Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pengetahuan Menciptakan Solidaritas Autentik di Gerakan Sosial

Pengetahuan Menciptakan Solidaritas Autentik di Gerakan Sosial



“Inilah Hakikat Literasi yang dapat membuat manusia memiliki pengetahuan pada satu sisi dan sisi lain mampu memproduksi kreativitas dan inovasi yang cemerlang.”Simak Johannsson

Menukil perkataan Simak tentu menyadarkan kita bahwa pengetahuan menjadi kebutuhan dasar setiap manusia. Kebutuhan tersebut tidak boleh terabaikan seperti, manusia membutuhkan makanan. Sejatinya pengetahuanlah yang menjadi alat untuk merebut perubahan.  Ahli – ahli mengatakan bahwa indikator kemajuan negara terletak pada tingkat pengetahuannya. Sebagaimana kemajuan peradaban terdahulu yang telah dilakukan oleh bangsa Mesopatamia kuno.    

Perlu diketahui pengetahuan yang baik tidak hanya diperoleh begitu saja. Ia lahir dari pergulatan pemikiran dan aktivitas yang terus menumbuhkan pengetahuan itu ada. Aktivitas baca-tulis serta pengalaman empiris menjadi kekuatan pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa tradisi semacam itu bukan saja menjadi indaktor kemajuan negara, bahkan, kualitas pelbagai hal yang ada di dalamnya. Misalnya, kualitas gerakan sosial. 

Lemahnya Pengetahuan Kritis dan Gerakan Sosial 

Memasuki era di mana semua kebutuhan difasilitasi oleh jaringan internet, membuat semua hal seakan mudah. Namun, hal tersebut direspon berbeda oleh Prof. Djoko Saryono dalam bukunya “Literasi Episentrum Kemajuan Kebudayaan dan Peradaban”, Ia yang menyebutkan bahwa dari empat involusi tradisi baca-tulis yang semakin mengalami kemandekan dan kemunduran yang begitu pesat disebabkan oleh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi terutama internet dan jejaring sosial yang luar biasa masif di Indonesia tanpa diikuti oleh transformasi budaya dengan baik. Berkembangannya gawai telah membuat manusia atau masyarakat Indonesia sebagian besar lebih banyak bicara dan mendengar setiap hari tanpa diikuti oleh pemantapan kemapuan berpikir kritis dan kreatif. 

Bahkan situasi tersebut didukung dengan atmosfer pendidikan yang tidak menawarkan apapun dalam perkembangan berpikir anak didiknya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Johanes dalam artikelnya “Merdeka berpikir” yakni kemandekan berpikir yang terjadi di Indonesia diawali oleh sistem politik yang represif dan sentralistik di era Orde Baru telah membawa pendidikan kita lebih mengabdi kepada penguasa ketimbang anak didik. Ini terjadi karena pemerintah yang represif akan memilih kebijakan penyeragaman demi memudahkan pengendalian dan pengawasan. 

Tak heran jika kekerasan verbal hari ini memproduksi tindakan yang kriminal. Contoh paling sederhana adalah perdebatan di media sosial yang tak subtansif lebih dominan dibanding nilai dari perdebatan itu sendiri. Bahkan, akan terjadi kampanye kebencian yang tersistem dan terkonslidasi begitu masif di media sosial. 

Pengetahuan yang pedagogi tidak sama sekali hadir di lingkungan saat ini. Bahkan, hal tersebut juga berpengaruh dalam kualitas gerakan sosial. Maksudnya, sumber daya manusia yang ada di dalamnya semakin hari kehilangan kualitas pengetahunnya. Tak heran apabila aktor di dalam gerakan sosial hanya satu dua orang saja yang barangkali mampu merespon beberapa masalah publik yang diciptakan oleh sistem. Hal tersebut akan memeprlemah arah gerakan sosial. 

Sungguh, kondisi ini memang menciptakan keadaan yang begitu kacau. Sadari atau tidak sistem kaderisasi di Gerakan Sosial akan mengalami kesulitan yang begitu besar. Sebab, mengubah ideologi yang dominan dalam pendidikan yang developmentalisme menjadi ideologi kritis. Sedangkan, percepatan pengetahuan tidak kunjung terjadi hingga harus memilih tiga hal mati, hidup, atau abu-abu. 

Menurut pengelihat saya sejauh ini solidaritas yang terjadi cepat tumbuh namun cepat sekali redup. Barangkali, kita harus memakai kacamata Emil Durkheim dalam menganalisis situasi ini. Penciptaan solidaritas dipengaruhi oleh fakta sosial yang terjadi di dalamnya. Di mana fakta sosial ini yang mengatur pola perilaku individu dan kelompok.  Sialnya, kita sering memilih solidaritas semu dalam pembetukan solidaritas gerakan. 

