Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pilsang Bolsel
Ilustrasi kotak suara Pilsang Bolsel. (Foto: Apriyanto Rajak)

Pilsang Bolsel: Menguatkan Demokrasi dan Kualitas Pemimpin



Pemilihan sangadi (pilsang) atau kepala desa di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Sulawesi Utara, hanya tinggal menghitung hari. Arak-arak para pendukung menuju sekretariat panitia demi mendaftarkan bakal calon (balon) sangadi telah ramai di media sosial. Setidaknya, terdapat 38 desa yang nanti pada tanggal 18 Mei 2022 akan menentukan lahirnya pemimpin dalam pesta demokrasi enam tahunan itu.

Namun pernah kah kita mengurai lebih jauh bagaimana memperkuat pondasi demokrasi level desa? Adakah forum terbuka agar percakapan ihwal pilsang menyentuh masyarakat akar rumput? Lalu mengapa mahasiswa tidak mengambil momentum ini di dalam upaya menyuplai ide dan gagasannya?

Dua pertanyaan di atas sangat penting diajukan kepada panitia pilsang tingkat kabupaten, kecamatan dan desa. Sebab tugas panitia bukan sekadar memastikan pelaksanaan teknis berjalan sukses, melainkan lebih dari itu, bagaimana mengaktivasi “kesadaran berpolitik” bahwa perbedaan pilihan tidak lantas mengeruk nilai kemanusiaan dan persaudaraan sesama rakyat. Supaya memastikan itu, terlebih dahulu yang harus dilakukan panitia adalah: meneguhkan netralitas dan mencegah adanya praktik politik uang. Sebab, dalil dengan mengandalkan segala cara demi mencapai kekuasaan justru akan membikin masyarakat terbelah.

Mengapa percakapan ihwal demokrasi di desa mesti menjadi perhatian serius, sebab itu adalah poin dasar jika kita ingin melahirkan demokrasi yang sehat dalam pemilihan anggota legislatif (Pileg), pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau pemilihan presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Sebab, merawat demokrasi tidak serta-merta menjadi tanggung jawab KPU dan Bawaslu – akan tetapi masyarakat juga memiliki peranan besar untuk mendorong itu. Sehingga saya kira, kualitas panitia dalam perhelatan pilsang ini dipertaruhkan: lebih-lebih panitia pilsang desa.

Namun kenyataan di lapangan sangat kontras. Panitia pilsang desa justru abai memberikan penyadaran ihwal bagaimana berdemokrasi dan gagal memahami bahkan melanggar peraturan daerah (perda) nomor 1 tahun 2022 perubahan atas perda nomor 1 tahun 2016 tentang pemilihan, pemberhentian dan pengangkatan sangadi atau kepala desa. Desa Tolondadu I, Kecamatan Bolaang Uki, misalnya: panitia, aparat desa maupun badan permusyaratan desa (BPD) dengan terang-terangan mendukung salah satu calon, terlebih itu diunggah di media sosial. Dan saya menduga, ketidaknetralan ini juga bisa saja terjadi di desa lain.

Oleh sebab itu momentum pilsang enam tahunan ini menjadi sangat penting didiskusikan, lantaran konsekuensinya tidak jauh berbeda dengan perhelatan Pileg, Pilkada dan Pilpres. Sebab di sana akan ada intrik – juga bakal jualan janji-janji kesejahteraan dan keadilan rakyat – juga mungkin jabatan diraih dengan beralaskan politik uang. Memang, politik uang merupakan musuh bebuyutan demokrasi yang sukar diamputasi. Salah satunya adalah minimnya saksi. Namun, paling tidak untuk memerangi praktik jahat semacam ini bisa kita mulai dari perhelatan pilsang.  

Peran Mahasiswa

2015 silam, setiap desa di Indonesia mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat dengan diwujudkan melalui dana desa yang dialokasikan khusus dalam APBN. Dilansir dari detik.com Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa jumlah dana desa yang telah disalurkan sepanjang tahun 2015-2022 mencapai Rp 468 triliun. Berdasarkan data Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DPJK) Kementrian Keuangan menunjukkan dana desa meningkat setiap tahunnya. 2015 Rp 20 triliun. 2016 Rp 46 triliun. 2017 dan 2018 meningkat Rp 60 triliun. 2019 dan 2020 mencapai Rp 70 triliun. Belum lagi tambahan anggaran alokasi dana desa.

Dalam UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa, tujuan disalurkannya dana desa adalah sebagai komitmen negara dalam melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis. Dengan adanya dana desa, maka menjadi kewajiban untuk menciptakan pembangunan dan pemberdayaan desa menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Di sini sangat jelas dasar diperuntukkannya dana desa. Oleh sebab itu dengan banyaknya anggaran ini maka dibutuhkan pemimpin desa yang bertanggung jawab, berintegritas dan memiliki pandangan yang luas.

38 sangadi di Bolsel akan terpilih bulan depan. Mahasiswa saya kira sangat penting menangkap momentum pilsang ini dengan menguliti setiap batok kepala para calon sangadi. Jika negara memberikan perhatian khusus untuk desa dengan dalil membangun kekuatan ekonomi dari pinggiran, sudah selayaknya calon sangadi pun harus diuji pengetahuan dan integritasnya. Mimbar-mimbar itu mesti diaktivasi segera. Mahasiswa di setiap desa atau pun paguyuban mesti menginisiasi ini. Simbol “maha” yang melekat dalam diri mahasiswa tak boleh disimpan, sebab gerakan intelektual maupun lewat aksi massa telah menjadi alarm bagi penguasa agar tak sewenang-wenang.

Kita mesti akui, enam kalender kepemimpinan sangadi bukan waktu yang singkat. Kalau seandainya yang terpilih nanti bermaslahat untuk rakyat – mampu melihat tantangan dan peluang desa – maka selamat lah desa itu. Akan tetapi kalau sebaliknya bagaimana? Sudah jadi rahasia umum di mana banyak sangadi telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dengan praktik-praktik korupsi. Kita juga bisa temui fakta ini di Bolsel. Sudah saatnya kualitas dan integritas calon sangadi dipertaruhkan.

Penulis: Apriyanto Rajak