Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pemuda Indonesia: Korban Ketimpangan Kebijakan Antara Pemerintah dan Publik

Pemuda Indonesia: Korban Ketimpangan Kebijakan Antara Pemerintah dan Publik



Berita Baru, Jakarta – Membangun start-up, menarik investor, menjadi motivator inspiratif yang didengar banyak orang. Hal tersebut sebenarnya sangat imajinatif jika melihat bagaimana proporsi pengangguran berusia muda di Indonesia hampir menyentuh angka 20 persen pada 2020, yang bahkan didominasi oleh mereka yang berpendidikan tinggi.

Sebagai simbol masa depan dan kemajuan, saat ini, para pemuda menjadi harapan yang dielu-elukan, namun menjadi korban ketimpangan kebijakan antara pemerintah dan publik.

Sehingga, penting untuk kita pertimbangkan secara serius bagaimana pemuda yang ideal dan mampu berpartisipasi dalam kemajuan bangsa. Tentu dengan pendekatan yang berdasarkan kondisi pemuda masa kini, bukan pendekatan idealis yang berdasarkan pola pikir elitis.

Gara-gara Staff Khusus Millennial, anak muda jadi makin terbebani untuk “sukses” seperti mereka. Setelah Presiden Joko Widodo “melantik” para Stafsus Millennial, kita bisa lihat bahwa mereka berpendidikan tinggi, pengusaha, aktif di masyarakat, dan religius.

Kebanyakan dari mereka adalah lulusan universitas elit global. Beberapa bahkan menjadi pendiri dan CEO start up dan social enterprises. Tidak hanya berwirausaha, mereka juga mendukung perubahan sosial.

Sejak Indonesia berdiri, anak muda sudah dibebani untuk menjadi agen perubahan. Sumpah Pemuda 1928 menandai “takdir sejarah” pemuda Indonesia untuk menegakkan bangsa, tanah air, dan bahasa Indonesia (Foulcher, 2000).

Anak muda adalah pemain kunci gerakan anti-kolonial, kritis terhadap pemerintahan pasca-kolonial awal, dan mereka adalah aktivis pro-demokrasi pada pergantian abad dengan Reformasi Indonesia di 1998.

Pembangunan bangsa dan persatuan Indonesia, dengan kata lain, telah dan harus terus menjadi tanggung jawab pemuda.

Pasar kerja yang semakin susah ditembus akibat COVID-19 juga berpotensi meningkatkan angka pengangguran serta membuat anak muda milenial sebagai generasi terhimpit (sandwich generation) yang baru.

Sayangnya, solusi praktis yang ditawarkan pemerintah masih sangat terbatas. Dengan kata lain, anak muda Indonesia kini dibiarkan hidup oleh pemerintah dalam ‘politik bertahan hidup’ (‘politics of survival’).

Anak muda di Indonesia, dengan kata lain, diajarkan untuk menghayati mitos pemuda progresif dan nasionalis di hadapan mereka dalam narasi anti-kolonial dan pro-demokrasi.

Ditambah lagi, sekarang anak muda juga harus “memandang” anggota pemuda yang mewakili mereka di pemerintahan: pengusaha dan lulusan Ivy Leage yang menjadi Stafsus Millennial.

Pada saat yang sama, anak dibiarkan sendirian untuk memahami dan bertahan hidup di dunia.

Politik bertahan hidup ini menganggap ketidakpastian hidup, pekerjaan, dan masa depan sebagai hal yang lumrah, lalu membenarkan berbagai macam krisis yang melanda hidup anak muda Indonesia.

Proporsi pengangguran berusia muda di Indonesia hampir menyentuh angka 20 persen pada 2020. Tertinggi di Asia! Ketidaksiapan modal dan koneksi yang cukup membuat banyak perusahaan rintisan tidak mampu berkembang, apalagi bersaing secara internasional, khususnya ketika pandemi.

Budaya yang penting “Dapet Universitas Negeri” menjadi jebakan anak muda Indonesia untuk memilih jurusan apapun tanpa mempertimbangkan kebutuhan lapangan kerja asal bisa bersekolah.

Anak muda Indonesia adalah warga negara aktif yang paham apa saja kewajiban dan hak yang mereka miliki. Sudah waktunya pemerintah dan orang dewasa menyudahi perilaku paternalistik (mentalitas ‘sok menggurui’ anak muda) dan fokus memberikan solusi yang bisa memberdayakan masa depan mereka.