Pilkada: Upaya Meneguhkan Ruang Demokrasi
Pilkada: Upaya Meneguhkan Ruang Demokrasi
Oleh: Samsul Huda
Begitu ungkapan yang ‘mungkin’ sering kita dengar dari beberapa orang juga berbagai sumber. Sejak ungkapan itu muncul kepermukaan justru kemudian muncul berbagai macam pertanyaan.
Apakah ungkapan itu selalu sejalan dengan kondisi ruang demokrasi di Indonesia?
Apakah upaya mewujudkan proses yang baik akan selalu mulus?
Bagaimana mewujudkan proses pesta demokrasi yang baik?
Apa yang hendak dicapai dari terpilihnya pemimpin yang baik?
Juga berbagai macam pertanyaan sejenis dan seterusnya.
Ungkapan-ungkapan tersebut dapat dipetakan dari persoalan,tantangan juga solusi atas kebuntuan kondisi ruang serta proses demokrasi di Indonesia “terutama” pada momentum pilkada serentak tahun ini.
Pilkada dan Tantanganya
Pilkada serentak pada tahun ini adalah pilkada dengan jumlah daerah terbanyak dengan jumlah 270 daerah. Ini bisa dilihat dari penyelenggaraan pilkada sebelumnya yang pada pilkada serentak 2018 hanya diikuti 171 daerah.
Sementara pilkada serentak 2017 mencakup 101 daerah dan pilkada serentak 2015 diikuti 269 daerah. Berkaitan dengan itu, ada sejumlah tantangan yang menarik untuk dicermati pada gelaran pilkada serentak tahun ini.
Pertama, tantangan dinamika politik (Ali Rifan;2020). Dari sekian tantangan dalam moment pilkada tantangan ini menjadi faktor paling dominan. Tantangan ini tak dapat dielakkan lantaran pilkada serentak pada tahun ini punya makna strategis bagi partai politik.
Yakni sebagai semacam momentum untuk memanaskan mesin politik menuju pemilu 2024 dengan agenda itu tentu setiap parpol akan habis-habisan mendorong para kadernya untuk melenggang sukses menduduki kursi kepala daerah. Hitunganya adalah semakin banyak kader sukses menduduki kursi kepala daerah maka akan semakin mudah menyongsong pemilu 2024.
Kedua, tantangan ketokohan, tantangan ketokohan ini menjadi tantangan dengan penanganan berbeda, ini bisa kita lihat dari gelaran pilkada sebelumnya, bagaiamana kemudian seorang tokoh mampu menggerakkan massa dan bahkan ketokohan seseorang mampu menggeser dominasi mesin partai itu sendiri. Tokoh dengan banyaknya dukungan masa dapat berpengaruh dalam proses pemilihan, kelompok ini dalam prakteknya juga ikut serta mendorong suksesnya pesta demokrasi.
Ketiga, tantangan basis pemilih. Salah satu corak pembeda penyelenggaran pilkada pada tahun ini adalah banyaknya kalangan muda atau yang disebut kaum milenial, dalam hal ini pemilih merupakan elemen penting yang tak bisa dtinggal dalam konteks pemilihan, Dilihat dari demografi pemilih, pilkada serentak 2020 akan didominasi pemilih milenial.
Kondisi itu perlu menjadi catatan penting lantaran tren kepemimpinan milenial juga sedang naik daun. Milenial kini bukan sekadar objek politik, tapi sebagian besar sudah menjadi subjek politik. Bahwa gelombang kepemimpinan milenial sedang terjadi di Indonesia. Tak tertutup kemungkinan tren itu juga akan berlangsung dalam kontestasi pilkada.
Solusi atas Kebuntuan Demokrasi
Bagaimanapun bangsa ini telah berpengalaman dalam mengawal demokrasi setidaknya bangsa ini telah mengawal demokrasi sejak pasca era reformasi, meskipun pada prakteknya penegakkan demokrasi sering kali terseok karena dihantam kelompok-kelompok yang berkepentingan terhadap perebutan kekuasaan.
