Penutupan Vihara Cetiya Permata Dihati di Cengkareng Picu Kecaman dan Aksi Protes
Berita Baru, Jakarta – Pelarangan beribadah di Vihara Cetiya Permata Dihati, Cengkareng Barat, memicu kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Konflik terkait pelarangan ini mencapai puncaknya pada Selasa, 24 September 2024, saat ratusan umat dan pengurus vihara menggelar aksi menolak penutupan tempat ibadah tersebut.
Menurut KontraS, insiden ini menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi hak asasi warganya untuk beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. “Pelarangan beribadah ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah,” kata Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS, dalam siaran pers pada Senin (7/10/2024).
Masalah ini bermula dari sengketa izin pembangunan vihara. Meski bangunan telah berdiri sejak 2013, konflik dengan kelompok yang menamakan diri Forum Warga RW 012 Cengkareng muncul beberapa bulan terakhir. Kelompok ini menolak kegiatan peribadatan di vihara karena dianggap mengganggu aktivitas warga, terutama terkait penggunaan jalan raya dan parkir jemaat.
Ketua RW setempat juga menyatakan bahwa vihara tidak memiliki izin resmi sebagai rumah ibadah, hanya izin rumah tinggal. Beberapa pertemuan mediasi telah dilakukan, termasuk di DPRD DKI Jakarta pada 10 September 2024 dan Kelurahan Cengkareng Barat pada 24 September 2024, namun belum mencapai kesepakatan.
“Kami melihat ini sebagai pelanggaran standar internasional hak asasi manusia, termasuk Pasal 18 Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 dan Pasal 22 UU No. 39/1999 tentang HAM,” tambah Dimas.
KontraS juga menyoroti kurangnya peran Kementerian Agama dalam mencegah konflik keagamaan seperti ini, meski sudah ada Keputusan Menteri Agama No. 332/2023 tentang Sistem Peringatan Dini Konflik Sosial Berbasis Keagamaan.
Atas peristiwa ini, KontraS mendesak Presiden Joko Widodo untuk menegakkan UUD 1945 yang menjamin kebebasan beribadah, serta meminta Komnas HAM untuk melakukan investigasi. “Negara seharusnya hadir untuk melindungi hak setiap warganya, termasuk hak beribadah. Kegagalan ini harus segera ditangani agar tidak terjadi keberulangan,” tutup Dimas.