Solidaritas semu diwarnai dengan ketakutan, kebencian, dan keterpaksaan. Di mana, kita mengawali solidaritas tersebut dengan kemarahan yang begitu memicu kebenciaan kita kepada negara. “Sebenarnya, tidak salah maupun benar karena situasi yang begitu genting”. Hingga, kita melampaui batasan-batasan yang terjadi. Membawa isu berbeda di dalam konslidasi namun, kita abai degan isu yang bukan arah gerak kita. Sungguh, itu ironis. Padahal hakikat gerakan sosial kalau ingin menggunakan kata Tarrow yang menyatakan bahwa penentangan kolektif orang-orang solidaritas dan tujuan yang sama dalam proses interaksi yang terus-menurus dengan pihak elit, pihak lawan, pihak yang berwenang. 

Kembali Emil mengatakan bahwa solidaritas semu apabila mengalami kekacauan atau chaos akan mengalami pemecahaan gerakan dan tidak sanggup memberikan solusi yang ada. Sebab, perbedaan-perbedaan belum dapat dibangun melalui dialog diselimuti penuh rasa sentimen. 

Itulah dahsyatnya pengetahuannya dilemahkan akan mampu memperlemah kualitas di dalamnya. Segela sesuatu yang tidak dilandasi pengetahuan yang mapan bahkan kritis akan jatuh pada analisis kebencian. Dan negaralah yang bertanggung jawab atas kekacuan apapun yang terjadi di Indonesia.

Menciptkan Solidaritas Autentik 

Emil Durkheim mengatakan bahwa perubahan sosial hanya dapat diawali degan solidaritas autentik. Di mana, solidaritas ini dapat dibentuk dari “akar rumput” melalui dialog yang terbuka anatar kelompok sosial. Tentu, solidaritas tersebut tidak dibentuk dalam waktu singkat melainkan membutuhkan proses yang lama dan dialog yang mendalam antar kelompok. 

Artinya, dalam proses ini dibangun pengetahuan yang sama dalam melakukan perubahan sosial. Membangun dialog sama halnya menciptakan pemikiran baru untuk merespon apapun yang terjadi di sekitarnya. Itulah pentingnya dialog kata Paulo Freire dalam proses pembelajaran sebab, manusia adalah makhluk komunikatif. 

Setidak-tidaknya ada yang paling mendasar atau barangkali menjadi episentrum dalam melakukan solidaritas autentik ataupun dasar dari gerakan sosial adalah pengetahuan. Pengetahuan begitu penting dalam setiap sendi kehidupan. Jika mana negara tidak mampu menfasilitasi biarkan saja kami yang sadar menciptakan “pendidikan alternatif” lewat diskusi kecil yang senantiasi menjadi tradisi aktivisme. 

Sebab, apabila gerakan sosial tidak dibangun dari basis pengetahuan akan memperlemah gerakan sosial itu sendiri. Sebab, kalau mau dibedah salah satu fungsi dari gerakan sosial adalah pendidikan politik. Jika, mana tiap-tiap orang di dalam tidak memiliki pengetahuan politik niscaya akan terjadi kebinggungan dalam arah geraknya dan pasti akan berpengeruh pada gerakan sosial. 

Setidaknya apa yang dikatakan oleh Gramsci benar adanya  bahwa suatu kelas tidak dapat meraih kepemimpinan nasional dan menjadi hegemonik, jika kelas itu hanya memperhatikan  kepentingan mereka sendiri, karenanya mereka harus juga memperhatikan tuntutan  dan perjuangan rakyat yang tidak mempunyai karakter kelas yang bersifat murni, 
yaitu kepentingan yang tidak muncul secara langsung dari hubungan-hubungan 
produksi. Sebenarnya, Gramsci ini mengatakan bahwa pendidikan politik dalam suatu golongan satu dengan golongan yang lain perlu disamakan untuk merebut tujuan yang sebenarnya. 

Bahkan, dalam melakukan solidaritas perlu adanya pendidikan politik yang sama bahwa antar satu kelompok dengan kelompok lainnya. Namun, sekali lagi yang harus dipahami bahwa pendidikan politik itu tidak dapat diciptakan secara pendek namun, membutuhkan nafas yang panjang. Layaknya, gerakan sosial yang memiliki aspek daya tahan atau Eduring. 

Penulis: Miri Pariyas Tutik Fitriya – Pegiat Literasi di Kota Malang