Penyair yang Mati di Puncak Tinggi | Cerpen: Aveus Har
Seorang penyair yang sedang berada di puncak ketenaran mati; diduga dibunuh. Memang ada bisik-bisik dia bunuh diri, tetapi mengingat kesuksesan yang sedang menghinggapinya, orang-orang menganggap itu asumsi paling konyol yang bisa diterima. Polisi yang melakukan penyelidikan mengatakan bahwa pembunuh sang penyair yang sukses ini melakukannya dengan cara yang sempurna sehingga tidak meninggalkan jejak apa pun. Mereka masih akan terus melakukan penyelidikan, tapi kita tahu, tidak semua kasus bisa terungkap dan sering kali misteri yang tetap menjadi misteri akan membuat kenangan lebih abadi.
Kematiannya membuat kehidupan sang penyair sukses ini kembali direntangkan oleh awak-awak media. Tentu saja sebagian besar adalah perilaku yang baik; jikalau ada perilaku buruk diungkap, itu hanya keburukan kecil tiada arti selain sebagai lelucon.
***
Aku sangat mengenal penyair ini. Dia merantau ke ibukota dengan membawa mimpi kesuksesan—sebagaimana impian setiap pemuda di daerah terpencil kami. Dia mengalami kekalahan telak—sebagaimana sebagian besar perantau dari kampung kecil kami. Dia “diselamatkan” seorang homoseksual—ini sebuah rahasia dan selain aku tidak ada yang diberitahu olehnya.
Oleh laki-laki homoseksual ini dia diperkerjakan di toko bukunya; sebuah toko buku kecil yang tidak terlalu ramai. Di toko buku ini sang penyair juga menjadi pemuas nafsu induk semangnya.
Di toko buku inilah penyair ini berkenalan dengan dunia kata-kata, dengan imajinasi-imajinasi, dengan fakta-fakta dan pemalsuan fakta-fakta: bahwa pemerintah melakukan pembangunan secara adil dan merata, bahwa pendidikan adalah hak segenap warga, bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, bahwa … dan seterusnya. Dia mengingat kehidupan di kampungnya dan dia mulai mengecam semua itu dan kecaman-kecaman itu menggema dalam tempurung kepalanya. Lalu dia menulis sajak di buku tulis.
Menuliskan sajak-sajak itu sedikit meringankan beban kepalanya, tetapi dia tahu bahwa seharusnya orang-orang membaca sajaknya dan melakukan perubahan. Itu mendorongnya untuk bergabung dengan sebuah komunitas sastra yang keberadaannya dia dapatkan dari buletin komunitas itu yang dia temukan di antara tumpukan buku. Di sana dia menunjukkan salah satu sajaknya, namun penyair-penyair di sana yang hampir semuanya berambut panjang, mengenakan jubah hitam dan mengepulkan asap rokok bagai kebakaran hutan itu mengatai tulisannya sebagai sampah, menyarankan padanya bahwa dia seharusnya belajar sastra sebelum menuliskan karya, memberitahunya bahwa sajaknya tak sedikit pun mempunyai nilai estetika dan berkata bahwa dia hanya seorang pengumpat yang buruk.
***
Pada sebuah majalah sastra terkemuka, penyair ini mengirimkan tulisannya, dan mencantumkan nama orang lain, yakni seorang penyair terkenal yang sudah lama hilang dari belantika sastra , karena dia berpikir jika redaktur majalah itu akan mengolok-olok sajaknya, biar saja orang lain yang terkena. Sajak itu dimuat di majalah dan menuai banyak pujian. Sastrawan terkenal yang namanya dicatut mengklarifikasi ke majalah tersebut dan menyatakan bahwa dia tidak pernah mengirimkan sajak itu, dan bahwa itu bukan hasil karyanya.
Kemudian majalah itu menelusuri jejak pengiriman yang dikirim lewat kurir pos dan mendapatkan petunjuk ke toko buku dan mendapati seorang laki-laki berwajah pucat, bermata cekung yang dengan ragu mengakui bahwa memang dirinya yang menulis sajak itu.
