siapa yang Seharusnya Dibebaskan?

Maidina Rahmawati dari Institute for Criminal Justice Reform (IJRS) menyatakan jika mengacu pada rekomendasi PBB, kategori narapidana yang mendapat percepatan pembebasan adalah orang-orang rentan, pelaku tindak pidana ringan, penggunaan narkotika, pelaku tindak pidana tanpa kekerasan dan tindak pidana yang tidak memiliki sifat seksual.

“Sehingga pelaku kekerasan seksual seharusnya tidak termasuk sebagai narapidana yang mendapat percepatan pembebasan,” katanya.

Maidina menambahkan, ternyata selama ini pelaku kekerasan seksual belum mendapatkan pembinaan khusus sebagai pidana tambahan yang memberikan efek penyadaran kepada pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Hal tersebut dikarenakan belum ada peraturan yang mengatur tentang pembinaan khusus untuk pelaku kekerasan seksual.

“Mengacu pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Maidina menyebutkan salah satu pidana tambahan berupa pembinaan khusus untuk pelaku yaitu perawatan di bawah psikolog dan/atau psikiater,” terangnya.

Napi Perempuan Kebanyakan Kasus Narkoba

Adapun Guru Besar Antropologi UI, Sulistyowati Irianto menyoroti besarnya jumlah penghuni lapas yang didominasi oleh perempuan pengguna narkoba yang juga merupakan korban perdagangan orang.

“Kemiskinan dan rendahnya pengetahuan yang dimiliki para perempuan ini kerap kali dimanfaatkan oknum untuk mengedarkan obat terlarang. Ketidaktahuan ini yang sering kali membawa mereka masuk dalam tindak pidana pengguna dan pengedaran obat terlarang,” papar Sulis.

Untuk itu Sulis menegaskan bahwa hukum harus lebih teliti dalam menyidangkan kasus-kasus yang didakwakan terhadap perempuan, penyebab dan latar belakang harus digali berbasis pada pengalaman-pengalaman dan realitas yang melingkupi kehidupan perempuan.  

Lebih lanjut Sulis menyampaikan kesalahan kebijakan kerap terjadi pada pengguna dan pecandu narkoba. Di mana kebijakan yang seharusnya dikeluarkan untuk mereka dapat menjalani rehabilitasi justru membawa mereka kedalam penjara.

“Percepatan pembebasan ini seharusnya diprioritaskan untuk narapidana kasus narkoba yang mendominasi lapas dan rutan di Indonesia, bukan malah narapidana kekerasan seksual,” pungkasnya.