PGI: Putus Rantai Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Papua
Berita Baru, Jakarta – Sebagai bagian dari kegiatan kampanye anti kekerasan (negara) terhadap rakyat sipil dalam memperingati hari Hak Asasi Manusia, Biro Papua PGI melaksanakan Diskusi Kelompok Terfokus, secara khusus terhadap dua persoalan di Papua, yaitu kasus Kisor di Maybrat Papua Barat, dan kasus mutilasi yang terjadi di Timika Papua, dilanjutkan dengan konfrensi pers, di Grha Oikoumene, Jakarta, pada Senin (12/12/2022).
Narasumber yang hadir pada kegiatan dimaksud, antara lain: peneliti KontraS, Rivanlee Ananda, Anggota Pansus Mutilasi DPR Papua, Namaantus Gwijangge, dan perwakilan Pastor-pastor Papua, Pater Bernard Barus.
Dari paparan masing-masing narasumber terkait kasus mutilasi, tergambar jelas bahwa hingga saat ini belum diketahui apa motif utama pelaku pembunuhan sadis tersebut. Selain itu, masih banyak informasi yang ditemukan tim investigasi KontraS dan juga Pansus Mutilasi DPR Papua yang belum dimasukkan dalam BAP pihak penyidik.
Terhadap kasus mutilasi, “keluarga mendesak dilakukan penyelidikan dan penyidikan ulang serta memproses hukum para pelaku di pengadilan koneksitas di Timika. Permintaan tersebut tidak ditanggapi, dan tanpa sepengetahuan keluarga korban melalui kuasa hukumnya persidangan kasus mutilasi ini mulai dilakukan di Pengadilan Militer III-19 Jayapura. Keluarga korban meminta dengan tegas agar proses persidangan harus dilakukan secara transparan dan berkeadilan,” ujar Narip Narigi. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Namaantus Gwijangge.
Menurut Michael Hilman, pihak LPSK sudah menemui salah satu saksi pelaku untuk memberikan perlindungan hukum dan menggali sebanyak mungkin informasi yang bermanfaat dalam rangka perlindungan saksi.
Terkait kasus Kisor di Maybrat Papua Barat, Pater Bernard, menginformasikan bahwa para pengungsi belum tertangani atau mendapat perhatian serius pemerintah setempat. Mereka yang tersisa dalam pengungsian saat ini berjumlah 1386 jiwa dari 3121 jiwa yang awalnya mengungsi sejak September tahun lalu. Segmen terbanyak adalah anak-anak dan ibu-ibu.
Dari laporan pemantauan gereja Katolik setempat, tambah Pater Bernard, ada 4 kondisi yang sangat memprihatinkan dialami para pengungsi, yaitu; tidak mendapatkan bantuan makanan dan minuman, tidak memliki akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar, anak-anak pengungsi tidak dapat menikmati pendidikan sebagaimana layaknya, dan pengungsi masih mengalami trauma sehingga takut untuk mengambil risiko kembali ke kampung halamannya yang saat ini masih dijaga aparat keamanan.
“Harus segera dilakukan “humanitarian pause” di wilayah ini untuk memberikan kesempatan kepada berbagai lembaga kemanusiaan atau yang peduli dengan persoalan kemanusiaan di Kisor untuk melakukan tindakan penyelamatan termasuk medis dalam rangka menolong para pengungsi tersebut,” usul Pater Bernard.
Persoalan lain yang menyeruak adalah kondisi para tahanan yang telah diadili dan dijatuhi hukuman berkekuatan hukum tetap di Pengadilan HAM Makassar adalah mereka yang berusia dan berstatus anak-anak dan sedang menjalani pendidikan SMP, SMA dan bahkan kuliah. 6 tahanan yang diadili di Makassar telah diputus Hakim untuk menjalani hukuman penjara paling rendah 8 tahun. Saat ini masih ada 3 tahanan lagi yang sedang menjalani proses hukum di PN Sorong. Satu di antaranya meninggal di tahanan, bernama Abraham Mate (21 tahun). Saat ini keluarga korban masih menunggu hasil otopsi oleh pihak kepolisian setempat.
Menurut Kuasa Hukum mereka, Leonardo Ijie, 6 tahanan di Makassar selama menjalani masa penahanan di penjara baik di Polres Sorong dan di Polda Sulsel, telah mengalami penyiksaan atau perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Begitu pula dengan 2 tahanan yang masih berada di Rutan Sorong. Penyiksaan tersebut dilakukan oleh pihak aparat kepolisian untuk memaksa para tahanan tersebut mengakui perbuatan mereka dalam kasus Kisor.
“Ada Daftar Pencarian Orang (DPO) yang tanpa nama dan berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi penduduk asli setempat. DPO tanpa nama ini juga menjadi salah satu penyebab para pengungsi tidak berani pulang ke kampung halamannya, karena tidak adanya jaminan keamanan kepada mereka,” tambah Ijie.
Atas dasar beberapa fakta dan informasi yang diungkapkan para narasumber di atas, PGI mendukung permintaan keluarga korban mutilasi agar proses hukum terhadap kasus mutilasi dilakukan secara transparan untuk memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban.
“Mendukung inisiatif dialog hak asasi manusia melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diatur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dalam rangka mencari solusi damai atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi selama lebih dari 50 tahun berintegrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” pungkasnya.