Editor majalah berkata bahwa dia tak seharusnya menggunakan nama orang lain, dan beberapa sajak-sajak lain karyanya kemudian dimuat dalam edisi khusus klarifikasi.
Dikarenakan banyaknya permintaan, maka edisi khusus itu kemudian dijadikan buku, dengan memasukkan semua sajak yang ditulisnya. Saat itu keadaan negara sedang guncang dan sajak-sajak penyair ini selaras dengan gema di kalangan masyarakat yang menginginkan perubahan. Sajak-sajaknya dibaca para demonstran. Juga karya-karyanya diulas oleh kritikus sebagai pembaharu gaya berpuisi.
Revolusi terjadi di negerinya dan pemerintahan sebelumnya yang bercokol lama diganti dengan pemerintahan yang baru. Penyair ini menjadi penyair besar sejak itu. Dia mendapatkan berbagai penghargaan, diundang ke mana-mana sebagai pembicara seminar, pula menjadi referensi untuk permasalahan sastra, menjadi juri lomba; singkatnya menjadi terkenal dan menjadi kaya.
***
Penyair ini ditemukan mati di hadapan mesin ketiknya dengan lubang peluru di dahinya dan sepucuk pistol di lantai dengan sidik jarinya sendiri. Ada beberapa sajak di kertas-kertas yang berserakan, tetapi itu adalah sajak-sajak buruk. Para pakar berkata bahwa puisi-puisi itu tidak mungkin ditulis oleh penyair ini. Kemudian media massa membuat spekulasi bahwa pelaku pembunuhan ini iri dengan kesuksesan penyair.
Pembunuh ini barangkali bertamu, lalu mereka berbincang—dan semua tahu penyair ini ramah pada siapa saja, lalu sang tamu menembak kepala sang penyair pistol yang dilengkapi peredam suara dan dia juga mengenakan sarung tangan dan mendudukkan korban di meja kerjanya, meletakkan pistol di bawah tangannya agar seolah penyair ini bunuh diri, dan sebelum pergi dia menulis sajak-sajak yang buruk untuk melampiaskan kekesalannya.
Untuk mengolok-olok sang pembunuh, sajak-sajak itu diterbitkan dan laku keras di pasaran tidak untuk dibaca melainkan disobek-sobek atau dibakar dengan penuh kegeraman oleh para penggemar penyair ini.
Kemudian media berspekulasi bahwa ada konspirasi dibalik kematiannya karena sajak-sajaknya telah secara vulgar mengecam pemerintah sebelumnya dan menjadi angin yang memperbesar semangat revolusi. Dugaan-dugaan itulah yang membuat pemerintah revolusioner menetapkan hari kematiannya sebagai hari berkabung sastra nasional dan warga bisa melihat patungnya di depan perpustakaan umum yang diberi nama sesuai dengan namanya.
Aku tahu pasti dia bunuh diri. Ketika mengunjunginya, dia menceritakan semua kepadaku dan berkata bahwa sekarang dia tidak bisa lagi menulis sajak semacam itu—tentu saja setelah menikmati hidup setingkat bangsawan, apa yang dimiliki kepalanya selain perempuan dan segala kemewahan yang di sajak-sajaknya dulu selalu dikecamnya?—dan dia ingin mati di puncak ketenarannya ini. Aku yang membelikannya pistol rakitan di pasar gelap. Aku pulang kampung sebelum dia melakukan itu untuk alibi.
Semua itu tidak kuceritakan kepada siapa pun karena, bagaimanapun, dia temanku dan dia telah mengharumkan kampung kami yang terpencil di peta.
Aveus Har tinggal di Pekalongan. Kesehariannya adalah seorang pedagang mie ayam sembari bereksperimen di Laboratorium Ide dan Cerita (LABITA) dan sedang belajar di WAG Rumah Bercerita. Novel terbarunya berjudul “FORGULOS”.