Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Peneliti BRIN: Rawat Tradisi Mocoan dan Mamaca, Harmonisasi Budaya Leluhur yang Mulai Luntur
Mocoan Lontar Yusup

Peneliti BRIN: Rawat Tradisi Mocoan dan Mamaca, Harmonisasi Budaya Leluhur yang Mulai Luntur



Berita Baru, Jember – Khazanah kebudayaan Indonesia sangat kaya dengan seni, budaya, dan tradisi. Salah satu di antaranya ialah warisan manuskrip kuno yang beredar dan tersimpan di masyarakat. Manuskrip kuno itulah yang memiliki nilai budaya, agama, dan ilmu pengetahuan.

Tidak sekedar disimpan, beberapa pegiat budaya juga menuturkan tradisi literasi tulis itu ke dalam tradisi lokal, yang kemudian menjadi tradisi lisan. Manuskrip-manuskrip tersebut tidak hanya menjadi warisan yang disimpan, tetapi beberapa manuskrip tersebut masih digunakan dalam tradisi-tradisi pembacaan manuskrip di beberapa kelompok masyarakat. Tradisi itu di antaranya adalah mocoan dan mamaca.

Tim Peneliti Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan, Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang terdiri dari Agus Iswanto, M. Agus Noorbani, Mahmudah Nur, Mashuri, Wiwin Indiarti, dan Fiqru Mafar melakukan penelitian ini sejak tanggal 17 Oktober hingga 30 Oktober 2022.

Peneliti BRIN: Rawat Tradisi Mocoan dan Mamaca, Harmonisasi Budaya Leluhur yang Mulai Luntur
Praktik Tradisi Mamaca

Agus mengatakan bahwa tradisi mocoan dan mamaca adalah dua dari sekian banyak tradisi membaca manuskrip yang ada di Indonesia. Tradisi mocoan adalah tradisi membaca manuskrip kuno yang dilakukan masyarakat adat Osing di Banyuwangi Jawa Timur, sementara tradisi mamaca adalah tradisi membaca manuskrip yang dilakukan masyarakat Madura, baik yang ada di Pulau Madura, maupun di beberapa wilayah tapal kuda Jawa Timur, seperti Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi.

“Dua tradisi ini juga menunjukkan adanya fenomena “manuskrip hidup” (living manuscript) dalam kehidupan masyarakat. Tradisi ini dilakukan dengan cara dilagukan (ditembangkan) dengan aturan-aturan puisi Jawa yang diadaptasi oleh masyarakat setempat. Kesamaan kedua tradisi ini adalah sama-sama dilakukan dengan cara ditembangkan, sementara perbedaannya, jika mamaca menggunakan penerjemah untuk menjelaskan makna bait-bait tembang dalam bahasa Madura (yang disebut dengan teghes), maka mocoan tidak ada orang yang menjelaskan teks,” tambahnya.

Selain itu, mocoan dan mamaca telah melekat dalam siklus kehidupan masyarakat yang dilakukan saat ritual-ritual tertentu, seperti saat ritual menjelang acara pernikahan, sunatan, maupun bersih desa.

“Namun, dua tradisi ini mengalami krisis keberlanjutan karena kurangnya generasi penerus yang mau melanjutkan tradisi atau yang memiliki kemauan dan keterampilan dalam melakukan mocoan dan mamaca,” tegas Agus.

Peneliti BRIN: Rawat Tradisi Mocoan dan Mamaca, Harmonisasi Budaya Leluhur yang Mulai Luntur
Sumber gambar: Peneliti BRIN

Penelitian ini adalah riset kolaboratif antara para peneliti BRIN dengan peneliti di perguruan tinggi Banyuwangi dan Jember, Banyuwangi di Universitas PGRI Banyuwangi dan Jember di UIN KHAS Jember. Riset di Banyuwangi dilakukan di Kecamatan Glagah yang masih terdapat para pelaku mocoan, sedangkan di Jember dilakukan di Kecamatan Kalisat yang juga masih terdapat tokoh pelaku mamaca.

Agus Iswanto juga membeberkan bahwa selain mengalami krisis keberlanjutan, sehingga perlu dicari formula melestarikan tradisi ini, para peneliti juga berupaya melihat model harmonisasi budaya yang teraktualisasi dalam dua tradisi tersebut, sehingga dapat menjadi model bagaimana harmonisasi keragaman budaya dapat dilakukan melalui mekanisme tradisi masyarakat setempat. Sebab, selain karena ketiadaan penerus tradisi, kemungkinan besar tantangan terhadap kelestarian tradisi ini juga datang dari masalah pemikiran relasi antara agama, budaya, dan modernitas.  

Pegiat mocoan dan mamaca berharap ke depan ada generasi yang mau melanjutkan tradisi membaca manuskrip kuno ini. “Saya sangat senang kalau ada anak muda yang mau belajar mamaca dan melanjutkan tradisi ini,” tambahnya.

“Riset ini strategis secara praktis karena diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang model harmonisasi budaya yang pernah dan terus dilakukan di masyarakat akar rumput melalui “mekanisme tradisi” yang hidup hingga sekarang. Hal ini dalam rangka untuk meningkatkan kemanfaatan objek pemajuan kebudayaan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Selain itu, hasil riset ini secara praktis juga memberikan contoh bagaimana sikap akomodatif terhadap budaya lokal dalam konteks moderasi beragama sebagaimana yang sedang digalakkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama,” pungkasnya.