Sejauh ini penyelenggaraan pesta demokrasi secara formal prosedural dapat dikatakan lancar, damai, bahkan terlihat kian “mapan”. Akan tetapi, proses dan capaian perubahan tidak sesuai yang diharapkan.
Corak reformasi politik justru makin kabur dikacaukan oleh banyaknya kasus korupsi, kegaduhan manuver politik dangkal, serta sejumlah keculasan menandai sengketa kuasa yang menyertai hingar bingar demokrasi. Di situlah muncul gejala, mungkin bisa disebut pertanda, bahwa demokrasi Indonesia terasa goyah.
Jika demokrasi itu diibaratkan rumah atau bangunan, maka pilar penyangganya adalah parpol, kebebasan sipil, serta penegakan hukum (Arie Sujito:2018). Karena itu kondisi dan kualitas pilar menjadi faktor penentu, apakah bangunan demokrasi itu akan kokoh dan kuat, atau sebaliknya rentan dan potensial roboh. Dari refleksi atas perjalanan sejauh ini menunjukkan, bahwa ketiga pilar itu sedang mengalami proses perapuhan serius.
3 Pilar Demokrasi
Pertama, partai politik menjadi salah satu pilar penegak demokrasi, bahkan citra demokrasi secara umum diwarnai oleh kiprah partai politik. Partai politik menjadi penyangga utama demokrasi indonesia tentang pemaknaan dan cakupan proses yang baik itu sendiri, proses yang baik dalam pengertianya adalah tahapan-tahapan yang dilalui secara benar,terukur dan realistis.
Benar dan tidaknya suatu proses dapat dilihat dari kesesuaian rencana dan realisasinya, Sementara pemimpin yang baik adalah yang dihasilkan dari proses yang baik sekaligus benar, yang selanjutnya mampu menterjemahkan dan mengejawentahkan amanah kepemimpinan.
Kedua, peran masyarakat sipil, Ukuran penting suatu demokrasi bekerja adalah ketersediaan ruang bagi masyarakat atau warga negara dalam mengejawentahkan pendapat dan pikiran, mengorganisir diri, serta bertukar atau mengakses informasi.
Berikutnya, kita harus bersepakat bahwa upaya mewujudkan demokrasi yang mapan adalah harapan semua element lembaga negara tentu juga masyarakat pada umumnya, Jika masyarakat sipil dapat tumbuh berkembang dan kuat maka akan mampu mengimbangi negara dengan elemen-elemen masyarakat politiknya.
Karenanya mustahil harapan penegakkan demokrasi itu terwujud tanpa komitmen bersama, upaya bersama dan cita-cita yang sama. Indikasinya, lembaga negara bekerja sesuai dengan amanah konstitusi begitu juga masyarakat berperan aktif mendukung terciptanya demokrasi yang mapan sesuai amanah undang-undang.
Pada proses inilah komitmen kita diuji apakah pilkada bersih, jujur dan adil hanya sebatas “abang-abang lambe” ataukah sudah menjadi prinsip bersama yang harus kita pegang dan wujudkan.
Ketiga, penegakkan hukum, pada cakupan yang lebih luas demokrasi menyentuh prinsip dasar manusia bahwa setiap manusia mempunyai kehendak bebas atas pilihanya, prinsip ini terwujud dalam kehidupan seseorang secara normal, ini berlaku untuk siapapun dan dimanapun.
Pada tataran yang lebih sederhana demokrasi dimaknai sebagai sistem bernegara, corak pemerintahan dan model kepemimpinan. Oleh karenanya, penegakkan hukum dibutuhkan dalam mendorong tegaknya demokrasi, oleh lembaga negara, termasuk penekkan hukum dalam proses penyelenggaraan pilkada.
Pilar-pilar demokrasi mustahil berdiri kokoh jika tidak diawali dari komitmen bersama dalam penegakkan hukum, keterlibatan masyarakat sipil secara aktif dan agenda-agenda partai politik yang mendukung terciptanya ruang demokrasi.
Secara sederhana, harapan ini mustahil terwujud tanpa didukung dan diawali kesadaran dan komitmen nyata seluruh komponen penyelenggara pilkada, peserta Pilkada, Lembaga-lembaga negara dan juga masyarakat pada umumnya.