Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

PBB Sebut Pandemi Covid-19 Picu Krisis HAM
(Foto: JakartaGreater)

PBB Sebut Pandemi Covid-19 Picu Krisis HAM



Berita Baru, Internasional – Sekretaris Jendral PBB, Antonio Geuterres mengatakan pada Kamis (23/4) bahwa darurat kesehatan masyarakat yang diakibatkan oleh pandemi kini dengan cepat berubah menjadi krisis hak asasi manusia (HAM).  Dilansir dari laporan The Guardian, Jumat (24/4).

Geuterres juga mengingatkan bahwa pandemi virus corona tidak boleh digunakan sebagai dalih bagi negara-negara otoriter untuk merebut hak asasi individu atau menekan aliran informasi yang bebas.Respons pemerintah terhadap krisis kesehatan dianggap tidak proporsional di negara-negara termasuk China, India, Hongaria, Turki, dan Afrika Selatan.

Geuterres telah menyerukan gencatan senjata global, dan memperingatkan adanya kenaikan angka kekerasan dalam rumah tangga sebagai dampak dari virus. Hal ini turut menjadi kritik terhadap PBB secara kolektif yang dinilai gagal memberi dampak dalam krisis.

“Virus ini memiliki dampak yang tidak proporsional pada komunitas tertentu melalui peningkatan ujaran kebencian, penargetan kelompok-kelompok rentan, dan risiko tanggapan keamanan tangan berat merusak respon kesehatan” kata Geuterres.

Dalam laporan terbarunya terkait Covid-19 dan hak asasi manusia, PBB menyoroti penggunaan virus, pernyataan itu dinilai dapat menyebabkan diskriminasi, xenofobia, rasisme dan serangan. Merilis laporan tersebut, Guterres menyerukan agar menyikapi keadaan darurat ini dengan proporsional dan terbatas waktu, dengan fokus dan durasi spesifik.

Kebebasan bergerak memang perlu dibatasi, tetapi skala pembatasan dapat dikurangi dengan pengujian yang efektif dan tindakan karantina yang ditargetkan. Geuterres melaporkan bahwa lebih dari 131 negara telah menutup perbatasan mereka, dengan hanya 30 negara yang mengizinkan pengecualian bagi para pencari suaka.

Dalam makalah singkatnya, PBB mengatakan “Ribuan warga telah didorong kembali atau dideportasi ke lingkungan berbahaya sejak krisis dimulai. Pengungsi, pengungsi internal dan migran hidup dalam kondisi padat dengan akses tak terbatas ke sanitasi dan layanan kesehatan.”

PBB juga menyebut, wartawan, dokter, petugas kesehatan dan aktivis atau oposisi politik ditangkap dengan dalih berita palsu. Pengawasan online dan kebijakan siber yang agresif terus meningkat. “Upaya untuk menghilangkan informasi yang salah atau disinformasi dapat menghasilkan sensor yang disengaja atau tidak disengaja yang mendukung kepercayaan,” katanya.

Menurut Geuterres, solusi terbaik adalah pemerintah bersikap terbuka dan transparan tentang upaya mereka untuk menekan penyebaran virus, termasuk dengan membiarkan oposisi atau kelompok masyarakat sipil untuk memeriksa eksekutif online.

Laporan PBB lebih lanjut juga mencatat adanya potensi penyalahgunaan yang tinggi. Dalam artian,  tindakan atau perlakuan yang dibenarkan selama keadaan darurat dapat menjadi normal setelah krisis berlalu.

“Tanpa perlindungan yang memadai, teknologi canggih ini dapat menyebabkan diskriminasi, mengganggu dan melanggar privasi, atau dapat digunakan terhadap orang atau kelompok untuk tujuan yang jauh melampaui respons pandemi.”